Cari Blog Ini

Manhajus Salikin - Kitab Ath-Thaharah (3 / selesai)

Bab Pembatal Wudhu`

Yaitu: Semua yang keluar dari dua jalan, darah yang banyak dan semisalnya, hilangnya akal karena tidur atau selainnya, memakan daging unta sembelihan, menyentuh perempuan dengan syahwat, menyentuh kemaluan, memandikan mayit, dan murtad karena ia menghapus seluruh amalan. Berdasarkan firman Allah ta’ala,

أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَآئِطِ أَوْ لَـٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ

“...atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan.” (QS. An-Nisa`: 43). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Apakah saya berwudhu` karena makan daging unta?” Nabi menjawab, “Ya.” (HR. Muslim[1]). Beliau bersabda tentang dua khuf,

وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ

“Akan tetapi (boleh mengusap khuf) karena buang air besar, buang air kecil, dan tidur.” (HR. An-Nasai dan At-Tirmidzi, beliau menshahihkannya[2]).

Bab Hal yang Mewajibkan Mandi dan Sifat Mandi

Wajib mandi karena junub -yaitu keluarnya mani karena jima’ atau selainnya-, bertemunya dua khitan, keluarnya darah haid dan nifas, kematian yang bukan syahid, dan keislaman seorang kafir. Allah ta’ala berfirman,
وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَٱطَّهَّرُوا۟
“Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al-Maidah: 6), dan Allah ta’ala berfirman,
وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ ٱللهُ
“Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 222), yakni jika mereka telah mandi. Dan sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan mandi karena memandikan mayit[3], dan beliau perintahkan orang yang masuk Islam untuk mandi[4].
Adapun sifat mandi junub Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam[5]: pertama-tama beliau mencuci kemaluannya, kemudian berwudhu` secara sempurna, kemudian menuangkan air ke atas kepala tiga kali, beliau membasahinya dengan air itu, lalu menuangkan air ke seluruh tubuh, lalu mencuci kedua kaki di tempat lain.
Hal yang wajib dari tata cara tersebut: membasuh seluruh tubuh dan apa-apa yang di bawah rambut yang sedikit atau yang lebat. Wallahu a’lam.

Bab Tayammum

Ini adalah jenis kedua dari thaharah, yakni ganti dari thaharah dengan air ketika sulit menggunakan air pada bagian-bagian tubuh thaharah atau sebagiannya, karena tidak ada air atau khawatir terkena mudharat jika menggunakan air. Pada keadaan ini, tanah menduduki kedudukan air. Caranya dengan meniatkan mengangkat hadats-hadats. Lalu mengucapkan “Bismillah”, kemudian menepuk tanah dengan kedua tangannya satu kali. Dia usap dengan dua telapak tangannya seluruh wajahnya dan seluruh kedua telapak tangannya. Jika dia menepuk tanah 2 kali, tidak mengapa. Allah ta’ala berfirman,
فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءً فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًا طَيِّبًا فَٱمْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَا يُرِيدُ ٱللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَـٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Maidah: 6).
Dari Jabir, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الأَنْبِيَاءِ قَبْلِي: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ، وَجُعِلَتْ لِي الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ، وَأُحِلَّتْ لِي الْغَنَائِمُ وَلَمْ تُحَلُّ لأَحَدٍ قَبْلِي، وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةُ، وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
“Aku diberi lima hal yang tidak diberikan pada seorang pun dari para nabi sebelumku: (1) Aku ditolong dengan rasa takut musuh sejarak perjalanan sebulan, (2) dijadikan untukku bumi sebagai masjid dan alat bersuci, sehingga siapa saja yang mendapati shalat maka hendaknya dia shalat, (3) dihalalkan untukku ghanimah dan belum dihalalkan untuk seorang pun sebelumku, (4) aku diberikan syafa’at, (5) dan dahulu para nabi diutus untuk kaumnya secara khusus, adapun aku diutus untuk manusia secara umum.” (Muttafaqun ‘alaih[6]).
Barang siapa yang terkena hadats kecil, tidak halal bagi dia untuk shalat, thawah di Ka’bah, dan menyentuh mushhaf.
Adapun yang berhadats besar, ada tambahan tidak boleh membaca sesuatu pun dari Al-Qur`an dan menetap di masjid tanpa wudhu`.
Bagi wanita yang haidh dan nifas, ada tambahan tidak boleh berpuasa, menjima’inya, dan mencerainya.
Asal dari darah yang menimpa wanita adalah darah haidh tanpa ada batasan masanya, banyaknya, atau perulangannya. Kecuali, darah yang menimpa wanita itu menjadi banyak atau darahnya berubah menjadi tidak terputus kecuali sebentar saja. Maka, yang demikian itu adalah darah istihadhah. Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan wanita yang seperti ini untuk menjalani adat kebiasannya. Bila dia tidak punya kebiasaan, maka dengan cara membedakan darah. Jika tidak bisa membedakan, maka kembali kepada kebiasaan wanita pada umumnya: enam atau tujuh hari. Wallahu a’lam.


[1] Nomor 360 dari hadits Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu.
[2] HR. An-Nasai (1/83-84) dan At-Tirmidzi (96) dari hadits Shafwan bin Assal radhiyallahu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.” Al-Albani menghasankan di Al-Irwa` (104).
[3] HR. Ahmad (2/280), Abu Dawud (3161), At-Tirmidzi (994), dan Ibnu Majah (1463) dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Al-Albani menshahihkannya di dalam Irwa`ul Ghalil (144) dan selain beliau juga.
[4] Silakan merujuk Nailul Authar (1/345-346), bab Wajibnya Mandi bagi Orang Kafir yang Masuk Islam.
[5] Silakan merujuk pada referensi yang lalu (1/373) dan yang setelahnya.

Manhajus Salikin - Kitab Ath-Thaharah (1), Bab Istinja` dan Adab Buang Hajat

Bab Istinja` dan Adab Buang Hajat

Disunnahkan jika masuk WC agar mendahulukan kaki kiri, kemudian mengucapkan,
بِسۡمِ اللهِ أَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ
“Dengan nama Allah. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari setan laki-laki dan setan perempuan.”[1] Jika keluar dari WC, mendahulukan kaki kanan lalu mengucapkan,
غُفۡرَانَكَ، الۡحَمۡدُ للهِ الَّذِي أَذۡهَبَ عَنِّي الۡأَذَى وَعَافَانِي
“Aku memohon ampunanMu ya Allah. Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kotoran dariku dan yang telah menyehatkanku.”
Dan bertumpu ketika duduk di atas kaki kiri dan menegakkan kaki kanan, dan menutup diri dengan dinding atau selainnya, atau menjauh jika berada di tempat terbuka.
Tidak halal buang hajat di jalan, di tempat yang biasa buat duduk orang-orang, di bawah pohon yang berbuah, atau di tempat yang dapat menyebabkan orang-orang terganggu. Tidak boleh menghadap kiblat atau membelakanginya ketika dia menunaikan hajatnya, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ وَلَا بَوْلٍ وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا
“Jika kalian masuk WC, maka jangan menghadap kiblat ketika kencing atau buang air besar, dan jangan pula membelakanginya. Tetapi menghadaplah ke timur atau barat.” (Muttafaqun ‘alaih[2]).
Jika sudah selesai menunaikan hajatnya, lalu dia bercebok (istijmar) dengan tiga batu atau semacamnya sehingga dapat membersihkan kemaluannya, kemudian cebok dengan air. Cukup untuk bercebok dengan salah satunya. Tidak boleh istijmar menggunakan kotoran hewan dan tulang, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari hal itu. Demikian pula tidak boleh istijmar dengan sesuatu yang memiliki kemuliaan.
Pada saat mencuci najis pada badan, pakaian, tempat, atau selainnya, cukup untuk menghilangkan zat najis itu dari tempatnya. Karena Allah tidak mensyaratkan untuk mencuci najis berkali-kali kecuali pada najis anjing. Allah mensyaratkan padanya tujuh kali cucian, salah satunya menggunakan tanah.
Dan benda-benda yang najis adalah kencing dan kotoran manusia, dan darah. Kecuali darah yang sedikit, hal itu dimaafkan. Contoh darah yang najis adalah darah yang mengalir pada hewan-hewan yang dimakan, selain darah yang tersisa di daging dan urat, darah yang tersisa ini suci.
Termasuk najis adalah kencing dan kotoran hewan yang haram dimakan, semua binatang buas adalah najis, demikian pula bangkai-bangkai, kecuali mayat manusia, bangkai yang tidak memiliki darah mengalir, ikan, belalang, karena bangkai-bangkai tersebut suci. Allah ta’ala berfirman,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah.” (QS. Al-Maa`idah: 3). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ لَا يَنْجَسُ حَيًّا وَلَا مَيِّتًا
“Seorang mu`min itu tidak najis baik ketika hidup maupun sudah mati.” Beliau bersabda,
أُحِلَّ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ. أَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ، وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
“Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang. Adapun dua darah adalah hati dan limpa.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Adapun kotoran dan kencing hewan yang dimakan, maka itu suci.
Mani manusia adalah suci. Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencuci mani yang masih basah dan mengeriknya apabila sudah kering. Kencing anak kecil laki-laki yang belum makan makanan tambahan cukup untuk diperciki, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ، وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلَامِ
“Yang terkena kencing anak kecil perempuan dicuci dan yang terkena kencing anak kecil laki-laki diperciki.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa`i).
Jika zat najisnya sudah hilang, berarti sudah suci. Adapun sisa warna dan bau tidak mengapa. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Khaulah binti Yasar tentang darah haidh,
يَكْفِيكِ الْمَاءُ، وَلَا يَضُرُّكِ أَثَرُهُ
“Air cukup bagimu, adapun bekas haidhnya tidak mengapa.”

[1] HR. Al-Bukhari (142) dan Muslim (375) dari hadits Anas radhiyallahu ‘anhu tanpa basmalah. Bacaan basmalah datang dengan sanad yang shahih di atas syarat Muslim riwayat Al-’Umari dari hadits Anas, sebagaimana di dalam Fathul Baari (1/244).
[2] HR. Al-Bukhari (394) dan Muslim (264) dari hadits Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu.

Shahih Muslim hadits nomor 224

(٢٢٤) – حَدَّثَنَا سَعِيدُ بۡنُ مَنۡصُورٍ وَقُتَيۡبَةُ بۡنُ سَعِيدٍ وَأَبُو كَامِلٍ الۡجَحۡدَرِيُّ - وَاللَّفۡظُ لِسَعِيدٍ - قَالُوا: حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنۡ سِمَاكِ بۡنِ حَرۡبٍ، عَنۡ مُصۡعَبِ بۡنِ سَعۡدٍ، قَالَ: دَخَلَ عَبۡدُ اللهِ بۡنُ عُمَرَ عَلَى ابۡنِ عَامِرٍ يَعُودُهُ وَهُوَ مَرِيضٌ. فَقَالَ: أَلَا تَدۡعُو اللهَ لِي يَا ابۡنَ عُمَرَ؟ قَالَ: إِنِّي سَمِعۡتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيۡهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: (لَا تُقۡبَلُ صَلَاةٌ بِغَيۡرِ طُهُورٍ، وَلَا صَدَقَةٌ مِنۡ غُلُولٍ)، وَكُنۡتَ عَلَى الۡبَصۡرَةِ.
(224). Sa'id bin Manshur, Qutaibah bin Sa'id, dan Abu Kamil Al-Jahdari telah menceritakan kepada kami – lafazh ini milik Sa'id -, mereka berkata: Abu 'Awanah telah menceritakan kepada kami, dari Simak bin Harb, dari Mush'ab bin Sa'd, beliau berkata: 'Abdullah bin 'Umar masuk menjenguk Ibnu 'Amir yang sedang sakit. Ibnu 'Amir berkata: Tidakkah engkau berdo'a kepada Allah untukku, wahai Ibnu 'Umar? Ibnu 'Umar berkata: Sungguh aku telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Shalat tidak diterima tanpa bersuci. Dan shadaqah tidak diterima dari ghulul (pengkhianatan).” Engkau waktu itu ada di Bashrah.
(…) - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ الۡمُثَنَّىٰ وَابۡنُ بَشَّارٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ جَعۡفَرٍ: حَدَّثَنَا شُعۡبَةُ. (ح) وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ: حَدَّثَنَا حُسَيۡنُ بۡنُ عَلِيٍّ، عَنۡ زَائِدَةَ. قَالَ أَبُو بَكۡرٍ وَوَكِيعٌ: عَنۡ إِسۡرَائِيلَ، كُلُّهُمۡ عَنۡ سِمَاكِ بۡنِ حَرۡبٍ، بِهَٰذَا الۡإِسۡنَادِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيۡهِ وَسَلَّمَ... بِمِثۡلِهِ. 
Muhammad ibnul Mutsanna dan Ibnu Basysyar telah menceritakan kepada kami, keduanya mengatakan: Muhammad bin Ja'far telah menceritakan kepada kami: Syu'bah telah menceritakan kepada kami. (Dalam riwayat lain) Abu Bakr bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada kami: Husain bin 'Ali telah menceritakan kepada kami, dari Za`idah. (Dalam riwayat lain) Abu Bakr dan Waki' berkata: dari Isra`il. Mereka semua dari Simak bin Harb dengan sanad ini, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan hadits yang semisalnya.

Shahih Muslim hadits nomor 16

٥ – بَابُ بَيَانِ أَرۡكَانِ الۡإِسۡلَامِ وَدَعَائِمِهِ الۡعِظَامِ

5. Bab penjelasan rukun-rukun Islam dan pilar-pilarnya yang agung

١٩ – (١٦) – حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ نُمَيۡرٍ الۡهَمۡدَانِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ - يَعۡنِي سُلَيۡمَانَ بۡنَ حَيَّانَ الۡأَحۡمَرَ - عَنۡ أَبِي مَالِكٍ الۡأَشۡجَعِيِّ، عَنۡ سَعۡدِ بۡنِ عُبَيۡدَةَ، عَنِ ابۡنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيۡهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (بُنِيَ الۡإِسۡلَامُ عَلَى خَمۡسَةٍ: عَلَى أَنۡ يُوَحَّدَ اللهُ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصِيَامِ رَمَضَانَ، وَالۡحَجِّ).
فَقَالَ رَجُلٌ: الۡحَجِّ وَصِيَامِ رَمَضَانَ؟ قَالَ: لَا، (صِيَامِ رَمَضَانَ وَالۡحَجِّ). هٰكَذَا سَمِعۡتُهُ مِنۡ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيۡهِ وَسَلَّمَ.
19. (16). Muhammad bin 'Abdillah bin Numair Al-Hamdani menceritakan kepada kami: Abu Khalid – yakni Sulaiman bin Hayyan Al-Ahmar – telah menceritakan kepada kami dari Abu Malik Al-Asyja'i, dari Sa'd bin 'Ubaidah, dari Ibnu 'Umar, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara: agar Allah itu diesakan, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji.
Seseorang berkata: Haji, lalu puasa Ramadhan? Ibnu 'Umar berkata: Tidak, puasa Ramadhan lalu haji. Demikianlah aku mendengarnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
٢٠ - (…) - وَحَدَّثَنَا سَهۡلُ بۡنُ عُثۡمَانَ الۡعَسۡكَرِيُّ: حَدَّثَنَا يَحۡيَىٰ بۡنُ زَكَرِيَّاءَ: حَدَّثَنَا سَعۡدُ بۡنُ طَارِقٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي سَعۡدُ بۡنُ عُبَيۡدَةَ السُّلَمِيُّ، عَنِ ابۡنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيۡهِ وَسَلَّمَ؛ قَالَ: (بُنِيَ الۡإِسۡلَامُ عَلَى خَمۡسٍ: عَلَى أَنۡ يُعۡبَدَ اللهُ وَيُكۡفَرَ بِمَا دُونَهُ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الۡبَيۡتِ، وَصَوۡمِ رَمَضَانَ).
20. Sahl bin 'Utsman Al-'Askari telah menceritakan kepada kami: Yahya bin Zakariyya telah menceritakan kepada kami: Sa'd bin Thariq telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Sa'd bin 'Ubaidah As-Sulami telah menceritakan kepadaku, dari Ibnu 'Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara: agar Allah disembah dan selainNya dikufuri, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji ke Makkah, dan puasa Ramadhan.”
٢١ - (…) - حَدَّثَنَا عُبَيۡدُ اللهِ بۡنُ مُعَاذٍ: حَدَّثَنَا أَبِي: حَدَّثَنَا عَاصِمٌ - وَهُوَ ابۡنُ مُحَمَّدِ بۡنِ زَيۡدِ بۡنِ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عُمَرَ - عَنۡ أَبِيهِ؛ قَالَ: قَالَ عَبۡدُ اللهِ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيۡهِ وَسَلَّمَ: (بُنِيَ الۡإِسۡلَامُ عَلَى خَمۡسٍ: شَهَادَةِ أَنۡ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبۡدُهُ وَرَسُولُهُ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الۡبَيۡتِ، وَصَوۡمِ رَمَضَانَ).
21. 'Ubaidullah bin Mu'adz telah menceritakan kepada kami: Ayahku telah menceritakan kepada kami: 'Ashim – yaitu bin Muhammad bin Zaid bin 'Abdillah bin 'Umar – telah menceritakan kepada kami dari ayahnya. Beliau berkata: 'Abdullah berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad hamba dan rasulNya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji ke Makkah, dan puasa Ramadhan.”
٢٢ - (…) - وَحَدَّثَنِي ابۡنُ نُمَيۡرٍ: حَدَّثَنَا أَبِي: حَدَّثَنَا حَنۡظَلَةُ، قَالَ: سَمِعۡتُ عِكۡرِمَةَ بۡنَ خَالِدٍ يُحَدِّثُ طَاوُسًا: أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِعَبۡدِ اللهِ بۡنِ عُمَرَ: أَلَا تَغۡزُو؟ فَقَالَ: إِنِّي سَمِعۡتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيۡهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: (إِنَّ الۡإِسۡلَامَ بُنِيَ عَلَى خَمۡسٍ: شَهَادَةِ أَنۡ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصِيَامِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ الۡبَيۡتِ).
[البخاري: كتاب الإيمان، باب دعاؤكم إيمانكم، رقم: ٨].
22. Ibnu Numair telah menceritakan kepadaku: Ayahku telah menceritakan kepada kami: Hanzhalah telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Aku mendengar 'Ikrimah bin Khalid mengabari Thawus: Sesungguhnya ada seseorang lelaki berkata kepada 'Abdullah bin 'Umar: Tidakkah engkau berperang? Maka 'Abdullah berkata: Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji ke Makkah.”

Shahih Muslim hadits nomor 1037

٩٨ – (١٠٣٧) – حَدَّثَنَا أَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ: حَدَّثَنَا زَيۡدُ بۡنُ الۡحُبَابِ: أَخۡبَرِنِي مُعَاوِيَةُ بۡنُ صَالِحٍ: حَدَّثَنِي رَبِيعَةُ بۡنُ يَزِيدَ الدِّمَشۡقِيُّ، عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عَامِرِ الۡيَحۡصُبِيِّ، قَالَ: سَمِعۡتُ مُعَاوِيَةَ يَقُولُ: إِيَّاكُمۡ وَأَحَادِيثَ إِلَّا حَدِيثًا كَانَ فِي عَهۡدِ عُمَرَ، فَإِنَّ عُمَرَ كَانَ يُخِيفُ النَّاسَ فِي اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، سَمِعۡتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيۡهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ: (مَنۡ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيۡرًا يُفَقِّهۡهُ فِي الدِّينِ).

وَسَمِعۡتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيۡهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: (إِنَّمَا أَنَا خَازِنٌ، فَمَنۡ أَعۡطَيۡتُهُ عَنۡ طِيبِ نَفۡسٍ فَيُبَارَكُ لَهُ فِيهِ، وَمَنۡ أَعۡطَيۡتُهُ عَنۡ مَسۡأَلَةٍ وَشَرَهٍ كَانَ كَالَّذِي يَأۡكُلُ وَلَا يَشۡبَعُ).

98. (1037). Abu Bakr bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada kami: Zaid bin Al-Hubab telah menceritakan kepada kami: Mu'awiyah bin Shalih telah mengabari aku: Rabi'ah bin Yazid Ad-Dimasyqi telah menceritakan kepadaku, dari 'Abdullah bin 'Amir Al-Yahshubi, beliau berkata: Aku mendengar Mu'awiyah berkata: Hati-hati kalian dari hadits-hadits, kecuali hadits pada zaman 'Umar, karena sesungguhnya 'Umar menakut-nakuti manusia kepada Allah 'azza wa jalla. Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, akan Allah pahamkan dia tentang agama.”

Dan aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku hanyalah seorang penyalur harta. Sehingga barangsiapa yang aku beri dengan senang hati, maka dia akan diberkahi padanya. Dan barangsiapa yang aku beri dia karena meminta dan rakus, maka dia seperti orang makan namun tidak kenyang.”

١٠٠ – (١٠٣٧) - وَحَدَّثَنِي حَرۡمَلَةُ بۡنُ يَحۡيَىٰ: أَخۡبَرَنَا ابۡنُ وَهۡبٍ: أَخۡبَرَنِي يُونُسُ، عَنِ ابۡنِ شِهَابٍ. قَالَ: حَدَّثَنِي حُمَيۡدُ بۡنُ عَبۡدِ الرَّحۡمَٰنِ بۡنِ عَوۡفٍ قَالَ: سَمِعۡتُ مُعَاوِيَةَ بۡنَ أَبِي سُفۡيَانَ وَهُوَ يَخۡطُبُ يَقُولُ: إِنِّي سَمِعۡتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ: (مَنۡ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيۡرًا يُفَقِّهۡهُ فِي الدِّينِ، وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَيُعۡطِي اللهُ). 


100. (1037). Harmalah bin Yahya telah menceritakan kepadaku: Ibnu Wahb mengabarkan kepada kami: Yunus mengabarkan kepadaku dari Ibnu Syihab. Beliau berkata: Humaid bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf menceritakan kepadaku. Beliau berkata: Aku mendengar Mu’awiyah bin Abu Sufyan ketika berkhotbah berkata: Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang Allah kehendaki kebaikan padanya, maka Dia akan pahamkan dia dalam agama ini. Aku hanyalah pembagi dan Allah-lah yang memberi.”

١٧٤ – (١٠٣٧) - حَدَّثَنَا مَنۡصُورُ بۡنُ أَبِي مُزَاحِمٍ: حَدَّثَنَا يَحۡيَىٰ بۡنُ حَمۡزَةَ، عَنۡ عَبۡدِ الرَّحۡمَٰنِ بۡنِ يَزِيدَ بۡنِ جَابِرٍ؛ أَنَّ عُمَيۡرَ بۡنَ هَانِىءٍ حَدَّثَهُ. قَالَ: سَمِعۡتُ مُعَاوِيَةَ عَلَى الۡمِنۡبَرِ يَقُولُ: سَمِعۡتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ: (لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنۡ أُمَّتِي قَائِمَةً بِأَمۡرِ اللهِ، لَا يَضُرُّهُمۡ مَنۡ خَذَلَهُمۡ - أَوۡ خَالَفَهُمۡ -، حَتَّىٰ يَأۡتِيَ أَمۡرُ اللهِ وَهُمۡ ظَاهِرُونَ عَلَى النَّاسِ). 


174. (1037). Manshur bin Abu Muzahim telah menceritakan kepada kami: Yahya bin Hamzah menceritakan kepada kami dari ‘Abdurrahman bin Yazid bin Jabir bahwa ‘Umair bin Hani` menceritakan kepadanya. Beliau berkata: Aku mendengar Mu’awiyah ketika di atas mimbar berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada sekelompok dari umatku yang senantiasa melaksanakan perintah Allah. Siapa saja yang menghinakan atau menyelisihi mereka, tidak merugikan mereka hingga ketetapan Allah datang dalam keadaan mereka unggul di atas orang-orang.” 

١٧٥ – (...) - وَحَدَّثَنِي إِسۡحَاقُ بۡنُ مَنۡصُورٍ: أَخۡبَرَنَا كَثِيرُ بۡنُ هِشَامٍ: حَدَّثَنَا جَعۡفَرٌ - وَهُوَ ابۡنُ بُرۡقَانَ - حَدَّثَنَا يَزِيدُ بۡنُ الۡأَصَمِّ. قَالَ: سَمِعۡتُ مُعَاوِيَةَ بۡنَ أَبِي سُفۡيَانَ ذَكَرَ حَدِيثًا رَوَاهُ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ. لَمۡ أَسۡمَعۡهُ رَوَىٰ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ عَلَىٰ مِنۡبَرِهِ حَدِيثًا غَيۡرَهُ. قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (مَنۡ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيۡرًا يُفَقِّهۡهُ فِي الدِّينِ. وَلَا تَزَالُ عِصَابَةٌ مِنَ الۡمُسۡلِمِينَ يُقَاتِلُونَ عَلَى الۡحَقِّ ظَاهِرِينَ عَلَىٰ مَنۡ نَاوَأَهُمۡ إِلَىٰ يَوۡمِ الۡقِيَامَةِ). 

175. Ishaq bin Manshur telah menceritakan kepadaku: Katsir bin Hisyam mengabarkan kepada kami: Ja’far bin Burqan menceritakan kepada kami: Yazid bin Al-Ashamm menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Aku mendengar Mu’awiyah bin Abu Sufyan menyebutkan suatu hadis yang beliau riwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku belum mendengar beliau meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbarnya suatu hadis selain itu. Beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang Allah kehendaki kebaikan pada dirinya, maka Dia akan pahamkan dia dalam agama ini. Ada sekelompok dari kaum muslimin yang senantiasa berperang di atas kebenaran dalam keadaan unggul atas orang yang melawan mereka hingga hari kiamat.”

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 5426

٥٤٢٦ - حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيۡمٍ: حَدَّثَنَا سَيۡفُ بۡنُ أَبِي سُلَيۡمَانَ قَالَ: سَمِعۡتُ مُجَاهِدًا يَقُولُ: حَدَّثَنِي عَبۡدُ الرَّحۡمٰنِ بۡنُ أَبِي لَيۡلَى: أَنَّهُمۡ كَانُوا عِنۡدَ حُذَيۡفَةَ، فَاسۡتَسۡقَى فَسَقَاهُ مَجُوسِيٌّ، فَلَمَّا وَضَعَ الۡقَدَحَ فِي يَدِهِ رَمَاهُ بِهِ، وَقَالَ: لَوۡ لَا أَنِّي نَهَيۡتُهُ غَيۡرَ مَرَّةٍ وَلَا مَرَّتَيۡنِ، كَأَنَّهُ يَقُولُ: لَمۡ أَفۡعَلۡ هٰذَا، وَلَكِنِّي سَمِعۡتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيۡهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: (لَا تَلۡبَسُوا الۡحَرِيرَ وَلَا الدِّيبَاجَ، وَلَا تَشۡرَبُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالۡفِضَّةِ، وَلَا تَأۡكُلُوا فِي صِحَافِهَا، فَإِنَّهَا لَهُمۡ فِي الدُّنۡيَا وَلَنَا فِي الۡآخِرَةِ).
5426. Abu Nu’aim telah menceritakan kepada kami: Saif bin Abi Sulaiman telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Aku mendengar Mujahid berkata: ‘Abdurrahman bin Abi Laila telah menceritakan kepadaku: Bahwasanya mereka berada di sisi Hudzaifah. Beliau meminta minum, lalu seorang Majusi memberi beliau minum. Ketika dia meletakkan gelas ke tangan beliau, beliau melemparnya dengan gelas. Beliau berkata: Kalau bukan karena aku telah melarangnya tidak hanya satu atau dua kali - seakan-akan beliau berkata: Tentu aku tidak melakukannya -. Akan tetapi aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian memakai sutra dan campuran sutra. Janganlah kalian meminum dari bejana emas dan perak. Dan jangan kalian makan dari piringnya. Karena itu untuk mereka di dunia dan untuk kita di akhirat.”

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 137

١٣٧ - حَدَّثَنَا عَلِيٌّ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ قَالَ: حَدَّثَنَا الزُّهۡرِيُّ، عَنۡ سَعِيدِ بۡنِ الۡمُسَيِّبِ عَنۡ عَبَّادِ بۡنِ تَمِيمٍ، عَنۡ عَمِّهِ أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ الرَّجُلَ الَّذِي يُخَيَّلُ إِلَيۡهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيۡءَ فِي الصَّلَاةِ، فَقَالَ: (لَا يَنۡفَتِلُ - أَوۡ لَا يَنۡصَرِفُ - حَتَّى يَسۡمَعَ صَوۡتًا أَوۡ يَجِدَ رِيحًا). [الحديث ١٣٧ – طرفاه في: ١٧٧، ٢٠٥٦].
137. ‘Ali telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Sufyan telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Az-Zuhri telah menceritakan kepada kami, dari Sa’id ibnul Musayyib, dari ‘Abbad bin Tamim, dari pamannya, bahwasanya dia mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang laki-laki yang dikhayalkan kepadanya bahwa dia mendapati sesuatu pada shalatnya. Maka beliau bersabda, “Jangan dia berpaling sampai dia mendengar suara atau mendapati bau.”

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 8

٨ - حَدَّثَنَا عُبَيۡدُ اللهِ بۡنُ مُوسَى قَالَ: أَخۡبَرَنَا حَنۡظَلَةُ بۡنُ أَبِي سُفۡيَانَ، عَنۡ عِكۡرِمَةَ بۡنِ خَالِدٍ، عَنۡ ابۡنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيۡهِ وَسَلَّمَ: (بُنِيَ الۡإِسۡلَامُ عَلَى خَمۡسٍ: شَهَادَةِ أَنۡ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالۡحَجِّ، وَصَوۡمِ رَمَضَانَ).
8. ‘Ubaidullah bin Musa telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Hanzhalah bin Abi Sufyan telah mengabarkan kepada kami, dari ‘Ikrimah bin Khalid, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam dibangun di atas lima hal: bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji, dan berpuasa Ramadhan.”

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 71

١٤ - بَابُ مَنۡ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيۡرًا يُفَقِّهۡهُ فِي الدِّينِ

٧١ - حَدَّثَنَا سَعِيدُ بۡنُ عُفَيۡرٍ قَالَ: حَدَّثَنَا ابۡنُ وَهۡبٍ، عَنۡ يُونُسَ، عَنِ ابۡنِ شِهَابٍ قَالَ: قَالَ حُمَيۡدُ بۡنُ عَبۡدِ الرَّحۡمٰنِ: سَمِعۡتُ مُعَاوِيَةَ خَطِيبًا يَقُولُ: سَمِعۡتُ النَّبِيَّ ﷺ يَقُولُ: (مَنۡ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيۡرًا يُفَقِّهۡهُ فِي الدِّينِ، وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَاللهُ يُعۡطِي، وَلَنۡ تَزَالَ هٰذِهِ الۡأُمَّةُ قَائِمَةً عَلَى أَمۡرِ اللهِ، لَا يَضُرُّهُمۡ مَنۡ خَالَفَهُمۡ حَتَّى يَأۡتِيَ أَمۡرُ اللهِ).  [الحديث ٧١ – أطرافه في: ٣١١٦، ٣٦٤١، ٧٣١٢، ٧٤٦٠].
71. Sa’id bin ‘Ufair telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Ibnu Wahb telah menceritakan kepada kami, dari Yunus, dari Ibnu Syihab, beliau berkata: Humaid bin ‘Abdirrahman berkata: Aku mendengar Mu’awiyah berkhotbah, beliau berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan pahamkan dia tentang agama. Aku hanyalah yang membagi dan Allah-lah yang memberi. Senantiasa umat ini ada orang-orang yang tegak di atas perintah Allah. Orang-orang yang menyelisihi mereka tidak bisa memudharatkan mereka sampai datangnya keputusan Allah.”

At-Tuhfatus Saniyyah - Bab Fa'il

بَابُ الْفَاعِلِ

الْفَاعِلُ هُوَ: الْإِسْمُ الْمَرْفُوعُ الْمَذْكُورُ قَبْلَهُ فِعْلُهُ

Bab Fa’il

Fa’il adalah Isim yang marfu’ yang fi’ilnya disebutkan sebelumnya.
وَأَقُولُ: الْفَاعِلُ لَهُ مَعْنَيَانِ: أَحَدُهُمَا لُغَوِى وَالْآخَرُ اصْطِلَاحِى. أَمَّا مَعْنَاهُ فِي اللُّغَةِ فَهُوَ عِبَارَةٌ عَمَّنْ أَوْجَدَ الْفِعْلَ. وَأَمَّا مَعْنَاهُ فِي الْإِصْطِلَاحِ فَهُوَ: الْإِسْمُ الْمَرْفُوعُ الْمَذْكُورُ قَبْلَهُ فِعْلُهُ، كَمَا قَالَ الْمُؤَلِّفُ.
Aku (penulis) katakan: Fa’il mempunyai dua makna, yang pertama secara bahasa, yang lainnya makna secara istilah. Adapun makna fa’il secara bahasa adalah ungkapan mengenai siapa yang melakukan perbuatan. Adapun makna fa’il secara istilah adalah isim yang marfu’ yang fi’ilnya disebutkan sebelumnya, sebagaimana yang penulis katakan.
وَقَوْلُنَا (الْإِسْمُ) لَا يَشْمُلُ الْفِعْلَ وَلَا الْحَرْفَ، فَلَا يَكُونُ وَاحِدٌ مِنْهُمَا فَاعِلًا، وَهُوَ يَشْمُلُ الْإِسْمَ الصَّرِيحَ وَالْإِسْمَ الْمُؤَوَّلَ بِالصَّرِيحِ. أَمَّا الصَّرِيحُ فَنَحْوُ (نُوحٌ) وَ (إِبْرَاهِيمُ) فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: (قَالَ نُوحٌ)، (وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ)، وَأَمَّا الْمُؤَوَّلُ بِالصَّرِيحِ فَنَحْوُ قَوْلِهِ تَعَالَى: (أَوَ لَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا)، فَأَنَّ: حَرْفُ تَوْكِيدٍ وَنَصْبٍ، وَ (نَا) اسْمُهُ مَبْنِيٌّ عَلَى السُّكُونِ فِي مَحَلِّ نَصْبٍ، وَ (أَنْزَلْنَا) فِعْلٌ مَاضٍ وَفَاعِلُهُ، وَالْجُمْلَةُ فِي مَحَلِّ رَفْعٍ خَبَرُ أَنَّ، وَ (أَنَّ) وَمَا دَخَلَتْ عَلَيْهِ فِي تَأْوِيلِ مَصْدَرٍ فَاعِلُ (يَكْفِي) وَالتَّقْدِيرُ: أَوَ لَمْ يَكْفِهِمْ إِنْزَالُنَا، وَمِثَالُهُ قَوْلِكَ: (يَسُرُّنِي أَنْ تَتَمَسَّكَ بِالْفَضَائِلِ)، وَقَوْلِكَ: (أَعْجَبَنِي مَا صَنَعْتَ)، التَّقْدِيرُ فِيهِمَا: يَسُرُّنِي تَمَسُّكُكَ، وَأَعْجَبَنِي صَنْعُكَ.
Ungkapan kami “isim” berarti tidak meliputi fi’il dan huruf. Jadi salah satu dari keduanya tidak bisa menjadi fa’il. Isim meliputi isim yang sharih dan isim mu`awwal bish sharih. Adapun isim sharih seperti kata “Nuh” dan “Ibrahim” pada firman Allah ta’ala, قَالَ نُوحٌ (Nuh berkata), وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ (Ketika Ibrahim meninggikan). Adapun isim mu`awwal bish sharih seperti firman Allah ta’ala, أَوَ لَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا (Apakah belum cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan). أَنَّ adalah huruf taukid dan nashab. نَا adalah isimnya, mabni atas tanda sukun berkedudukan nashab. أَنْزَلْنَا adalah fi’il madhi dan fa’ilnya. Adapun kalimat tersebut berkedudukan rafa’ sebagai khabar anna. Anna dan kata-kata yang masuk padanya di dalam ta`wil mashdar adalah fa’il dari يَكْفِي, perkiraannya: أَوَ لَمْ يَكْفِهِمْ إِنْزَالُنَا. Dan yang semisalnya seperti ucapanmu يَسُرُّنِي أَنْ تَتَمَسَّكَ بِالْفَضَائِلِ (Membahagiakanku bahwa engkau berpegang teguh dengan keutamaan-keutamaan) dan أَعْجَبَنِي مَا صَنَعْتَ (Mengagumkanku apa yang engkau perbuat), maka taqdir keduanya adalah يَسُرُّنِي تَمَسُّكُكَ (Sikap berpegang teguhmu membahagiakanku), وَأَعْجَبَنِي صَنْعُكَ (Perbuatanmu mengagumkanku).
وَقَوْلُنَا: (الْمَرْفُوعُ) يُخْرِجُ مَا كَانَ مَنْصُوبًا أَوْ مَجْرُورًا، فَلَا يَكُونُ وَاحِدٌ مِنْهُمَا فَاعِلًا.
Ucapan kami “marfu’” berarti mengeluarkan setiap yang dinashab dan yang majrur. Sehingga salah satu di antara keduanya tidak bisa menjadi fa’il.
وَقَوْلُنَا: (الْمَذْكُورُ قَبْلَهُ فِعْلُهُ) يُخْرِجُ الْمُبْتَدَأَ وَإِسْمَ (إِنَّ) وَأَخَوَاتِهَا، فَإِنَّهُمَا لَمْ يَتَقَدَّمْهُمَا فِعْلُ الْبَتَّةِ، وَيُخْرِجُ أَيْضًا إِسْمَ (كَانَ) وَأَخَوَاتِهَا، وَاسْمَ (كَادَ) وَأَخَوَاتِهَا، فَإِنَّهُمَا وَإِنْ تَقَدَّمَهُمَا فِعْلٌ فَإِنَّ هَذَا الْفِعْلَ لَيْسَ فِعْلَ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَالْمُرَادُ بِالْفِعْلِ مَا يَشْمُلُ شِبْهَ الْفِعْلِ كَاسْمِ الْفِعْلِ فِي نَحْوِ (هَيْهَاتَ الْعَقِيقُ) وَ (شَتَّانَ زَيْدٌ وَعَمْرٌ) وَاسْمِ الْفَاعِلِ فِي نَحْوِهِ (أَقَادِمٌ أَبُوكَ). فَالْعَقِيقُ، وَزَيْدٌ مَعَ مَا عُطِفَ عَلَيْهِ، وَأَبُوكَ: كُلٌّ مِنْهَا فَاعِلٌ.
Ucapan kami “yang fi’ilnya disebutkan sebelumnya” berarti mengeluarkan mubtada` dan isim inna beserta saudara-saudaranya. Karena keduanya tidak diawali fi’il. Begitu pula mengeluarkan isim kana beserta saudara-saudaranya dan isim kada beserta saudara-saudaranya. Karena keduanya meskipun diawali oleh fi’il, namun sesungguhnya fi’il tersebut bukanlah fi’il salah satu dari keduanya. Fi’il yang dimaksud di sini juga mencakup yang mirip fi’il. Seperti isim fi’il, contohnya هَيْهَاتَ الْعَقِيقُ (Lembah itu jauh) dan شَتَّانَ زَيْدٌ وَعَمْرٌ (Zaid dan ‘Amr beda jauh). Juga seperti isim fa’il, contohnya أَقَادِمٌ أَبُوكَ (Apakah ayahmu telah tiba?). Maka الْعَقِيقُ, زَيْدٌ وَعَمْرٌ, dan أَبُوكَ semuanya adalah fa’il.

At-Tuhfatus Saniyyah - Bab Isim-isim yang Dirafa’

بَابُ مَرْفُوعَاتِ الْأَسْمَاءِ

الْمَرْفُوعَاتُ سَبْعَةٌ، وَهِيَ الْفَاعِلُ وَالْمَفْعُولُ الَّذِي لَمْ يُسَمَّ فَاعِلُهُ وَالْمُبْتَدَأُ وَخَبَرُهُ وَاسْمُ كَانَ وَأَخَوَاتِهَا وَخَبَرُ إِنَّ وَأَخَوَاتِهَا وَالتَّابِعُ لِلْمَرْفُوعِ وَهُوَ أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ النَّعْتُ وَالْعَطْفُ وَالتَّوْكِيدُ وَالْبَدَلُ.

Bab Isim-isim yang Dirafa’

Isim-isim yang dirafa’ ada tujuh. Yaitu: fa’il, maf’ul yang tidak disebutkan fa’ilnya, mubtada`, khabar, isim kana dan saudara-saudaranya, khabar inna dan saudara-saudaranya, dan yang mengikut ke isim yang dirafa’ -yaitu 4 jenis: na’at, ‘athaf, taukid, dan badal-.
وَأَقُولُ: قَدْ عَلِمْتَ مِمَّا مَضَى أَنَّ الْإِسْمَ الْمُعْرَبَ يَقَعُ فِي ثَلَاثَةِ مَوَاقِعَ: مَوْقِعِ الرَّفْعِ، وَمَوْقِعِ النَّصْبِ، وَمَوْقِعِ الْخَفْضِ، وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَوَاقِعِ عَوَامِلُ تَقْتَضِيهِ، وَقَدْ شَرَعَ الْمُؤَلِّفُ يُبَيِّنُ لَكَ ذَلِكَ عَلَى التَّفْصِيلِ، وَبَدَأَ بِذِكْرِ الْمَرْفُوعَاتِ، لِأَنَّهَا الْأَشْرَفُ، وَقَدْ ذَكَرَ أَنَّ الْإِسْمَ يَكُونُ مَرْفُوعًا فِي سَبْعَةِ مَوَاضِعَ.
١ - إِذَا كَانَ فَاعِلًا، وَمِثَالُهُ (عَلِيٌّ) وَ (مُحَمَّدٌ) فِي نَحْوِ قَوْلِكَ: (حَضَرَ عَلِيٌّ) وَ (سَفَرَ مُحَمَّدٌ).
٢ - أَنْ يَكُونَ نَائِبًا عَنِ الْفَاعِلِ. وَهُوَ الَّذِي سَمَّاهُ الْمُؤَلِّفُ الْمَفْعُولَ الَّذِي لَمْ يُسَمَّ فَاعِلُهُ، نَحْوُ (الْغُصْنُ) وَ (الْمَتَاعُ) مِنْ قَوْلِكَ: (قُطِعَ الْغُصْنُ) وَ (سُرِقَ الْمَتَاعُ).
٣، ٤ - الْمُبْتَدَأُ وَالْخَبَرُ، نَحْوُ (مُحَمَّدٌ مُسَافِرٌ) وَ (عَلِيٌّ مُجْتَهِدٌ).
٥ - إِسْمُ (كَانَ) أَوْ إِحْدَى أَخَوَاتِهَا نَحْوُ (إِبْرَاهِيمُ) وَ (الْبَرْدُ) مِنْ قَوْلِكَ: (كَانَ إِبْرَاهِيمُ مُجْتَهِدًا) وَ (أَصْبَحَ الْبَرْدُ شَدِيدًا).
٦ - خَبَرُ (إِنَّ) أَوْ إِحْدَى أَخَوَاتِهَا، نَحْوُ (فَاضِلٌ) وَ (قَدِيرٌ) مِنْ قَوْلِكَ: (إِنَّ مُحَمَّدًا فَاضِلٌ) وَ (إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ).
٧ - تَابِعُ الْمَرْفُوعِ، وَالتَّابِعُ أَرْبَعَةُ أَنْوَاعٍ: الْأَوَّلُ النَّعْتُ، وَذَلِكَ نَحْوُ: (الْفَاضِلُ) وَ (كَرِيمٌ) مِنْ قَوْلِكَ: (زَارَنِي مُحَمَّدٌ الْفَاضِلُ) وَ (قَابَلَنِي رَجُلٌ كَرِيمٌ)، وَالثَّانِى الْعَطْفُ، وَهُوَ عَلَى صِنْفَيْنِ: عَطْفُ بَيَانٍ، وَعَطْفُ نَسَقٍ، فَمِثَالُ عَطْفِ الْبَيَانِ (عُمَرُ) مِنْ قَوْلِكَ: (سَافَرَ أَبُو حَفْصٍ عُمَرُ) وَمِثَالُ عَطْفِ النَّسَقِ (خَالِدٌ) مِنْ قَوْلِكَ: (تَشَارَكَ مُحَمَّدٌ وَخَالِدٌ)، وَالثَّالِثُ التَّوْكِيدُ، وَمِثَالُهُ (نَفْسُهُ) مِنْ قَوْلِكَ: (زَارَنِي الْأَمِيرُ نَفْسُهُ) وَالرَّابِعُ الْبَدَلُ، وَمِثَالُهُ (أَخُوكَ) مِنْ قَوْلِكَ (حَضَرَ عَلِيٌّ أَخُوكَ).
وَإِذَا اجْتَمَعَتْ هَذِهِ التَّوَابِعُ كُلُّهَا أَوْ بَعْضُهَا فِي كَلَامٍ قَدَّمْتَ النَّعْتَ، ثُمَّ عَطْفَ الْبَيَانِ، ثُمَّ التَّوْكِيدَ، ثُمَّ الْبَدَلَ، ثُمَّ عَطْفَ النَّسَقِ، تَقُولُ: (جَاءَ الرَّجُلُ الْكَرِيمُ عَلِيٌّ نَفْسُهُ صَدِيقُكَ وَأَخُوهُ).
Aku (penulis, Muhammad Muhyiddin 'Abdul Hamid) katakan: Engkau telah mengetahui dari apa yang telah lalu, bahwasanya isim yang mu’rab ada pada tiga tempat: rafa’, nashab, khafdh. Setiap salah satu darinya ada ‘amil-’amil yang menjadi penyebabnya. Penulis menjelaskan hal itu padamu dengan cara merinci. Beliau memulai dengan menyebutkan isim-isim yang dirafa’, karena itu yang paling mulia. Beliau menyebutkan bahwa isim itu rafa’ pada 7 tempat.
1. Jika isim itu adalah fa’il. Contohnya عَلِيٌّ dan مُحَمَّدٌ, pada contoh ucapanmu: (حَضَرَ عَلِيٌّ - Ali telah hadir) dan (سَفَرَ مُحَمَّدٌ - Muhammad telah bersafar).
2. Jika isim itu adalah na`ibul fa’il, yaitu yang penulis istilahkan dengan maf’ul yang tidak disebutkan fa’ilnya. Contohnya الْغُصْنُ dan الْمَتَاعُ, dari ucapanmu (قُطِعَ الْغُصْنُ - Dahan itu telah dipotong) dan (سُرِقَ الْمَتَاعُ - Barang itu telah dicuri).
3, 4. Mubtada` dan khabar, contohnya (مُحَمَّدٌ مُسَافِرٌ - Muhammad seorang musafir) dan (عَلِيٌّ مُجْتَهِدٌ - Ali adalah seorang yang rajin).
5. Isim kana atau salah satu dari saudara-saudara kana. Seperti إِبْرَاهِيمُ dan الْبَرْدُ pada ucapanmu: (كَانَ إِبْرَاهِيمُ مُجْتَهِدًا - Ibrahim adalah seorang yang rajin) dan (أَصْبَحَ الْبَرْدُ شَدِيدًا - Pagi ini sangat dingin).
6. Khabar inna atau salah satu dari saudara inna. Seperti فَاضِلٌ dan قَدِيرٌ dari ucapanmu (إِنَّ مُحَمَّدًا فَاضِلٌ - Sesungguhnya Muhammad seorang yang memiliki keutamaan) dan (إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ - Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu).
7. Yang mengikut (tabi’) ke yang dirafa’. Tabi’ ada 4 macam. Yang pertama adalah na’at, contohnya الْفَاضِلُ dan كَرِيمٌ dari ucapanmu (زَارَنِي مُحَمَّدٌ الْفَاضِلُ - Muhammad yang mulia telah mengunjungiku) dan (قَابَلَنِي رَجُلٌ كَرِيمٌ - Seorang laki-laki yang dermawan telah berjumpa denganku). Yang kedua adalah ‘athaf. ‘Athaf terbagi 2: ‘athaf bayan dan ‘athaf nasaq. Contoh ‘athaf bayan adalah عُمَرُ dari ucapanmu (سَافَرَ أَبُو حَفْصٍ عُمَرُ - Abu Hafsh ‘Umar telah bersafar). Contoh ‘athaf nasaq dari ucapanmu (تَشَارَكَ مُحَمَّدٌ وَخَالِدٌ - Muhammad dan Khalid berserikat). Yang ketiga adalah taukid, contohnya (نَفْسُهُ) dari ucapanmu (زَارَنِي الْأَمِيرُ نَفْسُهُ - Pemimpin itu sendiri telah mengunjungiku). Yang keempat adalah badal, contohnya (أَخُوكَ) dari ucapanmu (حَضَرَ عَلِيٌّ أَخُوكَ - Ali -saudaramu- telah hadir).
Jika berkumpul seluruh atau sebagian tabi’-tabi’ ini pada sebuah kalimat, maka dahulukanlah na’at lalu ‘athaf bayan lalu taukid lalu badal kemudian ‘athaf nasaq. Sehingga kamu katakan, جَاءَ الرَّجُلُ الْكَرِيمُ عَلِيٌّ نَفْسُهُ صَدِيقُكَ وَأَخُوهُ “Telah datang seorang yang mulia ‘Ali dia sendiri yaitu temanmu dan saudara laki-lakinya”.

Manhajus Salikin - Kitab Shalat (9), Bab Shalat Jum'at dan Shalat Dua Hari Raya

Bab Shalat Jum’at

Setiap yang terkena kewajiban shalat jama’ah maka dia wajib shalat jum’at, jika dia sedang bermukim di suatu tempat.
Termasuk syarat-syarat shalat jum’at adalah: melakukannya pada waktunya, diadakan di dalam pemukiman, didahului dengan dua khuthbah. Dari Jabir, beliau berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيۡهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احۡمَرَّتۡ عَيۡنَاهُ وَعَلَا صَوۡتُهُ وَاشۡتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنۡذِرُ جَيۡشٍ يَقُولُ صَبَّحَكُمۡ وَمَسَّاكُمۡ، وَيَقُولُ أَمَّا بَعۡدُ فَإِنَّ خَيۡرَ الۡحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيۡرَ الۡهَدۡيِ هَدۡيُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الۡأُمُورِ مُحۡدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدۡعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berkhuthbah, kedua mata beliau merah, suaranya lantang, emosinya menggebu-gebu, sampai seakan-akan beliau pemberi peringatan pasukan yang sedang mengatakan: Musuh akan datang di pagi hari, musuh akan datang di sore hari. Beliau bersabda: Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad, sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim[1]). Di dalam lafazh Imam Muslim yang lain[2],
كَانَتۡ خُطۡبَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيۡهِ وَسَلَّمَ يَوۡمَ الۡجُمۡعَةِ يَحۡمَدُ اللهَ وَيُثۡنِي عَلَيۡهِ ثُمَّ يَقُولُ عَلَى إِثۡرِ ذَلِكَ وَقَدۡ عَلَا صَوۡتُهُ...
“Khuthbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Jum’at adalah beliau memuji dan menyanjung Allah, kemudian beliau bersabda setelahnya, dan suara beliau lantang...” Di dalam riwayat Imam Muslim yang lain[3],
مَنۡ يَهۡدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنۡ يُضۡلِلۡ فَلَا هَادِيَ لَهُ
“Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang Allah sesatkan, tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.” Dan beliau bersabda,
إِنَّ طُولَ صَلَاةِ الرَّجُلِ وَقَصۡرَ خُطۡبَتِهِ مَئِنَةٌ مِنۡ فِقۡهِهِ
“Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan pendeknya khuthbah menunjukkan pemahaman dia terhadap agama.” (HR. Muslim[4]). Dan disunnahkan berkhuthbah di atas mimbar.
Jika imam naik mimbar, maka dia menghadap manusia, lalu mengucapkan salam kepada mereka. Kemudian duduk, lalu mu`adzdzin adzan. Kemudian imam berdiri, khuthbah, lalu duduk. Kemudian khuthbah yang kedua. Lalu shalat ditegakkan. Imam shalat bersama manusia dua raka’at dengan mengeraskan bacaan. Di raka’at pertama membaca surat Al-A’laa, di raka’at kedua membaca Al-Ghaasyiyah, atau surat Al-Jumu’ah dan Al-Munafiqun.
Disunnahkan bagi yang menghadiri shalat Jum’at: mandi, memakai wangi-wangian, memakai pakaiannya yang paling bagus, dan berpagi-pagi menuju masjid. Di dalam Ash-Shahihain,
إِذَا قُلۡتَ لِصَاحِبِكَ أَنۡصِتۡ يَوۡمَ الۡجُمُعَةِ وَالۡإِمَامُ يَخۡطُبُ فَقَدۡ لَغَوۡتَ
“Jika engkau berkata kepada temanmu: Diamlah, pada hari Jum’at, padahal imam sedang berkhuthbah, maka sungguh engkau telah berbuat sia-sia.”[5] Pernah seorang laki-laki masuk masjid pada hari Jum’at ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhuthbah, maka Nabi bertanya, “Apakah engkau sudah shalat?” Orang itu menjawab, “Belum.” Nabi bersabda, “Bangkitlah dan shalatlah dua raka’at.” (Muttafaqun ‘alaih[6]).

Bab Shalat Dua Hari Raya

أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيۡهِ وَسَلَّمَ النَّاسَ بِالۡخُرُوجِ إِلَيۡهَا حَتَّى الۡعَوَاتِقِ وَالۡحُيَّضِ يَشۡهَدُونَ الۡخَيۡرَ وَدَعۡوَةَ الۡمُسۡلِمِينَ وَيَعۡتَزِلُ الۡحُيَّضُ الۡمُصَلَّى
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan manusia agar keluar menghadiri shalat ‘id termasuk gadis-gadis remaja dan wanita yang sedang haidh supaya mereka menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Wanita yang sedang haidh menjauh dari tempat shalat. (Muttafaqun ‘alaih[7]).
Waktu shalat ‘id semenjak matahari meninggi setinggi tombak hingga tergelincir.
Sunnahnya mengerjakannya di lapangan, mendahulukan shalat ‘Idul Adhha, mengakhirkan shalat ‘Idul Fithr, makan sebelum shalat ‘Idul Fithr dengan kurma sebanyak ganjil, membersihkan badan dan memakai wangi-wangian, memakai pakaian yang paling bagus, dan berangkat dari satu jalan lalu pulang lewat jalan lain.
Kemudian shalat bersama-sama dua raka’at tanpa adzan dan iqamah. Pada raka’at pertama bertakbir tujuh kali termasuk takbiratul ihram, pada raka’at kedua bertakbir lima kali selain takbir berdiri. Mengangkat tangan pada setiap takbir, memuji Allah dan mengucapkan shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di antara dua takbir. Kemudian membaca surat Al-Fatihah dan surat yang lain dan mengeraskan bacaan. Setelah salam, berkhuthbah kepada manusia dengan dua khuthbah, seperti dua khuthbah Jum’at, hanya saja pada setiap khuthbah ‘Id ini, kaum muslimin diingatkan tentang hukum-hukum yang sesuai pada waktu itu.
Disunnahkan takbir mutlak pada malam-malam hari raya dan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Adapun takbir muqayyad adalah setelah shalat-shalat wajib, sejak shalat subuh pada hari ‘Arafah sampai ‘ashr pada akhir hari tasyriq. Bacaannya,
اللهُ أَكۡبَرُ، اللهُ أَكۡبَرُ، اللهُ أَكۡبَرُ، لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، اللهُ أَكۡبَرُ اللهُ أَكۡبَرُ، وَلِلهِ الۡحَمۡدُ

[1] Nomor 867.
[4] Nomor 869 dari hadits ‘Ammar radhiyallahu ‘anhu.
[5] HR. Al-Bukhari (934) dan Muslim (851) dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[6] HR. Al-Bukhari (931) dan Muslim (875) dari hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma.
[7] HR. Al-Bukhari (351) dan Muslim (890) dari hadits ‘Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha.

Manhajus Salikin - Kitab Shalat (8), Bab Shalat Orang yang Mempunyai Udzur

Orang yang sakit dimaafkan untuk tidak menghadiri jama’ah. Jika shalat dengan berdiri akan menambah sakitnya, maka dia shalat dengan duduk. Jika tidak mampu duduk, maka shalat dengan berbaring. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Imran bin Hushain,
صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبِكَ
“Shalatlah dengan berdiri. Jika engkau tidak mampu, maka dengan duduk. Jika engkau tidak mampu, maka dengan berbaring.” (HR. Al-Bukhari[1]).
Jika sulit untuk mengerjakan shalat pada tiap waktunya, maka boleh baginya untuk menjama’ zhuhur dengan ‘ashr atau maghrib dengan ‘isya` dalam salah satu waktu. Begitu pula bagi musafir boleh untuk menjama’. Disunnahkan bagi musafir untuk mengqashar shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at, dan boleh berbuka ketika bulan Ramadhan.
Boleh dilakukan shalat khauf sesuai dengan cara yang pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan. Di antaranya hadits Shalih bin Khawwaat dari orang yang pernah shalat khauf bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari perang Dzatur Riqaa’,
أَنَّ طَائِفَةً صَفَّتْ مَعَهُ وَطَائِفَةً وِجَاهَ الْعَدُوِّ فَصَلَّى بِالَّذِينَ مَعَهُ رَكْعَةً ثُمَّ ثَبَتَ قَائِمًا وَأَتِمُّوا لأَنْفُسِهِمْ ثُمَّ انْصَرَفُوا وَصَفُّواوِجَاهَ الْعَدُوِّ، وَجَاءَتِ الطَّائِفَةُ الأُخْرَى فَصَلَّى بِهِمُ الرَّكْعَةَ الَّتِي بَقِيَتْ ثُمَّ ثَبَتَ جَالِسًا وَأَتِمُّوا لأَنْفُسِهِمْ ثُمَّ سَلَّمَ بِهِمْ
“Sekelompok pasukan berbaris bersama beliau, sekelompok yang lain menghadap ke musuh. Kemudian beliau shalat dengan orang-orang yang bersama beliau satu raka’at. Lalu beliau tetap berdiri dan orang-orang menyempurnakan shalat mereka sendiri. Kemudian mereka beranjak pergi dan berbaris menghadap ke musuh. Lalu sekelompok pasukan yang lain datang, kemudian Nabi shalat bersama mereka satu raka’at yang tersisa. Kemudian beliau tetap duduk dan orang-orang menyempurnakan shalat mereka, lalu beliau salam bersama mereka.” (Muttafaqun ‘alaih[2]).
Apabila rasa takut sangat kuat, maka shalatlah dengan berjalan kaki atau berkendara, baik menghadap kiblat atau selainnya, berisyarat ketika ruku’ dan sujud. Demikian pula bagi setiap orang yang mengkhawatirkan dirinya, dia shalat sesuai dengan keadaannya. Dia boleh melakukan setiap apa yang dia butuhkan untuk melakukannya, seperti ketika sedang melarikan diri atau selainnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَائْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Jika aku perintahkan kalian suatu perkara, maka kerjakanlah semampu kalian.” (Muttafaqun ‘alaih[3]).

[1] Nomor 1117.
[3] HR. Al-Bukhari (7288) dan Muslim (1337) dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

Manhajus Salikin - Kitab Shalat (7), Bab Shalat Jama’ah dan Keimaman

Shalat jama’ah pada shalat lima waktu adalah fardhu ‘ain bagi laki-laki baik mukim maupun safar, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاَةِ أَنْ تُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً يَؤُمُّ النَّاسَ ثُمَّ أَنْطَلِقَ بِحَزْمٍ مِنْ حَطَبٍ إِلَى أُنَاسٍ يَتَخَلَّفُونَ عَنْهَا فَأُحَرِّقُ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ
“Sungguh aku ingin agar shalat ditegakkan, kemudian aku memerintahkan seseorang untuk mengimami manusia, kemudian aku pergi dengan membawa seikat kayu bakar kepada orang-orang yang meninggalkan shalat jama’ah, lalu aku bakar rumah-rumah mereka dengan api.” (Muttafaqun ‘alaih[1]).
Shalat jama’ah paling sedikit adalah imam dan makmum. Manakala lebih banyak orangnya maka lebih dicintai Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat jama’ah lebih utama dari shalat sendirian sebanyak 27 derajat.” (Muttafaqun ‘alaih[2]).
Beliau juga bersabda,
إِذَا صَلَّيْتُمَا فِي رِحَالِكُمَا ثُمَّ أَتَيْتُمَا مَسْجِدَ جَمَاعَةٍ فَصَلَّيَا مَعَهُمْ فَإِنَّهَا لَكُمَا نَافِلَةً
“Jika kalian shalat di rumah kalian, kemudian kalian mendatangi masjid ada shalat jama’ah, maka shalatlah bersama mereka. Sesungguhnya shalat itu dihitung sebagai shalat nafilah (sunnah) untuk kalian.” (HR. Ahlus Sunan[3]).
Dari Abu Hurairah secara marfu’,
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَلاَ تُكَبِّرُوا حَتَّى يُكَبِّرَ، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَلاَ تَرْكَعُوا حَتَّى يَرْكَعَ وَإِذَا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا: رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَلاَ تَسْجُدُوا حَتَّى يَسْجُدَ، وَإِذَا صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا، وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا أَجْمَعُونَ
“Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti. Jika imam bertakbir, maka bertakbirlah kalian, dan janganlah kalian takbir sampai imam bertakbir. Jika imam ruku’, maka ruku’lah kalian, dan jangan kalian ruku’ sampai imam ruku’. Jika imam mengucapkan: Sami’allahu liman hamidah, maka ucapkanlah: Rabbana wa lakal hamdu. Dan jika imam sujud, maka sujudlah kalian, dan jangan kalian sujud sampai imam sujud. Jika imam shalat dengan berdiri, maka shalatlah kalian dengan berdiri. Jika imam shalat dengan duduk, shalatlah kalian semua dengan duduk.” (HR. Abu Dawud dan asal hadits ini ada di Shahihain[4]).
Beliau bersabda,
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ، فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ، فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً، فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِنًّا، وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلاَ يَقْعُدُ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Yang mengimami shalat kaum muslimin adalah yang paling banyak hafalan Al-Qur`an. Jika mereka sama di dalam hafalan, maka yang paling berilmu tentang sunnah. Jika mereka sama dalam ilmu tentang sunnah, maka yang paling dahulu hijrah. Jika mereka sama di dalam hijrah, maka yang paling tua. Dan janganlah sekali-kali seseorang mengimami orang lain di daerah orang tersebut dan jangan pula dia duduk di rumahnya di atas tempat duduk khususnya kecuali dengan izinnya.” (HR. Muslim[5]).
Sepantasnya imam berada di depan dan para makmum berbaris rapat dan menyempurnakan shaf awal terlebih dahulu.
Barangsiapa shalat dalam keadaan sendirian di belakang shaf tanpa ada udzur, maka dia mengulangi shalatnya. Ibnu ‘Abbas berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَأَخَذَ بِرَأْسِي مِنْ وَرَائِي فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ
“Aku shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam. Akupun berdiri di sebelah kiri beliau, namun beliau menarik kepalaku dari belakang, lalu beliau menjadikan aku berada di sebelah kanan beliau.” (Muttafaqun ‘alaih[6]).
Beliau bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمُ الإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمُ السَّكِينَةُ وَالْوَقَارُ وَلاَ تُسْرِعُوا، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
“Jika kalian telah mendengar iqamah, maka berjalanlah kalian menuju shalat, dan kalian wajib tenang dan tidak tergesa-gesa. Janganlah kalian terburu-buru. Apa yang kalian dapati, maka shalatlah kalian. Dan apa yang kalian luput, maka sempurnakanlah.” (Muttafaqun ‘alaih[7]). Dan di dalam riwayat At-Tirmidzi[8],
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الصَّلاَةَ وَالإِمَامُ عَلَى حَالٍ فَلْيَصْنَعْ كَمَا يَصْنَعُ الإِمَامُ
“Jika salah seorang kalian mendatangi shalat ketika imam sudah memulai shalatnya, maka kerjakanlah seperti yang sedang imam kerjakan.”

[1] HR. Al-Bukhari (644) dan Muslim (651) dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[2] HR. Al-Bukhari (645) dan Muslim (650) dari hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma.
[3] HR. Abu Dawud (575), At-Tirmidzi (219), dan An-Nasai (2/112-113) dari hadits Yazid ibnul Aswad radhiyallahu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih”, Ibnus Sakan dan Al-’Allamah Al-Albani di Shahih Sunan Abu Dawud menshahihkannya.
[4] HR. Abu Dawud (603) secara sempurna, Al-Bukhari meriwayatkannya secara ringkas (722), dan Muslim (414).
[5] Nomor 673 dari hadits Abu Mas’ud Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu.
[7] HR. Al-Bukhari (636) dan Muslim (602) dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[8] Nomor 590 dari hadits ‘Ali dan Mu’adz radhiyallahu ‘anhuma. At-Tirmidzi dan Al-Hafizh mendha’ifkannya. Lihatlah Al-Ahadits Ash-Shahihah (1188) karya Al-Albani.

Manhajus Salikin - Kitab Shalat (6), Bab Shalat Tathawwu’

Yang paling ditekankan adalah shalat gerhana (kusuf) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya dan memerintahkannya. Shalat ini dikerjakan dengan tata cara di dalam hadits ‘Aisyah,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَهَرَ فِي صَلاَةِ الْكُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي رَكْعَتَيْنِ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeraskan bacaan di dalam shalat kusuf, beliau shalat 2 raka’at dengan 4 ruku’ dan 4 sujud.” (Muttafaqun ‘alaih[1]).
Lalu shalat witir adalah shalat sunnah yang ditekankan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengerjakannya baik pada waktu mukim atau safar. Beliau menganjurkan manusia untuk mengerjakannya[2].
Shalat witir paling sedikit satu raka’at, paling banyak sebelas raka’at. Waktunya semenjak shalat ‘isya sampai terbit fajar. Lebih utama untuk menjadikannya sebagai shalat yang terakhir, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا
“Jadikanlah shalat witir sebagai akhir shalat kalian pada malam hari.” (Muttafaqun ‘alaih[3]). Beliau bersabda,
مَنْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ، وَمَنْ طَمَعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ، فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ
“Barangsiapa yang khawatir tidak bisa shalat di akhir malam, hendaknya shalat witir pada awal malam. Barangsiapa yang ingin shalat di akhir malam, hendaknya shalat witir pada akhir malam. Sesungguhnya shalat pada akhir malam disaksikan, dan itu lebih utama.” (HR. Muslim[4]).
Kemudian shalat minta hujan (istisqa`) adalah sunnah jika manusia membutuhkan karena tidak adanya air. Shalat ini dikerjakan seperti shalat ‘id di lapangan. Manusia keluar menuju lapangan dengan khusyu’, merendahkan diri, dan menghinakan diri. Lalu shalat 2 raka’at, kemudian berkhuthbah dengan 1 khuthbah, di dalam khuthbah itu diperbanyak istighfar dan membaca ayat-ayat yang memerintahkan istighfar, merengek dalam berdo’a, dan jangan merasa do’anya lambat dikabulkan.
Sebelum keluar ke lapangan, hendaknya: mengerjakan sebab-sebab yang dapat menolak kejelekan dan mendatangkan rahmat, seperti istighfar, taubat, berhenti dari segala kezhaliman, berbuat baik terhadap sesama makhluk, dan sebab-sebab lain yang Allah menjadikannya mendatangkan rahmat dan menolak kemurkaan. Wallahu a’lam.
Waktu-waktu yang terlarang mengerjakan shalat sunnah mutlak: semenjak setelah fajar hingga matahari naik setinggi tombak, semenjak setelah shalat ‘ashr sampai matahari tenggelam, dan semenjak matahari tepat di tengah langit sampai tergelincir.

[1] HR. Al-Bukhari (1065) dan Muslim (901).
[2] Silakan melihat Nailul Authar (2/206) dan setelahnya.
[3] HR. Al-Bukhari (998) dan Muslim (751) dari hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma.
[4] Nomor 755 dari hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma.

Manhajus Salikin - Kitab Shalat (5), Bab Pembatal Shalat dan Hal yang Dibenci dalam Shalat

Shalat bisa batal karena:
  • meninggalkan rukun atau syarat dalam keadaan dia mampu baik karena sengaja, lupa, atau tidak tahu,
  • menginggalkan kewajiban secara sengaja,
  • berbicara dengan sengaja,
  • tertawa keras,
  • banyak bergerak yang terus-menerus tanpa kebutuhan.
Hal itu oleh karena, pada pembatal-pembatal yang awal seseorang meninggalkan perkara-perkara yang suatu ibadah tidak bisa sempurna kecuali dengannya. Adapun pada pembatal-pembatal yang akhir, seseorang melakukan perkara-perkara yang dia dilarang melakukannya ketika shalat.
Hal-hal yang dibenci:

  • menoleh ketika shalat, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai menoleh ketika shalat. Beliau menjawab,
    هَذَا إِخْتِلاَسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ الْعَبْدِ
    “Itu adalah pencurian yang setan mencurinya dari shalat seorang hamba.” (HR. Al-Bukhari[1]).
  • melakukan hal yang sia-sia,
  • meletakkan tangan di pinggang,
  • menjalinkan jari-jemarinya,
  • menekuk ruas jari-jari sehingga berbunyi,
  • duduk ketika shalat dengan jongkok seperti jongkoknya anjing,
  • menghadap pada sesuatu yang dapat melalaikannya,
  • atau dia masuk shalat dalam keadaan hatinya tersibukkan oleh buang air kecil atau besar atau makanan yang sudah dihidangkan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
    لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ
    “Tidak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan dan tidak ada shalat dalam keadaan dia menahan dari buang air kecil atau besar.” (Muttafaqun ‘alaih[2]).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menghamparkan hastanya (lengan bawah) ketika sujud.[3]

[1] Nomor 751 dari hadits sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
[2] HR. Muslim (560) dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Al-Bukhari tidak meriwayatkan hadits ini.
[3] HR. Al-Bukhari (532) dan Muslim (493) dari hadits Anas radhiyallahu ‘anhu.

Al-Qawa'idul Arba' (القواعد الأربع)

Alhamdulillah. Matan kitab bahasa arab Al-Qawa'idul Arba' karya Asy-Syaikh Muhammad bin 'Abdul Wahhab dalam format PDF bisa didownload di sini. Adapun terjemahan, audio mp3, dan lain-lain bisa didapatkan di situs kaahil.

Manhajus Salikin - Kitab Shalat (4), Bab Sujud Sahwi, Sujud Tilawah, dan Sujud Syukur

Sujud sahwi disyariatkan jika seseorang ketika shalat menambah ruku’, sujud, berdiri, duduk karena lupa. Atau mengurangi salah satu rukun, maka dia menyempurnakannya kemudian sujud. Atau meninggalkan salah satu kewajiban-kewajiban shalat karena lupa atau ragu-ragu lebih atau kurang.
Sungguh telah tsabit bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri padahal seharusnya tasyahhud awal, kemudian beliau bersujud[1]. Beliau pernah salam pada saat dua raka’at zhuhr atau ashr, kemudian para shahabat mengingatkan beliau, lalu beliau menyempurnakan dan sujud karena lupa[2]. Beliau juga pernah shalat zhuhr lima raka’at, lalu dikatakan kepada beliau, “Apakah shalat ini ditambah raka’atnya?” Kemudian beliau bertanya, “Kenapa begitu?” Mereka menjawab, “Engkau shalat lima raka’at.” Kemudian beliau sujud 2 kali setelah salam. (Muttafaqun ‘alaih[3]). Beliau pernah bersabda,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فِي صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ رَابِعًا، فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ، فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ
“Jika salah seorang kalian ragu-ragu di dalam shalatnya, dia tidak tahu sudah berapa raka’at, tiga atau empat, maka hendaknya dia campakkan keragu-raguannya dan hendaknya dia berpatokan pada apa yang dia yakini, kemudian sujud 2 kali sebelum salam. Jika ternyata dia shalat 5 raka’at, maka sujudnya menggenapkan shalatnya. Jika ternyata dia shalat sempurna 4 raka’at, maka sujudnya sebagai penghinaan untuk setan.” (HR. Ahmad dan Muslim[4]). Dia boleh memilih sujud sebelum salam atau setelahnya.
Disunnahkan bagi yang membaca Al-Qur`an dan yang menyimaknya, jika membaca ayat sajdah, agar dia sujud satu kali, baik ketika shalat atau di luar shalat.
Demikian pula, jika seseorang baru saja mendapatkan nikmat atau terlindung dari siksa, disyariatkan sujud kepada Allah dalam rangka syukur. Hukum sujud syukur seperti hukum sujud tilawah.

[1] HR. Al-Bukhari (1224) dan Muslim (570).
[2] HR. Al-Bukhari (482) dan Muslim (573) dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[3] HR. Al-Bukhari (404) dan Muslim (572) dari hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.
[4] HR. Ahmad (3/72) dan Muslim (571) dari hadits Abu Sa’id Al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu.