Cari Blog Ini

Shahih Muslim hadits nomor 241

٢٦ – (٢٤١) – وَحَدَّثَنِي زُهَيۡرُ بۡنُ حَرۡبٍ: حَدَّثَنَا جَرِيرٌ. (ح) وَحَدَّثَنَا إِسۡحَاقُ: أَخۡبَرَنَا جَرِيرٌ، عَنۡ مَنۡصُورٍ، عَنۡ هِلَالِ بۡنِ يَسَافٍ، عَنۡ أَبِي يَحۡيَىٰ، عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عَمۡرٍو؛ قَالَ: رَجَعۡنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ مِنۡ مَكَّةَ إِلَى الۡمَدِينَةِ، حَتَّى إِذَا كُنَّا بِمَاءٍ بِالطَّرِيقِ، تَعَجَّلَ قَوۡمٌ عِنۡدَ الۡعَصۡرِ، فَتَوَضَّؤُوا، وَهُمۡ عِجَالٌ، فَانۡتَهَيۡنَا إِلَيۡهِمۡ وَأَعۡقَابُهُمۡ تَلُوحُ لَمۡ يَمَسَّهَا الۡمَاءُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (وَيۡلٌ لِلۡأَعۡقَابِ مِنَ النَّارِ، أَسۡبِغُوا الۡوُضُوءَ).
26. (241). Zuhair bin Harb telah menceritakan kepadaku: Jarir menceritakan kepada kami. (Dalam riwayat lain) Ishaq telah menceritakan kepada kami: Jarir mengabarkan kepada kami, dari Manshur, dari Hilal bin Yasaf, dari Abu Yahya, dari 'Abdullah bin 'Amr; Beliau berkata: Kami pulang dari Makkah menuju Madinah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Sampai ketika kami sampai di air di jalan, maka orang-orang pun terburu-buru untuk mengerjakan shalat 'Ashr. Mereka berwudhu` dalam keadaan tergesa-gesa. Maka kami pun mendekati mereka sedangkan tumit-tumit mereka terlihat tidak terusap air. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Celaka tumit-tumit itu dari neraka. Sempurnakanlah wudhu` kalian.”
(…) - وَحَدَّثَنَاهُ أَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنۡ سُفۡيَانَ. (ح) وَحَدَّثَنَا ابۡنُ الۡمُثَنَّىٰ وَابۡنُ بَشَّارٍ. قَالَا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ جَعۡفَرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعۡبَةُ، كِلَاهُمَا عَنۡ مَنۡصُورٍ، بِهٰذَا الۡإِسۡنَادِ. وَلَيۡسَ فِي حَدِيثِ شُعۡبَةَ: (أَسۡبِغُوا الۡوُضُوءَ)، وَفِي حَدِيثِهِ: عَنۡ أَبِي يَحۡيَىٰ الۡأَعۡرَجِ.
Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan hadits ini kepada kami: Waki' menceritakan kepada kami, dari Suyan. (Dalam riwayat lain) Ibnul Mutsanna dan Ibnu Basysyar telah menceritakan kepada kami. Mereka berdua berkata: Muhammad bin Ja'far menceritakan kepada kami, beliau berkata: Syu'bah menceritakan kepada kami. Keduanya dari Manshur, dengan sanad ini. Di dalam hadits Syu'bah tidak ada lafazh, “Sempurnakanlah wudhu` kalian.” Dan di dalam haditsnya: dari Abu Yahya Al-A'raj.
٢٧ - (…) - حَدَّثَنَا شَيۡبَانُ بۡنُ فَرُّوخَ وَأَبُو كَامِلٍ الۡجَحۡدَرِيُّ، جَمِيعًا عَنۡ أَبِي عَوَانَةَ. قَالَ أَبُو كَامِلٍ: حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنۡ أَبِي بِشۡرٍ، عَنۡ يُوسُفَ بۡنِ مَاهَكَ، عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عَمۡرٍو؛ قَالَ: تَخَلَّفَ عَنَّا النَّبِيُّ ﷺ فِي سَفَرٍ سَافَرۡنَاهُ، فَأَدۡرَكَنَا وَقَدۡ حَضَرَتۡ صَلَاةُ الۡعَصۡرِ، فَجَعَلۡنَا نَمۡسَحُ عَلَى أَرۡجُلِنَا. فَنَادَى: (وَيۡلٌ لِلۡأَعۡقَابِ مِنَ النَّارِ).
[البخاري: كتاب العلم، باب من رفع صوته بالعلم، رقم: ٦٠].
27. Syaiban bin Farrukh dan Abu Kamil Al-Jahdari telah menceritakan kepada kami, seluruhnya dari Abu 'Awanah. Abu Kamil berkata: Abu 'Awanah menceritakan kepada kami, dari Abu Bisyr, dari Yusuf bin Mahak, dari 'Abdullah bin 'Amr; Beliau berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah tertinggal di belakang kami di suatu perjalanan kami, kemudian dia menyusul kami ketika masuk waktu shalat 'Ashr. Lantas kami pun membasuh kaki-kaki kami, lalu beliau berseru, “Celaka tumit-tumit itu dari neraka.”

Syaikh Al Albani, Ahli Hadits Abad Ini


Jika kita membaca tulisan-tulisan dakwah, sering hadits-hadits yang dikutip di tulisan tersebut ada keterangan “dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani”. Siapakah “Al Albani”?

Muhammad Nashiruddin Al-Albani bin Nuh Najati, putra seorang ulama mazhab Hanafi. Al-Albani adalah nisbat kepada negeri kelahiran beliau yaitu Albania. Karena orang Albania, jangan bayangkan penampilan seperti ulama-ulama lain yang kebanyakan dari jazirah Arab. Wajah beliau khas “bule” dengan kulit putih kemerahan layaknya orang-orang Eropa.

Beliau dilahirkan di kota Ashqadar, ibu kota Albania pada waktu itu, pada tahun 1333 H atau 1914 M. Beliau tinggal di kota tersebut selama kurang lebih sembilan tahun. Saat komunis menguasai daerah tersebut di bawah kepemimpinan Ahmet Zogu, sang ayah mengajak keluarganya untuk berhijrah ke Damaskus, ibu kota Suriah, demi keselamatan agama mereka.

Ketika beliau remaja, ayah beliau mendidik sendiri putranya untuk belajar agama. Ayahnya mengajarkan Al Albani muda pelajaran Al-Qur`an dan tajwid, ilmu sharaf, dan fikih melalu mazhab Hanafi karena ayahnya termasuk ulama madzhab tersebut. Selain belajar kepada ayahnya sendiri, tak lupa beliau belajar kepada beberapa syaikh dan ulama teman-teman ayahnya.

BELAJAR ILMU HADITS


Pada umur sekitar dua puluh tahun, suatu hari pandangan beliau tertuju pada sebuah majalah bernama Al-Manar terbitan Muhammad Rasyid Ridha1 di salah satu toko. Dibukanya lembaran demi lembaran majalah tersebut. Terhentilah beliau pada makalah Muhammad Rasyid Ridha yang melakukan studi kritik terhadap kitab Ihya` Ulumuddin dan hadits-haditsnya. “Pertama kali aku dapati kritik ilmiah semacam ini,” ujar beliau.

Ilmu hadits begitu luar biasa memikatnya. Beliau lalu banyak menghabiskan waktunya untuk belajar ilmu hadits sejak saat itu. Profesi beliau sebagai tukang reparasi jam lambat laun mulai dikurangi jam kerjanya, agar beliau bisa semakin banyak belajar ilmu hadits. Beliau pun lambat laun meninggalkan kefanatikan dalam bermazhab Hanafi. Beliau mengajarkan bahwa kebenaran itu melalui kuat tidaknya dalil yang digunakan, bukan melalui mazhab-mazhab tertentu.

Karya-karya beliau jumlahnya lebih dari dua ratus karya, baik yang kecil maupun yang besar, dan berjilid-jilid, baik yang sudah lengkap maupun yang belum lengkap menjadi bukti. Di Indonesia pun karya-karya beliau sudah banyak yang diterjemahkan. Salah satu yang paling terkenal adalah “Shifatu Shalatin Nabi”.

Peninggalan beliau berupa ilmu sungguh besar manfaatnya bagi kaum muslimin. Melalui penelitian beliaulah, kaum muslimin sekarang ini tahu mana hadits yang shahih dan mana yang palsu.

Di akhir-akhir usianya, beliau sering sakit-sakitan hingga dimasukkan ke rumah sakit di negeri ketiganya, Yordania. Namun, Allah telah menetapkan pada hari Sabtu 22 Jumadil Akhir 1420 H yang bertepatan dengan 2 Oktober 1999 M, beliau meninggal dunia. Sungguh, beliau merupakan ulama pembaru yang menyerukan pemurnian Islam di abad ini. (Ristyandani)


1 Namun ternyata Muhammad Rasyid Ridha memiliki beberapa pemahaman yang tidak sesuai dengan sunnah. Sehingga pemahaman Syaikh Albani dengan Muhammad Rasyid Ridha berbeda.

Sumber: Majalah Tashfiyah, edisi 31 volume 3 1434 H / 2013 M, rubrik Ensiklopedi.

Ammar bin Yasir radhiyallahu 'anhuma

Angin panas gurun menerbangkan pasir menerpa tubuh-tubuh tak berdaya itu. Butir-butir pasir panas semakin menambah berat hari-hari mereka. Namun, janji dari Yang Maha Perkasa telah lekat dalam keyakinan. Bahwa, pertolongan-Nya subhanahu wa ta’ala sangatlah dekat. Seandainya tidak di dunia fana ini, pasti akan tergapai di akhirat sana.

Siksaan orang-orang kafir, berbagai kekejaman dan penistaan pada tubuh-tubuh lemah itu tidak mampu menggoyahkan kokohnya keimanan dalam qalbu mereka. Ya, orang-orang kafir itu hanya mampu menyakiti badan mereka. Para musuh Allah subhanahu wa ta’ala itu tidak kuasa menyentuh hati mereka.
صَبۡرًا يَا آلَ يَاسِرٍ فَإِنَّ مَوۡعِدَكُمُ الۡجَنَّةُ
“Sabarlah wahai keluarga Yasir, sungguh janji bagi kalian adalah surga.”
Janji mulia dari Rasul mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiada dusta, bukan pula pura-pura. Hati miris. Betapa sakit melihat saudara seiman tersiksa dengan hebat, sementara diri tidak bisa berbuat apa.

Ketika Ammar bin Yasir, ayah, dan ibunya disiksa di gurun pasir yang panas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati mereka. Beliau tidak mampu menolong mereka. Dengan sangat sedih beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan kabar gembira itu, “Bersabarlah keluarga Yasir, sungguh janji kalian adalah surga.” Allahu Akbar! Janji siapa lagi yang diharap setelah seorang Rasul yang mengucapkan? Kenikmatan apalagi setelah surga yang abadi? Orang yang cerdask akan bersabar di alam fana ini untuk meraih kenikmatan kekal dan hakiki.

Keadaan kaum muslimin di awal Islam memang sangat lemah. Hanya beberapa orang yang bersegera menyambut dakwah kemenangan dan kebahagiaan ini. Itu pun sebagian besar adalah orang-orang yang lemah. Wanita, budak, atau seorang yang bukan bagian dari kabliah besar yang mampu melindungi. Keluarga Ammar termasuk yang ketiga.

Ayah Ammar, Yasir adalah seorang Arabi Qahthani Madzhaji. Yaitu berasal dari Yaman. Yasir pergi ke Makkah untuk mencari saudaranya. Di Makkah, beliau meminta perlindungan kepada Abu Hudzaifah bin Al Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum. Kemudian menikah dengan Sumayyah, seorang budak dari Bani Makhzum. Terlahirlah Ammar. Sehingga, Ammar berwala’ kepada Bani Makhzum. Karena bukan asli Bani Makhzum, status suaka Ammar dan keluarga beliau sangat lemah.

Sehingga, orang-orang kafir Quraisy mudah menimpakan tekanan yang hebat kepada Ammar dan keluarganya. Apalagi, keluarga Ammar termasuk pertama yang menampakkan keislaman. Mujahid rahimahullah mengatakan, “Orang pertama yang menampakkan keislaman ada tujuh: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, Bilal, Khabab, Shuhaib, Ammar, dan ibunya yaitu Sumayyah. Semoga Allah meridhai mereka semua.

Begitu hebat siksaan musyrikin Quraisy kepada mereka. Sumayyah, Ibunda Ammar, adalah seorang syahidah pertama dalam Islam. Beliau wafat dengan sangat tragis. Musuh Allah, Abu Jahl menusukkan tombak pada bagian bawah perut beliau hingga wafat. Allah subhanahu wa ta’ala telah meridhai beliau.

Memang, siksaan yang sangat berat. Dipanggang di bawah terik matahari yang membakar, dipukul, dibiarkan kehausan dan kelaparan, hingga tidak mampu lagi untuk duduk tegak. Saking hebatnya siksaan itu, dengan berat dan terpaksa, Ammar radhiyallahu ‘anhuma menuruti kemauan orang kafir untuk mencela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyanjung sesembahan mereka. Sementara qalbu beliau penuh dengan keimanan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaksikan, “Ammar memenuhi dirinya, dari kepala sampai kakinya dengan keimanan.” [H.R. Ibnu Majah dan yang lainnya dari shahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’]. Subhanallah!

Allah subhanahu wa ta’ala turunkan ayat tentang keadaan beliau.
مَن كَفَرَ بِٱللهِ مِنۢ بَعۡدِ إِيمَـٰنِهِۦٓ إِلَّا مَنۡ أُكۡرِهَ وَقَلْبُهُۥ مُطۡمَئِنٌّۢ بِٱلۡإِيمَـٰنِ وَلَـٰكِن مَّن شَرَحَ بِٱلۡكُفۡرِ صَدۡرًا فَعَلَيۡهِمۡ غَضَبٌ مِّنَ ٱللهِ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman, (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal qalbunya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” [Q.S. An Nahl: 106].
Demikian kesepakatan ulama yang disebutkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah tentang ayat ini.

Sangat banyak keutamaan shahabat yang mulia, Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhuma. Beliau termasuk As Sabiqunal Awwalun (yang pertama masuk Islam), ikut serta dalam Baiatur Ridhwan, berhijrah ke Madinah, turut dalam perang Badar, dan seluruh peperangan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun para ulama berselisih apakah beliau juga berhijrah ke Habasyah.

Ammar radhiyallahu ‘anhuma sangat dekat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Khalid bin Al Walid radhiyallahu ‘anhu pernah berkisah, “Pernah terjadi salah paham antara diriku dan Ammar. Sehingga ucapanku kepadanya sangat kasar. Maka Ammar mengadukanku kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pun kemudian balik mengadukannya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di hadapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku menyebutkan kalimat yang kasar kepada Ammar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya diam. Sementara Ammar menangis, dan mengatakan, ‘Ya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidakkah engkau melihat Khalid?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kepala beliau. Kemudian bersabda, ‘Siapa yang memusuhi Ammar, Allah akan memusuhinya. Siapa yang membuat marah Ammar, Allah akan murka kepadanya.’ Sejak saat itu, -kata Khalid-, tidak ada sesuatu yang lebih aku cintai daripada keridhaan Ammar kepadaku. Aku pun menemuinya, sehingga Ammar ridha kepadaku.”

Hadits yang menujukkan keutamaan Ammar radhiyallanhu ‘anhuma sangat banyak. Sebagian yang telah disebutkan cukup menggambarkan kepada kita tentang kemuliaan beliau.

Kedudukan beliau di sisi para shahabat pun sangat disegani. Ketika Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu menggantikan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sebagai khalifah, beliau mengirim surat kepada penduduk Kufah, daerah di Irak. Umar menulis, “Amma ba’du: Sungguh aku telah mengutus kepada kalian Ammar sebagai pemimpin kalian dan Abdullah bin Mas’ud sebagai pengajar sekaligus wakil Ammar. Keduanya termasuk orang mulia di kalangan shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Taatilah keduanya, teladanilah keduanya.”

Menjelang wafatnya Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dan beberapa orang pernah bertanya kepadanya tentang perselisihan yang menimpa kaum muslimin. Hudzaifah memang terkenal sebagai shahabat yang banyak mengetahui berita rahasia terkait perselisihan dan selainnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Apabila kaum muslimin berselisih, apa yang engkau nasihatkan kepada kami?” Hudzaifah menjawab, “Ikutilah Ibnu Sumayyah (Ammar). Sesungguhnya, ia tidak pernah meninggalkan kebenaran sampai matinya. Ia selalu bersikap sesuai kebenaran.” Demikianlah wasiat Hudzaifah.

Dalam kesempatan yang lain, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kepada Ammar, “Ammar, kelak kelompok jahat yang akan membunuhmu.”

Tersirat dengan jelas dari hadits ini bahwa Ammar memang selalu menepati kebenaran hingga wafatnya. Ya, beliau berada bersama orang yang benar, sementara yang memerangi merekalah yang jahat dan salah.

Kabar kenabian itu sangat tepat. Saat terjadi fitnah perang Shiffin, Ammar berada di barisan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Setelah berjuang dengan hebat membela Amirul mukminin, beliau gugur sebagai syahid, sebagaimana berita Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam usia yang ke 93 tahun (sebagian menyebutkan 91 atau 94), Abul Yaqazhan Ammar bin Yasir bin Amir bin Malik bin Kinanah bin Qais bin Al Hushain bin Al Wadzim bin Tsa’labah bin Auf bin Haritsah bin Amir Al Akbar bin Yam bin Ansi bin Malik Al Ansi berpulang menyusul ayah bunda dan kekasihnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di suatu hari, Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhuma pernah minta izin untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Izinkan masuk, silakan untuk orang suci yang disucikan.” Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai beliau. Allahu a’lam. [Farhan].


Referensi
Usdul Ghabah karya Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Abdul Karim (Ibnul Atsir) rahimahullah
Al Isti’ab Fi Ma’rifatil Ashhab karya Abu Umar Yusuf bin Abdillah bin Muhammad bin Abdil Bar rahimahullah
Al Ishabah Fi Tamyizi Ash Shahabah karya Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar Al Asqalani rahimahullah

Sumber: Majalah Tashfiyah, edisi 31 volume 3 1434 H / 2013 M rubrik Figur.

Shahih Muslim hadits nomor 240

٩ – بَابُ وُجُوبِ غَسۡلِ الرِّجۡلَيۡنِ بِكَمَالِهِمَا

9. Bab wajibnya mencuci kedua kaki secara sempurna

٢٥ – (٢٤٠) – حَدَّثَنَا هَارُونُ بۡنُ سَعِيدٍ الۡأَيۡلِيُّ وَأَبُو الطَّاهِرِ وَأَحۡمَدُ بۡنُ عِيسَىٰ، قَالُوا: أَخۡبَرَنَا عَبۡدُ اللهِ بۡنُ وَهۡبٍ، عَنۡ مَخۡرَمَةَ بۡنِ بُكَيۡرٍ، عَنۡ أَبِيهِ، عَنۡ سَالِمٍ مَوۡلَىٰ شَدَّادٍ. قَالَ: دَخَلۡتُ عَلَى عَائِشَةَ زَوۡجِ النَّبِيِّ ﷺ يَوۡمَ تُوُفِّيَ سَعۡدُ بۡنُ أَبِي وَقَّاصٍ، فَدَخَلَ عَبۡدُ الرَّحۡمٰنِ بۡنُ أَبِي بَكۡرٍ فَتَوَضَّأَ عِنۡدَهَا. فَقَالَتۡ: يَا عَبۡدَ الرَّحۡمٰنِ أَسۡبِغِ الۡوُضُوءَ، فَإِنِّي سَمِعۡتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ: (وَيۡلٌ لِلۡأَعۡقَابِ مِنَ النَّارِ).
25. (240). Harun bin Sa'id Al-Aili, Abuth Thahir, dan Ahmad bin 'Isa telah menceritakan kepada kami, mereka berkata: 'Abdullah bin Wahb mengabarkan kepada kami, dari Makhramah bin Bukair, dari ayahnya, dari Salim maula (budak yang telah dimerdekakan) Syaddad. Beliau berkata: Aku masuk menemui 'Aisyah istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari diwafatkannya Sa'd bin Abu Waqqash. Kemudian 'Abdurrahman bin Abu Bakr masuk lalu berwudhu` di sisinya. Maka 'Aisyah berkata: Wahai 'Abdurrahman, sempurnakan wudhu`, karena sungguh aku telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Celaka tumit-tumit itu dari neraka.”
(…) - وَحَدَّثَنِي حَرۡمَلَةُ بۡنُ يَحۡيَىٰ: حَدَّثَنَا ابۡنُ وَهۡبٍ: أَخۡبَرَنِي حَيۡوَةُ: أَخۡبَرَنِي مُحَمَّدُ بۡنُ عَبۡدِ الرَّحۡمٰنِ: أَنَّ أَبَا عَبۡدِ اللهِ مَوۡلَىٰ شَدَّادِ بۡنِ الۡهَادِ حَدَّثَهُ: أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى عَائِشَةَ، فَذَكَرَ عَنۡهَا، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ... بِمِثۡلِهِ.
Harmalah bin Yahya telah menceritakan kepadaku: Ibnu Wahb menceritakan kepada kami: Haywah mengabarkan kepadaku: Muhammad bin 'Abdurrahman mengabarkan kepadaku: Sesungguhnya Abu 'Abdillah maula Syaddad ibnul Had menceritakan kepadanya: Bahwa dia pernah masuk menemui 'Aisyah, lalu dia menyebutkan dari 'Aisyah, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam... semisal hadits ini.
(…) - وَحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بۡنُ حَاتِمٍ وَأَبُو مَعۡنٍ الرَّقَاشِيُّ، قَالَا: حَدَّثَنَا عُمَرُ بۡنُ يُونُسَ: حَدَّثَنَا عِكۡرِمَةُ بۡنُ عَمَّارٍ: حَدَّثَنِي يَحۡيَىٰ بۡنُ أَبِي كَثِيرٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي – أَوۡ حَدَّثَنَا – أَبُو سَلَمَةَ بۡنُ عَبۡدِ الرَّحۡمٰنِ: حَدَّثَنِي سَالِمٌ مَوۡلَى الۡمَهۡرِيِّ. قَالَ: خَرَجۡتُ أَنَا وَعَبۡدُ الرَّحۡمٰنِ بۡنُ أَبِي بَكۡرٍ فِي جَنَازَةِ سَعۡدِ بۡنِ أَبِي وَقَّاصٍ، فَمَرَرۡنَا عَلَى بَابِ حُجۡرَةِ عَائِشَةَ، فَذَكَرَ عَنۡهَا، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ مِثۡلَهُ.
Muhammad bin Hatim dan Abu Ma'n Ar-Raqasyi telah menceritakan kepadaku, keduanya berkata: 'Amr bin Yunus menceritakan kepada kami: 'Ikrimah bin 'Ammar menceritakan kepada kami: Yahya bin Abu Katsir menceritakan kepadaku, beliau berkata: Abu Salamah bin 'Abdurrahman menceritakan kepadaku – atau kepada kami -: Salim maula Al-Mahri menceritakan kepadaku. Beliau berkata: Aku dan 'Abdurrahman bin Abu Bakr keluar menuju jenazah Sa'd bin Abu Waqqash. Lalu kami melewati pintu kamar 'Aisyah. Kemudian beliau menyebutkan dari 'Aisyah, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam semisal hadits ini.
(…) - حَدَّثَنِي سَلَمَةُ بۡنُ شَبِيبٍ: حَدَّثَنَا الۡحَسَنُ بۡنُ أَعۡيَنَ: حَدَّثَنَا فُلَيۡحٌ: حَدَّثَنِي نُعَيۡمُ بۡنُ عَبۡدِ اللهِ، عَنۡ سَالِمٍ مَوۡلَى شَدَّادِ بۡنِ الۡهَادِ؛ قَالَ: كُنۡتُ أَنَا مَعَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا. فَذَكَرَ عَنۡهَا، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ... بِمِثۡلِهِ.
Salamah bin Syabib telah menceritakan kepadaku: Al-Hasan bin A'yan menceritakan kepada kami: Fulaih menceritakan kepada kami: Nu'aim bin 'Abdullah menceritakan kepadaku, dari Salim maula Syaddad ibnul Had; Beliau berkata: Aku pernah bersama 'Aisyah radhiyallahu 'anha. Kemudian beliau menyebutkan dari 'Aisyah, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam... semisal hadits ini.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 165

٢٩ – بَابُ غَسۡلِ الۡأَعۡقَابِ

29. Bab mencuci tumit-tumit

وَكَانَ ابۡنُ سِيرِينَ يَغۡسِلُ مَوۡضِعَ الۡخَاتَمِ إِذَا تَوَضَّأَ.
Ibnu Sirin biasa mencuci jari tempat cincin jika beliau berwudhu`.
١٦٥ – حَدَّثَنَا آدَمُ بۡنُ أَبِي إِيَاسٍ قَالَ: حَدَّثَنَا شُعۡبَةُ قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ زِيَادٍ قَالَ: سَمِعۡتُ أَبَا هُرَيۡرَةَ - وَكَانَ يَمُرُّ بِنَا وَالنَّاسُ يَتَوَضَّؤُونَ مِنَ الۡمِطۡهَرَةِ - قَالَ: أَسۡبِغُوا الۡوُضُوءَ، فَإِنَّ أَبَا الۡقَاسِمِ ﷺ قَالَ: (وَيۡلٌ لِلۡأَعۡقَابِ مِنَ النَّارِ).
165. Adam bin Abu Iyas telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Syu'bah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Muhammad bin Ziyad menceritakan kepada kami, beliau berkata: Aku mendengar Abu Hurairah – beliau melewati kami ketika orang-orang sedang berwudhu` dari tempat air untuk bersuci - beliau berkata: Sempurnakanlah wudhu`, karena sungguh Abul Qasim shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Celaka tumit-tumit itu dari neraka.”

At-Tuhfatul Wushabiyyah - Jenis-jenis Maf'ul Mutlak

أَنۡوَاعُ الۡمَفۡعُولِ الۡمُطۡلَقِ

قَالَ: وَهُوَ قِسۡمَانِ: لَفۡظِيٌّ، وَمَعۡنَوِيٌّ، فَإِنۡ وَافَقَ لَفۡظُهُ لَفۡظَ فِعۡلِهِ فَهُوَ لَفۡظِيٌّ، نَحۡوُ: (قَتَلۡتُهُ قَتۡلًا)، وَإِنۡ وَافَقَ مَعۡنَى فِعۡلِهِ دُونَ لَفۡظِهِ فَهُوَ مَعۡنَوِيٌّ، نَحۡوُ: (جَلَسۡتُ قُعُودًا، وَقُمۡتُ وُقُوفًا)، وَمَا أَشۡبَهَ ذٰلِكَ.
Ibnu Ajrum berkata: Maf'ul mutlak ada dua macam: lafzhi dan ma'nawi. Jika lafazhnya cocok dengan lafazh fi'ilnya, maka ia adalah lafzhi, contoh: قَتَلۡتُهُ قَتۡلًا. Dan jika cocok makna fi'ilnya namun beda lafazhnya, maka ia adalah ma'nawi, contoh: جَلَسۡتُ قُعُودًا dan قُمۡتُ وُقُوفًا, dan yang serupa dengan itu.
أَقُولُ: يَنۡقَسِمُ الۡمَصۡدَرُ الَّذِي يُنۡصَبُ عَلَى أَنَّهُ مَفۡعُولٌ مُطۡلَقٌ إِلَى قِسۡمَيۡنِ: أَحَدِهِمَا: لَفۡظِيٌّ، وَهُوَ الۡأَكۡثَرُ؛ وَلِهٰذَا بَدَأَ بِهِ الۡمُصَنِّفُ. وَالثَّانِي: مَعۡنَوِيٌّ.
Ahmad bin Tsabit berkata: Mashdar yang dinashab sebagai maf'ul mutlak terbagi menjadi dua macam: 
  1. Lafzhi, jenis ini yang paling banyak, maka dari itu penyusun memulai dengannya, 
  2. Ma'nawi. 
فَأَمَّا اللَّفۡظِيُّ: (فَهُوَ الَّذِي يُوَافِقُ فِعۡلَهُ النَّاصِبَ لَهُ فِي حُرُوفِهِ وَمَعۡنَاهُ) نَحۡوُ: (فَرِحَ فَرَحًا) وَ (قَتَلَ قَتۡلًا) فَكُلٌّ مِنۡ (فَرَحًا وَقَتۡلًا) مَفۡعُولٌ مُطۡلَقٌ لَفۡظِيٌّ؛ لِأَنَّهُ وَافَقَ فِعۡلَهُ النَّاصِبَ لَهُ وَهُوَ (فَرِحَ وَقَتَلَ) فِي لَفۡظِهِ وَمَعۡنَاهُ؛ فَإِنَّ حُرُوفَهُمَا وَاحِدَةٌ وَمَعۡنَاهُمَا وَاحِدٌ.
Adapun yang lafzhi adalah yang mencocoki fi'ilnya yang menashabkannya dalam hal huruf-huruf dan maknanya. Contoh: فَرِحَ فَرَحًا dan قَتَلَ قَتۡلًا. Setiap dari kata فَرَحًا dan قَتۡلًا adalah maf'ul mutlak lafzhi, karena ia mencocoki fi'ilnya yang menashabkannya yaitu فَرِحَ dan قَتَلَ dalam hal lafazh dan maknanya. Karena huruf-huruf dan makna kedua kata tersebut sama.
وَأَمَّا الۡمَعۡنَوِيُّ: (فَهُوَ الَّذِي يُوَافِقُ فِعۡلَهُ النَّاصِبَ لَهُ فِي مَعۡنَاهُ دُونَ حُرُوفِهِ نَحۡوُ: (جَلَسۡتُ قُعُودًا) وَ (قُمۡتُ وُقُوفًا) فَـ(قُعُودًا) مَفۡوعُلٌ مُطۡلَقٌ مَعۡنَوِيٌّ؛ لِأَنَّهُ وَافَقَ فِعۡلَهُ النَّاصِبَ لَهُ وَهُوَ (جَلَسۡتُ) فِي مَعۡنَاهُ دُونَ حُرُوفِهِ؛ لِأَنَّ الۡجُلُوسَ وَالۡقُعُودَ بِمَعۡنَى وَاحِدٍ -كَمَا هُوَ الۡمَشۡهُورُ- وَحُرُوفَهُمَا مُخۡتَلِفَةٌ وَكَذَا تَقُولُ فِي الۡوُقُوفِ وَالۡقِيَامِ.
Adapun yang maknawi adalah yang mencocoki fi'ilnya yang menashabkannya dalam hal maknanya saja, tidak huruf-hurufnya. Contoh: جَلَسۡتُ قُعُودًا dan قُمۡتُ وُقُوفًا. Maka قُعُودًا adalah maf'ul mutlak maknawi, karena ia mencocoki fi'ilnya yang menashabkannya yaitu جَلَسۡتُ dalam maknanya saja, bukan huruf-hurufnya. Karena الۡجُلُوسَ dan الۡقُعُودَ sama maknanya -sebagaimana sudah diketahui- dan huruf-huruf keduanya berbeda. Demikian pula engkau katakan pada الۡوُقُوفِ dan الۡقِيَامِ.
وَقَوۡلُهُ: (وَمَا أَشۡبَهَ ذٰلِكَ) أَيۡ نَحۡوُ: (فَرِحۡتُ جَذَلًا) وَ (ضَرَبۡتُ لَكۡمًا) وَ (أَهَنۡتُهُ احۡتِقَارًا)، وَنَحۡوُ ذٰلِكَ.
Dan ucapan beliau: “dan yang serupa dengan itu” yakni seperti: فَرِحۡتُ جَذَلًا dan ضَرَبۡتُ لَكۡمًا dan أَهَنۡتُهُ احۡتِقَارًا. Dan contoh lain yang semisal itu.

At-Tuhfatul Wushabiyyah - Maf'ul Mutlak

الۡمَفۡعُولُ الۡمُطۡلَقُ

قَالَ: (بَابُ الۡمَصۡدَرِ) الۡمَصۡدَرُ هُوَ: الۡإِسۡمُ، الۡمَنۡصُوبُ، الَّذِي يَجِيءُ ثَالِثًا فِي تَصۡرِيفِ الۡفِعۡلِ، نَحۡوُ: (ضَرَبَ يَضۡرِبُ ضَرۡبًا).
Ibnu Ajrum berkata: Bab Mashdar. Mashdar adalah isim manshub yang datang pada urutan ketiga dalam tashrif fi'il, contoh: ضَرَبَ يَضۡرِبُ ضَرۡبًا.
أَقُولُ: الثَّانِي مِنَ الۡمَنۡصُوبَاتِ الۡمَصۡدَرُ، وَهُوَ -عِنۡدَ النَّحۡوِيِّينَ- الۡإِسۡمُ الۡمَنۡصُوبُ الَّذِي يَجِيءُ ثَالِثًا فِي تَصۡرِيفِ الۡفِعۡلِ. وَمَعۡنَى (تَصۡرِيفِ الۡفِعۡلِ) تَغۡيِيرُهُ مِنۡ صِيغَةٍ إِلَى صِيغَةٍ أُخۡرَى، كَمَا إِذَا قِيلَ لَكَ: صَرِّفۡ (ضَرَبَ) فَإِنَّكَ تَذۡكُرُ الۡمَاضِيَ أَوَّلًا ثُمَّ الۡمُضَارِعَ ثَانِيًا ثُمَّ الۡمَصۡدَرَ ثَالِثًا فَتَقُولُ: (ضَرَبَ يَضۡرِبُ ضَرۡبًا) فَـ(ضَرۡبًا) مَصۡدَرٌ: لِأَنَّهُ جَاءَ ثَالِثًا فِي تَغۡيِيرِ الۡفِعۡلِ مِنۡ صِيغَةِ الۡمَاضِي إِلَى صِيغَةِ الۡمُضَارِعِ، وَمِنۡ صِيغَةِ الۡمُضَارِعِ إِلَى صِيغَةِ الۡمصَدَرِ.
Ahmad bin Tsabit berkata: Jenis kedua dari isim yang dinashab adalah mashdar. Menurut ahli nahwu, mashdar adalah isim manshub yang datang pada urutan ketiga dalam tashrif fi'il. Makna tashrif fi'il adalah perubahan fi'il dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Sebagaimana jika dikatakan kepadamu: Tashriflah ضرب, lalu engkau menyebutkan fi'il madhi pertama kali, kemudian fi'il mudhari' pada kali yang kedua, kemudian mashdar pada kali yang ketiga. Yaitu engkau ucapkan: ضَرَبَ يَضۡرِبُ ضَرۡبًا. Maka ضَرۡبًا adalah mashdar, karena ia ada di urutan ketiga pada perubahan fi'il dari bentuk madhi ke bentuk mudhari' dan dari bentuk mudhari' ke bentuk mashdar.
وَلَيۡسَ الۡمُرَادُ هُنَا بَيَانَ الۡمَصۡدَرِ لِذَاتِهِ، وَإِنَّمَا الۡمُرَادُ بَيَانُ انۡتِصَابِهِ عَلَى الۡمَفۡعُولِيَّةِ الۡمُطۡلَقَةِ. وَالۡمَفۡعُولُ الۡمُطۡلَقُ هُوَ: (الۡمَصۡدَرُ الۡمَنۡصُوبُ الۡمُؤَكِّدُ لِعَامِلِهِ أَوِ الۡمُبَيِّنُ لِنَوۡعِهِ أَوۡ عَدَدِهِ)، وَسُمِّيَ مُطۡلَقًا؛ لِأَنَّهُ لَمۡ يُقَيَّدۡ بِأَدَاةٍ كَمَا قُيِّدَ غَيۡرُهُ مِنَ الۡمَفَاعِيلِ كَالۡمَفۡعُولِ بِهِ وَلَهُ وَفِيهِ وَمَعَهُ.
Bukanlah yang diinginkan di sini penjelasan mashdar secara dzatnya. Namun yang diinginkan hanyalah keterangan manshubnya mashdar sebagai maf'ul muthlaq. Dan Maf'ul muthlaq adalah mashdar yang manshub yang menguatkan 'amilnya atau menjelaskan jenis atau bilangannya. Dinamakan muthlaq karena maf'ul muthlaq tidak diikat dengan suatu alat pun sebagaimana diikatnya selain maf'ul muthlaq dari maf'ul-maf'ul yang lain seperti maf'ul bih, maf'ul li ajlih, maf'ul fih, dan maf'ul ma'ah.
فَقَوۡلُهُمۡ: (الۡمُؤَكِّدُ لِعَامِلِهِ...) إلخ. أَيۡ: أَنَّ الۡمَفۡعُولَ الۡمُطۡلَقَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقۡسَامٍ:
Ucapan mereka: الۡمُؤَكِّدُ لِعَامِلِهِ sampai akhir, maksudnya: bahwa maf'ul muthlaq terbagi menjadi tiga bagian:
الۡأَوَّلُ: الۡمُؤَكِّدُ لِعَامِلِهِ وَهُوَ (الَّذِي يَدُلُّ عَلَى مَا دَلَّ عَلَيۡهِ عَامِلُهُ مِنَ الۡحَدَثِ مِنۡ غَيۡرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذٰلِكَ) نَحۡوُ: (قَامَ زَيۡدٌ قِيَامًا) وَقَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿وَكَلَّمَ اللهُ مُوسَىٰ تَكۡلِيمًا﴾ [النساء: ١٦٤] فَكُلٌّ مِنۡ (قَامَ وَكَلَّمَ) فِعۡلٌ مَاضٍ دَلَّ عَلَى حُصُولِ حَدَثٍ وَهُوَ (الۡقِيَامُ وَالتَّكۡلِيمُ) وَكُلٌّ مِنۡ (قِيَامًا وَتَكۡلِيمًا) مَفۡعُولٌ مُطۡلَقٌ دَلَّ عَلَى تَأۡكِيدِ ذٰلِكَ الۡحَدَثِ، وَأَنَّهُ حَصَلَ مِنۡ فَاعِلِهِ حَقِيقَةً.
1. Yang menguatkan 'amilnya, yaitu: yang menunjukkan atas apa yang ditunjukkan 'amilnya berupa peristiwa dengan tanpa ada lafazh tambahan. Contoh: قَامَ زَيۡدٌ قِيَامًا (Zaid benar-benar telah berdiri) dan firman Allah ta'ala: وَكَلَّمَ اللهُ مُوسَىٰ تَكۡلِيمًا (Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung) (QS. An-Nisa`: 164). Maka, setiap dari kata قَامَ dan كَلَّمَ adalah fi'il madhi yang menunjukkan terjadinya suatu peristiwa yaitu الۡقِيَامُ dan التَّكۡلِيمُ. Dan setiap dari kata قِيَامًا dan تَكۡلِيمًا adalah maf'ul muthlaq yang menunjukkan untuk menguatkan peristiwa itu dan bahwa peristiwa itu dihasilkan dari pelakunya secara hakiki.
الثَّانِي: الۡمُبَيِّنُ لِنَوۡعِ عَامِلِهِ، وَهُوَ (الَّذِي يَدُلُّ عَلَى الۡهَيۡئَةِ الَّتِي صَدَرَ عَلَيۡهَا الۡفِعۡلُ نَحۡوُ: (ضَرَبۡتُ زَيۡدًا ضَرۡبًا شَدِيدًا) وَ (جَلَسۡتُ فِي الدَّرۡسِ جُلُوسَ الۡمُؤَدَّبِ) فَـ(ضَرۡبًا) مَفۡعُولٌ مُطۡلَقٌ دَلَّ -بِوَاسِطَةِ وَصۡفِهِ الَّذِي بَعۡدَهُ وَهُوَ (شَدِيدًا)- عَلَى نَوۡعِ الضَّرۡبِ الَّذِي وَقَعَ عَلَى زَيۡدٍ، وَأَنَّهُ كَانَ شَدِيدًا. وَمِثۡلُهُ مِنَ التَّنۡزِيلِ قَوۡلُهُ جَلَّ ذِكۡرُهُ: ﴿اذۡكُرُوا اللهَ ذِكۡرًا كَثِيرًا﴾ [الأحزاب: ٤١]. وَ (جُلُوسَ) مَفۡعُولٌ مُطۡلَقٌ دَلَّ -بِوَاسِطَةِ الۡمُضَافِ إِلَيۡهِ الَّذِي بَعۡدَهُ وَهُوَ (الۡمُؤَدَّبِ)- عَلَى نَوۡعِ الۡجُلُوسِ الَّذِي حَصَلَ مِنَ الۡفَاعِلِ، وَأَنَّهُ كَانَ جُلُوسَ مُؤَدَّبٍ. وَمِثۡلُهُ مِنَ الۡكِتَابِ الۡعَزِيزِ قَوۡلُهُ جَلَّتۡ قُدۡرَتُهُ: ﴿فَأَخَذۡنَٰهُمۡ أَخۡذَ عَزِيزٍ مُّقۡتَدِرٍ﴾ [القمر: ٤٢].
2. Yang menjelaskan jenis 'amilnya. Yaitu yang menunjukkan atas keadaan yang dimunculkan oleh perbuatan itu. Contoh: ضَرَبۡتُ زَيۡدًا ضَرۡبًا شَدِيدًا (Aku memukul Zaid dengan pukulan yang keras) dan جَلَسۡتُ فِي الدَّرۡسِ جُلُوسَ الۡمُؤَدَّبِ (Aku duduk di pelajaran itu dengan duduk yang beradab). Maka ضَرۡبًا adalah maf'ul muthlaq yang menunjukkan -dengan perantaraan sifat yang datang setelahnya yaitu شَدِيدًا- kepada jenis pukulan yang terjadi pada Zaid, yaitu bahwa jenis pukulan tersebut adalah pukulan yang keras. Contoh lain dari Al-Qur`an adalah firman Allah jalla dzikruh: اذۡكُرُوا اللهَ ذِكۡرًا كَثِيرًا (Berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang banyak) (QS. Al-Ahzab: 41). Dan جُلُوسَ adalah maf'ul muthlaq yang menunjukkan -dengan perantara mudhaf ilaih setelahnya yaitu الۡمُؤَدَّبِ- kepada jenis duduk yang dihasilkan oleh pelaku, yaitu bahwa jenis duduknya adalah duduk yang beradab. Dan contohnya dari Al-Qur`an firman Allah: فَأَخَذۡنَٰهُمۡ أَخۡذَ عَزِيزٍ مُّقۡتَدِرٍ (lalu Kami adzab mereka dengan adzab dari Yang Maha Perkasa lagi Maha Kuasa) (QS. Al-Qamar: 42).
الثَّالِثُ: الۡمُبَيِّنُ لِعَدَدِ عَامِلِهِ وَهُوَ (الَّذِي يَدُلُّ عَلَى مَرَّاتِ وُقُوعِ الۡفِعۡلِ) نَحۡوُ: (ضَرَبۡتُ ضَرۡبَةً أَوۡ ضَرۡبَتَيۡنِ أَوۡ ضَرَبَاتٍ) فَكُلٌّ مِنۡ (ضَرۡبَةً وَضَرۡبَتَيۡنِ وَضَرَبَاتٍ) مَفۡعُولٌ مُطۡلَقٌ دَلَّ عَلَى عَدَدِ وُقُوعِ الۡفِعۡلِ، وَأَنَّهُ كَانَ مَرَّةً أَوۡ مَرَّتَيۡنِ أَوۡ مَرَّاتٍ. وَمِثۡلُهُ مِنۡ كَلَامِ الۡبَارِي جَلَّ وَعَلَا قَوۡلُهُ سُبۡحَانَهُ: ﴿فَدُكَّتَا دَكَّةً وَٰحِدَةً﴾ [الحاقة: ١٤].
3. Yang menjelaskan bilangan 'amilnya. Yaitu yang menunjukkan atas berapa kali terjadinya perbuatan itu. Contoh: ضَرَبۡتُ ضَرۡبَةً أَوۡ ضَرۡبَتَيۡنِ أَوۡ ضَرَبَاتٍ (Aku telah memukul satu pukulan atau dua pukulan atau banyak pukulan). Maka setiap dari kata ضَرۡبَةً وَضَرۡبَتَيۡنِ وَضَرَبَاتٍ adalah maf'ul mutlak yang menunjukkan atas bilangan terjadinya perbuatan itu, yaitu bahwa pukulan itu satu kali, dua kali, atau berkali-kali. Contohnya dari firman Allah jalla wa 'ala adalah firmanNya subhanah: فَدُكَّتَا دَكَّةً وَٰحِدَةً (lalu dibenturkan keduanya sekali bentur) (QS. Al-Haqqah: 14).

Lihat pula:

Sunan An-Nasa`i hadits nomor 75

٦٠ – بَابُ النِّيَّةِ فِي الۡوُضُوءِ

60. Bab niat di dalam wudhu`

٧٥ – (صحيح) أَخۡبَرَنَا يَحۡيَى بۡنُ حَبِيبِ بۡنِ عَرَبِيٍّ، عَنۡ حَمَّادٍ وَالۡحَارِثُ بۡنُ مِسۡكِينٍ قِرَاءَةً عَلَيۡهِ وَأَنَا أَسۡمَعُ، عَنِ ابۡنِ الۡقَاسِمِ، حَدَّثَنِي مَالِكٌ. ح. وَأَخۡبَرَنَا سُلَيۡمَانُ بۡنُ مَنۡصُورٍ، قَالَ: أَنۡبَأَنَا عَبۡدُ اللهِ بۡنُ الۡمُبَارَكِ وَاللَّفۡظُ لَهُ، عَنۡ يَحۡيَى بۡنِ سَعِيدٍ، عَنۡ مُحَمَّدِ بۡنِ إِبۡرَاهِيمَ، عَنۡ عَلۡقَمَةَ بۡنِ وَقَّاصٍ، عَنۡ عُمَرَ بۡنِ الۡخَطَّابِ - رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ -، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (إِنَّمَا الۡأَعۡمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لِامۡرِىءٍ مَا نَوَى، فَمَنۡ كَانَتۡ هِجۡرَتُهُ إِلَى اللهِ وَإِلَى رَسُولِهِ؛ فَهِجۡرَتُهُ إِلَى اللهِ وَإِلَى رَسُولِهِ، وَمَنۡ كَانَتۡ هِجۡرَتُهُ إِلَى دُنۡيَا يُصِيبُهَا، أَوِ امۡرَأَةٍ يَنۡكِحُهَا؛ فَهِجۡرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيۡهِ). [(ابن ماجه) (٤٢٢٧)، ق].
75. Yahya bin Habib bin 'Arabi telah mengabarkan kepada kami, dari Hammad; dan Al-Harits bin Miskin dengan membacakan padanya sedang aku mendengar, dari Ibnul Qasim, Malik menceritakan kepadaku. (Dalam riwayat lain) Sulaiman bin Manshur telah mengabarkan kepada kami, beliau berkata: 'Abdullah ibnul Mubarak memberitakan kepada kami dan lafazh ini milik beliau, dari Yahya bin Sa'id, dari Muhammad bin Ibrahim, dari 'Alqamah bin Waqqash, dari 'Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Amalan-amalan itu hanyalah sesuai dengan niat dan setiap orang hanya mendapatkan apa yang telah ia niatkan. Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan kepada RasulNya, maka hijrahnya kepada Allah dan kepada RasulNya. Dan barangsiapa hijrahnya kepada dunia yang ingin dia raih atau seorang wanita yang ingin dia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia hijrah padanya.”

At-Tuhfatus Saniyyah - Yang Menashabkan Fi'il Mudhari' (1)

فَالنَّوَاصِبُ عَشَرَةٌ، وَهِيَ: أَنْ وَلَنْ وَإِذَنْ وَكَيْ وَلَامُ كَيْ وَلَامُ الْجُحُودِ وَحَتَّى وَالْجَوَابُ بِالْفَاءِ وَالْوَاوِ وَأَوْ.
Yang menashabkan fi’il mudhari’ ada sepuluh, yaitu:
  1. أَنۡ
  2. لَنۡ
  3. إِذَنۡ
  4. كَيۡ
  5. لَمُ كَيۡ
  6. لَامُ الۡجُحُودِ
  7. حَتَّى
  8. الۡجَوَابُ بِالۡفَاءِ
  9. الۡجَوَابُ بِالۡوَاوِ
  10. أَوۡ
وَأَقُولُ: الْأَدَوَاتُ الَّتِي يُنْصَبُ بَعْدَهَا الْفِعْلُ الْمُضَارِعُ عَشَرَةُ أَحْرُفٍ وَهِيَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: قِسْمٌ يَنْصِبُ بِنَفْسِهِ، وَقِسْمٌ يَنْصِبُ بِأَنْ مُضْمَرَةً بَعْدَهُ جَوَازًا، وَقِسْمٌ يَنْصِبُ بِأَنْ مُضْمَرَةً بَعْدَهُ وُجُوبًا.
Alat-alat yang fi’il mudhari’ dinashabkan setelahnya ada sepuluh huruf yang terbagi dalam tiga bagian:

  • satu bagian menashabkan dengan dirinya sendiri
  • satu bagian menashabkan dengan أَنۡ mudhmar setelahnya tapi tidak harus
  • satu bagian menashabkan dengan أَنۡ mudhmar setelahnya secara wajib
أَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ - وَهُوَ الَّذِي يَنْصِبُ الْفِعْلَ الْمُضَارِعَ بِنَفْسِهِ - فَأَرْبَعَةُ أَحْرُفٍ، وَهِيَ: أَنْ، وَلَنْ، وَإِذَنْ، وَكَيْ.
Bagian pertama, yaitu yang menashabkan fi’il mudhari’ dengan huruf itu sendiri, ada empat huruf. Yaitu: أَنۡ, لَنۡ, إِذَنۡ, dan كَيۡ.
أَمَّا (أَنْ) فَحَرْفُ مَصْدَرٍ وَنَصْبٍ وَاسْتِقْبَالٍ، وَمِثَالُهَا قَوْلُهُ تَعَالَى: (أَطْمَعُ أَنْ يَغْفِرَ لِي) وَقَوْلُهُ جَلَّ ذِكْرُهُ: (وَأَخَافُ أَنْ يَأْكُلَهُ الذِّئْبُ) وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (إِنِّي لَيَحْزُنُنِي أَنْ تَذْهَبُوا بِهِ) وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ).
1. أَنۡ adalah huruf mashdar, nashab, dan istiqbal. Contohnya firman Allah ta’ala: أَطْمَعُ أَنْ يَغْفِرَ لِي dan firmanNya jalla dzikruh: وَأَخَافُ أَنْ يَأْكُلَهُ الذِّئْبُ dan firmanNya ta’ala: إِنِّي لَيَحْزُنُنِي أَنْ تَذْهَبُوا بِهِ dan firmanNya ta’ala: وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ.
وَأَمَّا (لَنْ) فَحَرْفُ نَفْيٍ وَنَصْبٍ وَاسْتِقْبَالٍ، وَمِثَالُهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: (لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ) وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (لَنْ نَبْرَحَ عَلَيْهِ عَاكِفِينَ) وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ).
2. لَنۡ adalah huruf nafi, nashab, dan istiqbal. Contohnya firman Allah ta’ala: لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ, لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ, dan لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ.
وَأَمَّا (إِذَنْ) فَحَرْفُ جَوَابٍ وَجَزَاءٍ وَنَصْبٍ، وَيُشْتَرَطُ لِنَصْبِ الْمُضَارِعِ بِهَا ثَلَاثَةُ شُرُوطٍ:
الْأَوَّلُ: أَنْ تَكُونَ (إِذَنْ) فِي صَدْرِ جُمْلَةِ الْجَوَابِ.
الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْمُضَارِعُ الْوَاقِعُ بَعْدَهَا دَالًّا عَلَى الْإِسْتِقْبَالِ.
الثَّالِثُ: أَنْ لَا يَفْصِلَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْمُضَارِعِ فَاصِلٌ غَيْرُ الْقَسَمِ أَوِ النِّدَاءِ أَوْ (لَا) النَّافِيَةِ؛ وَمِثَالُ الْمُسْتَوْفِيَةِ لِلشُّرُوطِ أَنْ يَقُولَ لَكَ أَحَدُ إِخْوَانِكَ: (سَأَجْتَهِدُ فِي دُرُوسِي) فَتَقُولُ لَهُ: (إِذَنْ تَنْجَحَ). وَمِثَالُ الْمَفْصُولَةِ بِالْقَسَمِ أَنْ تَقُولَ: (إِذَنْ وَاللهِ تَنْجَحَ) وَمِثَالُ الْمَفْصُولَةِ بِالنِّدَاءِ أَنْ تَقُولَ: (إِذَنْ يَا مُحَمَّدُ تَنْجَحَ)، وَمِثَالُ الْمَفْصُولَةِ بِلَا النَّافِيَةِ أَنْ تَقُولَ: (إِذَنْ لَا يَخِيبَ سَعْيُكَ) أَوْ تَقُولَ: (إِذَنْ وَاللهِ لَا يَذْهَبَ عَمَلُكَ ضَيَاعًا).
3. إِذَنۡ adalah huruf jawab, jaza`, dan nashab. Ada tiga syarat agar bisa menashabkan fi’il mudhari’:
  • إِذَنۡ terletak di awal kalimat jawab
  • fi’il mudhari’ yang terletak setelahnya menunjukkan hal yang akan terjadi
  • tidak ada pemisah antara إِذَنۡ dan fi’il mudhari’ kecuali sumpah, panggilan, atau لَا nafiyah. 
Contoh yang memenuhi syarat-syarat tersebut yaitu salah satu saudaramu berkata kepadamu: سَأَجْتَهِدُ فِي دُرُوسِي, lantas engkau berkata kepadanya: إِذَنْ تَنْجَحَ. Contoh yang terpisah dengan sumpah, yaitu engkau katakan: إِذَنْ وَاللهِ تَنْجَحَ. Contoh yang terpisah dengan panggilan adalah engkau katakan: إِذَنْ يَا مُحَمَّدُ تَنْجَحَ. Contoh yang terpisah dengan لَا nafiyah adalah engkau ucapkan: إِذَنْ لَا يَخِيبَ سَعْيُكَ atau إِذَنْ وَاللهِ لَا يَذْهَبَ عَمَلُكَ ضَيَاعًا.
وَأَمَّا (كَيْ) فَحَرْفُ مَصْدَرٍ وَنَصْبٍ؛ وَيُشْتَرَطُ فِي النَّصْبِ بِهَا أَنْ تَتَقَدَّمَهَا لَامُ التَّعْلِيلِ لَفْظًا، نَحْوُ قَوْلِهِ تَعَالَى: (لِكَيْلَا تَأْسَوْا) أَوْ تَتَقَدَّمَهَا هَذِهِ اللَّامُ تَقْدِيرًا، نَحْوُ قَوْلِهِ تَعَالَى: (كَيْلَا يَكُونَ دُولَةً)، فَإِذَا لَمْ تَتَقَدَّمْهَا اللَّامُ لَفْظًا وَلَا تَقْدِيرًا كَانَ النَّصْبُ بِأَنْ مُضْمَرَةً، وَكَانَتْ (كَيْ) نَفْسُهَا حَرْفَ تَعْلِيلٍ.
4. كَيۡ adalah huruf mashdar dan nashab. Disyaratkan penashaban dengan huruf ini untuk didahului oleh lam ta’lil secara lafazh, contoh firman Allah ta’ala: لِكَيْلَا تَأْسَوْا. Atau didahului oleh lam ta’lil secara taqdir, contoh firman Allah ta’ala: كَيْلَا يَكُونَ دُولَةً. Adapun jika tidak didahului oleh lam ta’lil baik secara lafazh atau secara taqdir, maka nashabnya disebabkan أَنۡ mudhmar dan كَيۡ itu sendiri adalah huruf ta’lil.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي - وَهُوَ الَّذِي يَنْصِبُ الْفِعْلَ الْمُضَارِعَ بِوَاسِطَةِ (أَنْ) مُضْمَرَةٍ بَعْدَهُ جَوَازًا - فَحَرْفٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ لَامُ التَّعْلِيلِ، وَعَبَّرَ عَنْهَا الْمُؤَلِّفُ بِلَامِ كَيْ؛ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي الدَّلَالَةِ عَلَى التَّعْلِيلِ، وَمِثَالُهَا قَوْلُهُ تَعَالَى: (لِيَغْفِرَ لَكَ اللهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ) وَقَوْلُهُ جَلَّ شَأْنُهُ: (لِيُعَذِّبَ اللهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ).
Adapun bagian kedua, yang menashabkan fi’il mudhari’ dengan perantara أَنۡ mudhmar setelahnya tapi tidak harus, hanya ada satu huruf. Yaitu, lam ta’lil. Penyusun mengungkapkannya dengan لَامُ كَيۡ karena keduanya sama-sama menunjukkan ta’lil (memberikan alasan). Contohnya firman Allah ta’ala: لِيَغْفِرَ لَكَ اللهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ dan لِيُعَذِّبَ اللهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ.

Sunan Abu Dawud hadits nomor 2201

١١ – بَابُ فِيمَا عُنِيَ بِهِ الطَّلَاقُ وَالنِّيَاتُ

٢٢٠١ – (صحيح) حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ كَثِيرٍ، أنا سُفۡيَانُ، حَدَّثَنِي يَحۡيَى بۡنُ سَعِيدٍ، عَنۡ مُحَمَّدِ بۡنِ إِبۡرَاهِيمَ التَّيۡمِيِّ، عَنۡ عَلۡقَمَةَ بۡنِ وَقَّاصٍ اللَّيۡثِيِّ، قَالَ: سَمِعۡتُ عُمَرَ بۡنَ الۡخَطَّابِ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (إِنَّمَا الۡأَعۡمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لِامۡرِىءٍ مَا نَوَى، فَمَنۡ كَانَتۡ هِجۡرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ فَهِجۡرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنۡ كَانَتۡ هِجۡرَتُهُ لِدُنۡيَا يُصِيبُهَا أَوِ امۡرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجۡرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيۡهِ). [ق].
2201. Muhammad bin Katsir telah menceritakan kepada kami, Sufyan mengabarkan kepada kami, Yahya bin Sa'id menceritakan kepadaku, dari Muhammad bin Ibrahim At-Taimi, dari 'Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi, beliau berkata: Aku mendengar 'Umar ibnul Khaththab berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Hanyalah amalan-amalan itu sesuai niat dan seseorang hanya mendapatkan apa yang dia niatkan. Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa hijrahnya untuk dunia yang ingin dia dapatkan atau wanita yang hendak dia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia hijrah padanya.”

Sunan At-Tirmidzi hadits nomor 1647

١٦٤٧ – (صحيح) حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ الۡمُثَنَّى، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبۡدُ الۡوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ، عَنۡ يَحۡيَى بۡنِ سَعِيدٍ، عَنۡ مُحَمَّدِ بۡنِ إِبۡرَاهِيمَ، عَنۡ عَلۡقَمَةَ بۡنِ وَقَّاصٍ اللَّيۡثِيِّ، عَنۡ عُمَرَ بۡنِ الۡخَطَّابِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (إِنَّمَا الۡأَعۡمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِامۡرِىءٍ مَا نَوَى، فَمَنۡ كَانَتۡ هِجۡرَتُهُ إِلَى اللهِ وَإِلَى رَسُولِهِ، فَهِجۡرَتُهُ إِلَى اللهِ وَإِلَى رَسُولِهِ، وَمَنۡ كَانَتۡ هِجۡرَتُهُ إِلَى دُنۡيَا يُصِيبُهَا أَوِ امۡرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجۡرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيۡهِ) هٰذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ، وَقَدۡ رَوَى مَالِكُ بۡنُ أَنَسٍ وَسُفۡيَانُ الثَّوۡرِيُّ وَغَيۡرُ وَاحِدٍ مِنَ الۡأَئِمَّةِ هٰذَا عَنۡ يَحۡيَى بۡنِ سَعِيدٍ، وَلَا نَعۡرِفُهُ إِلَّا مِنۡ حَدِيثِ يَحۡيَى بِنۡ سَعِيدٍ الۡأَنۡصَارِيِّ. قَالَ عَبۡدُ الرَّحۡمٰنِ بۡنِ مَهۡدِيٍّ: يَنۡبَغِي أَنۡ نَضَعَ هٰذَا الۡحَدِيثَ فِي كُلِّ بَابٍ. [(ابن ماجه) (٤٢٢٧): ق].
1647. Muhammad ibnul Mutsanna telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: 'Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi menceritakan kepada kami, dari Yahya bin Sa'id, dari Muhammad bin Ibrahim, dari 'Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi, dari 'Umar ibnul Khaththab, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Amalan-amalan itu hanyalah sesuai dengan niat dan seseorang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan kepada RasulNya, maka hijrahnya kepada Allah dan kepada RasulNya. Dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin dia dapatkan atau seorang wanita yang ingin dia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia hijrah padanya.” Ini adalah hadits hasan shahih. Malik bin Anas, Sufyan Ats-Tsauri, dan lebih dari satu imam telah meriwayatkan hadits ini dari Yahya bin Sa'id. Dan kami tidak mengetahui hadits ini kecuali dari hadits Yahya bin Sa'id Al-Anshari. 'Abdurrahman bin Mahdi berkata: Sepantasnya kita menempatkan hadits ini pada setiap bab.

Ucapan "Shodaqollahul Adhim" setelah Qiro`atul Qur`an Bid'ah

Dasar agama Islam ialah hanya beramal dengan Kitabullah dan Sunnah rasulNya. Keduanya adalah sebagai marja' -rujukan- setiap perselisihan yang ada di tengah-tengah kaum muslimin. Siapa yang tidak mengembalikan kepada keduanya maka dia bukan seorang mukmin. Allah berfirman,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا۟ فِىٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُوا۟ تَسۡلِيمًا 
"Maka demi Rabmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS An Nisa : 65).
Telah mafhum bersama bahwa Allah menciptakan manusia bukan untuk suatu urusan yang sia-sia, tetapi untuk satu tujuan agung yang kemaslahatannya kembali kepada manusia yaitu agar beribadah kepadaNya. Kemudian tidak hanya itu saja, tetapi Allah juga mengutus rasulNya untuk menerangkan kepada manusia jalan yang lurus dan memberikan hidayah -dengan izin Allah- kepada shirothil azizil hamid. Allah berfirman,
وَمَآ أَنزَلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ إِلَّا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ ٱلَّذِى ٱخۡتَلَفُوا۟ فِيهِ وَهُدًى وَرَحۡمَةً لِّقَوۡمٍ يُؤۡمِنُونَ
"Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman." (QS An Nahl : 64).
Sungguh, betapa besar rahmat Allah kepada kita, dengan diutusnya Rasulullah, Allah telah menyempurnakan agama ini. Allah telah berfirman,
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَـٰمَ دِينًا
"... Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni'matKu dan telah Kuridhoi islam itu jadi agama bagimu..." (QS Al Maidah : 3).
Tak ada satu syariatpun yang Allah syariatkan kepada kita melainkan telah disampaikan oleh rasulNya. Aisyah berkata kepada Masyruq,
وَمَنۡ حَدَّثَكَ أَنَّهُ كَتَمَ فَقَدۡ كَذَبَ
"Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa Muhammad itu telah menyembunyikan sesuatu yang Allah telah turunkan padanya, maka sungguh ia telah berdusta!" (HR. Bukhori Muslim).
Berkata Al Imam As Syatibi, "Tidaklah Nabi meninggal kecuali beliau telah menyampaikan seluruh apa yang dibutuhkan dari urusan dien dan dunia..." Berkata Ibnu Majisyun, "Aku telah mendengar Malik berkata, "Barangsiapa yang membuat bid'ah (perkara baru dalam Islam), kemudian menganggapnya baik, maka sungguh dia telah mengira bahwa Muhammad telah mengkhianati risalah, karena Allah telah berfirman,
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu..." (QS Al Maidah : 3).
Kaum muslimin -rahimakumullah-, sahabat Ibnu Mas'ud telah berkata, "Ikutilah, dan jangan kalian membuat perkara baru!" Suatu peringatan tegas dimana kita tidak perlu untuk menambah-nambah sesuatu yang baru atau bahkan mengurangi sesuatu dalam hal agama. Banyak ide atau anggapan-anggapan baik dalam agama yang tidak ada contohnya bukanlah perbuatan terpuji yang akan mendatangkan pahala, tetapi justru yang demikian itu berarti menganggap kurang atas syariat yang telah dibawa oleh Rasulullah, dan bahkan yang demikian itu dianggap telah membuat syariat baru. Seperti perkataan Iman Syafi'i, "Siapa yang membuat anggapan-anggapan baik dalam agama sungguh ia telah membuat syariat baru."

Ucapan "shodaqollahul adhim" setelah membaca Al Quran atau satu ayat darinya bukanlah hal yang asing di kalangan kita kaum muslimin -sangat disayangkan-. Dari anak kecil sampai orang tua, pria atau wanita sudah biasa mengucapkan itu. Tak ketinggalan pula -sayangnya- para qori Al Quran dan para khotib di mimbar-mimbar juga mengucapkannya bila selesai membaca satu atau dua ayat AlQuran. Ada apa memangnya dengan kalimat itu ?

Kaum muslimin -rahimakumullah-, mengucapkan "shodaqollahul adhim" setelah selasai membaca Al Quran baik satu ayat atau lebih adalah bid'ah, perhatikanlah keterangan- keterangan berikut ini.

Pertama: Dalam shahih Bukhori no. 4582 dan shahih Muslim no. 800, dari hadits Abdullah bin Mas'ud berkata,
قَالَ لِي النَّبِيُّ ﷺ: (اقۡرَأۡ عَلَيَّ). قُلۡتُ: آقۡرَأُ عَلَيۡكَ وَعَلَيۡكَ أُنۡزِلَ؟ قَالَ: (فَإِنِّي أُحِبُّ أَنۡ أَسۡمَعَهُ مِنۡ غَيۡرِي). فَقَرَأۡتُ عَلَيۡهِ سُورَةَ النِّسَاءِ، حَتَّى بَلَغۡتُ: ﴿فَكَيۡفَ إِذَا جِئۡنَا مِن كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئۡنَا بِكَ عَلَىٰ هَـٰٓؤُلَآءِ شَهِيدًا﴾. قَالَ: (أَمۡسِكۡ). فَإِذَا عَيۡنَاهُ تَذۡرِفَانِ.
Berkata Nabi kepadaku, "Bacakanlah padaku." Aku berkata, "Wahai Rasulullah, apakah aku bacakan kepadamu sedangkan kepadamu telah diturunkan?" beliau menjawab, "ya". Maka aku membaca surat An Nisa hingga ayat "Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)." (QS An Nisa : 41) beliau berkata, "cukup". Lalu aku (Ibnu Masud) menengok kepadanya ternyata kedua mata beliau berkaca-kaca.
Sahabat Ibnu Mas'ud dalam hadits ini tidak menyatakan "shodaqollahul adhim" setelah membaca surat An Nisa tadi. Dan tidak pula Nabi memerintahkannya untuk menyatakan "shodaqollahul adhim", beliau hanya mengatakan kepada Ibnu Mas'ud "cukup".

Kedua: Diriwayatkan oleh Bukhori dalam shahihnya no. 6 dan Muslim no. 2308 dari sahabat Ibnu Abbas beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ أَجۡوَدَ النَّاسِ، وَكَانَ أَجۡوَدَ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلۡقَاهُ جِبۡرِيلُ، وَكَانَ يَلۡقَاهُ فِي كُلِّ لَيۡلَةٍ مِنۡ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الۡقُرۡآنَ
"Adalah Rasulullah orang yang paling giat dan beliau lebih giat lagi di bulan ramadhan, sampai saat Jibril menemuinya -Jibril selalu menemuinya tiap malam di Bulan Ramadhan- bertadarus Al Quran bersamanya".
Tidak dinukil satu kata pun bahwa Jibril atau Nabi Muhammad ketika selesai qiroatul Quran mengucapkan "shodaqollahul adhim".

Ketiga: Diriwayatkan oleh Bukhori dalam shahihnya no. 3809 dan Muslim no. 799 dari hadits Anas bin Malik -radhiyallahu anhuma-,
قَالَ النَّبِيُّ ﷺ لِأُبَيٍّ: (إِنَّ اللهَ أَمَرَنِي أَنۡ أَقۡرَأَ عَلَيۡكَ: ﴿لَمۡ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا﴾ [البيّنة: ١]). قَالَ: وَسَمَّانِي؟ قَالَ: (نَعَمۡ). فَبَكَى.
Nabi berkata kepada Ubay, "Sesungguhnya Allah menyuruhku untuk membacakan kepadamu "lam yakunil ladzina kafaru min ahlil kitab" ("Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya)...") (QS Al Bayyinah : 1). Ubay berkata, "menyebutku?" Nabi menjawab, "ya", maka Ubay pun menangis.
Nabi tidak mengucapkan "shodaqollahul adhim" setelah membaca ayat itu.

Keempat: Diriwayatkan oleh Bukhori dalam shahihnya no. 4474 dari hadits Raafi' bin Al Ma'la -radhiyallahu anhuma- bahwa Nabi bersabda, "Maukah engkau kuajari surat yang paling agung dalam Al Quran sebelum aku pergi ke masjid?" Kemudian beliau (Nabi) pergi ke masjid, lalu aku mengingatkannya dan beliau berkata, "Alhamdulillah, ia (surat yang agung itu) adalah As Sab'ul Matsaani dan Al Quranul Adhim yang telah diberikan kepadaku."
Beliau tidak mengatakan "shodaqollahul adhim".

Kelima: Terdapat dalam Sunan Abi Daud no. 1400 dan Sunan At Tirmidzi no. 2893 dari hadits Abi Hurairah dari Nabi, beliau bersabda,
سُورَةٌ مِنَ الۡقُرۡآنِ ثَلَاثُونَ آيَةً تَشۡفَعُ لِصَاحِبِهَا حَتَّى غُفِرَ لَهُ: ﴿تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الۡمُلۡكُ﴾
Ada satu surat dari Al Quran banyaknya 30 ayat akan memberikan syafaat bagi pemiliknya -yang membacanya/ mengahafalnya- hingga ia akan diampuni, "tabaarokalladzii biyadihil mulk" (Maha Suci Allah yang ditanganNyalah segala kerajaan...) (QS Al Mulk : 1).
Nabi tidak mengucapkan "shodaqollahul adhim" setelah membacanya. 

Keenam: Dalam Shahih Bukhori no. 4952 dan Muslim no. 464 dari hadits Baro' bin 'Azib berkata,
سَمِعۡتُ النَّبِيَّ ﷺ قَرَأَ فِي الۡعِشَاءِ بِـ: ﴿وَالتِّينِ وَالزَّيۡتُونِ ۝١﴾. فَمَا سَمِعۡتُ أَحَدًا أَحۡسَنَ صَوۡتًا مِنۡهُ.
Aku mendengar Rasulullah membaca di waktu Isya dengan "attiini waz zaituun", aku tidak pernah mendengar seorangpun yang lebih indah suaranya darinya.
Dan beliau tidak mengatakan setelahnya "shodaqollahul adhim".

Ketujuh: Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya no. 873 dari hadits Ibnat Haritsah bin An Nu'man berkata,
مَا حَفِظۡتُ (ق) إِلَّا مِنۡ فِي رَسُولِ اللهِ ﷺ. يَخۡطُبُ بِهَا كُلَّ جُمُعَةٍ.
Aku tidak mengetahui/hafal "qaaf wal qur'aanil majiid" kecuali dari lisan rasulullah, beliau berkhutbah dengannya pada setiap Jumat.
Tidak dinukil beliau mengucapkan setelahnya "shodaqollahul adhim" dan tidak dinukil pula ia (Ibnat Haritsah) saat membaca surat "qaaf" mengucapkan "shodaqollahul adhim".

Jika kita mau menghitung surat dan ayat-ayat yang dibaca oleh Rasulullah dan para sahabatnya serta para tabiin dari generasi terbaik umat ini, dan nukilan bahwa tak ada satu orangpun dari mereka yang mengucapkan "shodaqollahul adhim" setelah membacanya maka akan sangat banyak dan panjang. Namun cukuplah apa yang kami nukilkan dari mereka yang menunjukkan bahwa mengucapkan "shodaqollahul adhim" setelah membaca Al Quran atau satu ayat darinya adalah bid'ah -perkara yang baru- yang tidak pernah ada dan didahului oleh generasi pertama.

Kaum muslimin -rahimakumullah-, satu hal lagi yang perlu dan penting untuk diperhatikan bahwa meskipun ucapan "shodaqollahul adhim" setelah qiroatul Quran adalah bid'ah, namun kita wajib meyakini dalam hati perihal maknanya bahwa Allah maha benar dengan seluruh firmanNya, Allah berfirman, "Dan siapa lagi yang lebih baik perkataannya daripada Allah", dan Allah berfirman, "Dan siapa lagi yang lebih baik perkataannya daripada Allah". Barangsiapa yang mendustakannya -firman Allah- maka ia kafir atau munafiq.

Semoga Allah senantiasa mengokohkan kita di atas Al Kitab dan Sunnah dan Istiqomah di atasnya. Wal ilmu indallah.

Sumber: Buletin Al-Wala` Wal-Bara` edisi ke-5 tahun ke-1 / 10 Januari 2003 M / 06 Dzul Qo'dah 1423 H.

Shahih Muslim hadits nomor 873

٥١ – (٨٧٣) – حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بۡنُ بَشَّارٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ جَعۡفَرٍ: حَدَّثَنَا شُعۡبَةُ، عَنۡ خُبَيۡبٍ، عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ مُحَمَّدِ بۡنِ مَعۡنٍ، عَنۡ بِنۡتٍ لِحَارِثَةَ بۡنِ النُّعۡمَانِ؛ قَالَتۡ: مَا حَفِظۡتُ (ق) إِلَّا مِنۡ فِي رَسُولِ اللهِ ﷺ. يَخۡطُبُ بِهَا كُلَّ جُمُعَةٍ. قَالَتۡ: وَكَانَ تَنُّورُنَا وَتَنُّورُ رَسُولِ اللهِ ﷺ وَاحِدًا.
51. (873). Muhammad bin Basysyar telah menceritakan kepadaku: Muhammad bin Ja'far menceritakan kepada kami: Syu'bah menceritakan kepada kami, dari Khubaib, dari 'Abdullah bin Muhammad bin Ma'n, dari putri Haritsah bin An-Nu'man; Dia berkata: Tidaklah aku menghafal surah Qaaf kecuali dari mulut Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau berkhotbah membacanya setiap hari Jum'at. Dia berkata: Tungku kami dan tungku Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam satu.
٥٢ - (…) - وَحَدَّثَنَا عَمۡرٌو النَّاقِدُ: حَدَّثَنَا يَعۡقُوبُ بۡنُ إِبۡرَاهِيمَ بۡنِ سَعۡدٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، عَنۡ مُحَمَّدِ بۡنِ إِسۡحَاقَ. قَالَ: حَدَّثَنِي عَبۡدُ اللهِ بۡنُ أَبِي بَكۡرِ بۡنِ مُحَمَّدِ بۡنِ عَمۡرِو بۡنِ حَزۡمٍ الۡأَنۡصَارِيُّ، عَنۡ يَحۡيَىٰ بۡنِ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عَبۡدِ الرَّحۡمٰنِ بۡنِ سَعۡدِ بۡنِ زُرَارَةَ، عَنۡ أُمِّ هِشَامٍ بِنۡتِ حَارِثَةَ بۡنِ النُّعۡمَانِ؛ قَالَتۡ: لَقَدۡ كَانَ تَنُّورُنَا وَتَنُّورُ رَسُولِ اللهِ ﷺ وَاحِدًا. سَنَتَيۡنِ أَوۡ سَنَةً وَبَعۡضَ سَنَةٍ. وَمَا أَخَذۡتُ ﴿قٓ وَٱلۡقُرۡءَانِ ٱلۡمَجِيدِ ۝١﴾ إِلَّا عَنۡ لِسَانِ رَسُولِ اللهِ ﷺ يَقۡرَؤُهَا كُلَّ يَوۡمِ جُمُعَةٍ عَلَى الۡمِنۡبَرِ إِذَا خَطَبَ النَّاسَ.
52. 'Amr An-Naqid telah menceritakan kepada kami: Ya'qub bin Ibrahim bin Sa'd menceritakan kepada kami: Ayahku menceritakan kepada kami, dari Muhammad bin Ishaq. Beliau berkata: 'Abdullah bin Abu Bakr bin Muhammad bin 'Amr bin Hazm Al-Anshari menceritakan kepadaku, dari Yahya bin 'Abdullah bin 'Abdurrahman bin Sa'd bin Zurarah, dari Ummu Hisyam binti Haritsah bin An-Nu'man; Beliau berkata: Sungguh pernah tungku kami dan tungku Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam satu, selama dua tahun atau satu tahun beberapa bulan. Dan tidaklah aku menghafal Qaaf wal qur`aanil majiid kecuali dari lisan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang beliau membacanya setiap hari Jum'at di atas mimbar ketika berkhotbah kepada manusia.

Thawus bin Kaisan rahimahullah

Nasihat merupakan salah satu pokok ajaran Islam yang sangat mulia. Seorang muslim dituntut untuk memberikan nasihat satu sama lain demi kebaikan dunia dan akhirat. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa agama adalah nasihat bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, penguasa kaum muslimin, dan seluruh kaum muslimin secara umum.

Nah, pembaca Qudwah sekalian, tokoh kita kali ini adalah seorang pembesar ulama tabi'in yang sangat komitmen dalam memberikan nasihat kepada seluruh kaum muslimin. Beliau dikenal sebagai ulama yang sangat lantang dalam menasihati dan menyerukan kebenaran di hadapan penguasa. Ya, tidak lain beliau adalah Dzakwan bin Kaisan yang lebih populer dengan julukan Thawus bin Kaisan. Mengenai julukan ini, Yahya bin Ma'in pernah berkata, “Ia dijuluki Thawus (burung merak) karena seringnya mempelajari ilmu agama kepada para ahli qira`ah (ahli membaca Al-Quran).” Nama lengkapnya adalah Abu Abdirrahman Dzakwan bin Kaisan al-Yamani al-Himyari. Salah seorang kibarut tabi'in (tabi'in yang awal) sekaligus wa'izh (pemberi nasihat) kaum muslimin. Ia pernah belajar dan menimba ilmu dari sekian banyak shahabat. Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa Thawus mengaku telah bertemu dengan 50 orang shahabat. Di antaranya Abdullah bin Abbas, Muadz bin Jabal, Jabir bin Abdullah, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar dan yang lainnya radhiyallahu 'anhum.

Thawus rahimahullah pernah berkata, “Seseorang yang berbicara tentang kebaikan dan ia bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta'ala, maka ia lebih baik daripada orang yang diam dan bertakwa kepada Allah.” Oleh sebab itu, ia memiliki prinsip bahwa seorang juru dakwah hendaknya tidak menyia-nyiakan waktu jika ada kesempatan untuk menyampaikan kebenaran. Setiap kali ia diminta untuk menyampaikan nasihat dan petuah, beliau pun langsung menyanggupinya selama tidak ada penghalang. Seperti tatkala beliau dipanggil oleh Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik untuk menyampaikan nasihat. Maka beliau pun tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut dan bergegas memenuhi panggilannya. Setelah tiba di hadapannya, Thawus berkata dalam hati bahwa ini adalah sebuah forum yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Ia menyadari bahwa menyatakan kebenaran di hadapan penguasa adalah sesuatu yang penuh risiko dan bukan hal yang mudah. Sehingga beliau berusaha untuk memotivasi diri supaya jangan sampai mengorbankan kebenaran demi kesenangan penguasa. Mulailah Thawus menyampaikan petuahnya dengan menyatakan, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ada sebuah batu besar di tepi Jahannam. Batu tersebut dilemparkan ke dasar Jahannam dan membutuhkan waktu tujuh puluh tahun untuk sampai ke dasarnya. Wahai Amirul Mukminin, tahukah anda untuk siapakah sumur tersebut disediakan?”

Khalifah menjawab, “Tidak, duhai celakanya. Untuk siapakah gerangan?”

Thawus berkata, “Untuk orang-orang yang Allah pilih sebagai penegak hukum-Nya namun dia justru berbuat kezaliman.” Kata-kata tersebut begitu menyentuh hati Sulaiman sehingga ia pun gemetar dan akhirnya tak kuasa menahan tangis. Ini meraupakan salah satu dari sekian banyak contoh bimbingan Thawus kepada para penguasa di zamannya.

Ketulusan Thawus dalam menyampaikan nasihat sangat tampak dalam interaksi beliau terhadap para penguasa. Tidak ada ambisi pada diri beliau untuk memperoleh jabatan atau harta dari mereka. Bahkan beliau berkali-kali menolak hadiah para penguasa atas nasihat yang disampaikan kepada mereka. Tidak ada sedikit pun yang beliau ambil. Bahkan, semuanya dibiarkan begitu saja. Sikap beliau yang demikian ini semakin menambah wibawa di hadapan penguasa kaum muslimin. Bahkan orang sebengis Hajjaj bin Yusuf sangat hormat dan simpati kepadanya. Hajjaj tidak merasa malu atau sombong untuk bertanya kepadanya tentang urusan agama.

Simak kisah berikut ini yang mencerminkan wara' beliau dalam urusan duniawi. Pernah suatu ketika Thawus bersama Wahab bin Munabbih datang menemui Muhammad bin Yusuf ats-Tsaqafi yang saat itu menjabat sebagai gubernur di Yaman. Tatkala ia menyampaikan nasihat kepada para hadirin, tiba-tiba sang gubernur menyuruh pelayannya untuk mengambil beberapa potong pakaian berwarna hijau yang bagus. Kemudian ia menyuruh pelayannya supaya meletakkan pakaian itu di atas pundak Thawus. Thawus bergeming meski diperlakukan demikian. Ia tetap melanjutkan ceramahnya sampai selesai, lalu beranjak meninggalkan majelis tersebut. Sementara ia biarkan pakaian tadi jatuh dari pundaknya. Setelah pertemuan itu usai, Wahb berkata kepada Thawus, “Demi Allah, sebenarnya kita jangan sampai membuat gubernur itu marah kepada kita. Kenapa Anda tidak menerima pakaian tersebut lalu dijual dan hasilnya disedekahkan kepada orang-orang miskin?”

Thawus pun menjawab, “Anda benar, jika aku tidak mengkhawatirkan orang-orang setelah kita akan mengatakan, 'Kami menerima pemberian penguasa sebagaimana yang dilakukan oleh Thawus bin Kaisan. Namun setelahnya mereka tidak menyedekahkan kepada orang-orang miskin.'” Memang demikian kebiasaan Thawus seusai menyampaikan nasihat kepada pemimpin kaum muslimin. Ia langsung beranjak pergi setelah selesai kecuali jika ada keperluan yang hendak diselesaikan.

Sufyan bin Uyainah rahimahullah pernah berkata, “Ada tiga orang yang senantiasa menjauhi kepemimpinan: Abu Dzar di masanya, Thawus di masanya, dan Sufyan ats-Tsauri di masanya.”

Demikianlah para pembaca, tatkala seseorang dekat dengan penguasa maka ujian harta dan kekuasaan sungguh sangat besar. Sehingga tidak sekadar kemapanan ilmu yang dibutuhkan. Namun keikhlasan dan sikap wara' juga tidak kalah penting untuk dimiliki siapa saja dalam permasalahan ini. Kisah ini juga menggambarkan betapa para penguasa saat itu begitu menghargai keberadaan ulama. Sehingga tidak sedikit di antara mereka yang mengutus pembantu-pembantunya untuk memanggil ulama demi mendapatkan siraman rohani. Atau bahkan mereka sendiri yang duduk bersimpuh di hadapan ulama untuk menimba ilmu dan mendengar petuah-petuah mereka. Sungguh, dengan kesadaran yang baik dari kedua belah pihak, baik ulama maupun pemimpin, niscaya akan memunculkan pemimpin-pemimpin yang adil nan bijaksana. Demikian sekilas potret kepribadian seorang pemberi nasihat dari kalangan ulama tabi'in. Semoga Allah merahmati Thawus yang senantiasa membimbing kaum muslimin dengan untaian-untaian nasihatnya. Allahu a'lam.


Sumber: Majalah Qudwah edisi 12 vol. 01 1434 H/ 2013 M, rubrik Ulama. Pemateri: Ustadz Abu Hafy Abdullah.

Shahih Muslim hadits nomor 464

٣٦ – بَابُ الۡقِرَاءَةِ فِي الۡعِشَاءِ

36. Bab bacaan di dalam shalat 'Isya`

١٧٥ – (٤٦٤) – حَدَّثَنَا عُبَيۡدُ اللهِ بۡنُ مُعَاذٍ الۡعَنۡبَرِيُّ: حَدَّثَنَا أَبِي: حَدَّثَنَا شُعۡبَةُ، عَنۡ عَدِيٍّ. قَالَ: سَمِعۡتُ الۡبَرَاءَ يُحَدِّثُ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ: أَنَّهُ كَانَ فِي سَفَرٍ، فَصَلَّى الۡعِشَاءَ الۡآخِرَةَ، فَقَرَأَ فِي إِحۡدَى الرَّكۡعَتَيۡنِ: ﴿وَالتِّينِ وَالزَّيۡتُونِ ۝١﴾ [التين: ١].
[البخاري: كتاب الأذان، باب الجهر في العشاء، رقم: ٧٦٧].
175. (464). 'Ubaidullah bin Mu'adz Al-'Anbari telah menceritakan kepada kami: Ayahku menceritakan kepada kami: Syu'bah menceritakan kepada kami, dari 'Adi. Beliau berkata: Aku mendengar Al-Bara` menceritakan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: Bahwa beliau pernah di suatu safar, beliau shalat 'Isya` yang akhir. Beliau membaca di salah satu raka'atnya: Wattiini wazzaituun. (QS. At-Tiin: 1).
١٧٦ - (…) - حَدَّثَنَا قُتَيۡبَةُ بۡنُ سَعِيدٍ: حَدَّثَنَا لَيۡثٌ، عَنۡ يَحۡيَىٰ - وَهُوَ ابۡنُ سَعِيدٍ - عَنۡ عَدِيِّ بۡنِ ثَابِتٍ، عَنِ الۡبَرَاءِ بۡنِ عَازِبٍ: أَنَّهُ قَالَ: صَلَّيۡتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ الۡعِشَاءَ، فَقَرَأَ بِـ: ﴿التِّينِ وَالزَّيۡتُونِ﴾.
176. Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami: Laits menceritakan kepada kami, dari Yahya bin Sa'id, dari 'Adi bin Tsabit, dari Al-Bara` bin 'Azib: Bahwa beliau berkata: Aku pernah shalat 'Isya` bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau membaca surah At-Tiin.
١٧٧ - (…) - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ نُمَيۡرٍ: حَدَّثَنَا أَبِي: حَدَّثَنَا مِسۡعَرٌ عَنۡ عَدِيِّ بۡنِ ثَابِتٍ. قَالَ: سَمِعۡتُ الۡبَرَاءَ بۡنَ عَازِبٍ قَالَ: سَمِعۡتُ النَّبِيَّ ﷺ قَرَأَ فِي الۡعِشَاءِ بِـ: ﴿وَالتِّينِ وَالزَّيۡتُونِ ۝١﴾. فَمَا سَمِعۡتُ أَحَدًا أَحۡسَنَ صَوۡتًا مِنۡهُ.
177. Muhammad bin 'Abdullah bin Numair telah menceritakan kepada kami: Ayahku menceritakan kepada kami: Mis'ar menceritakan kepada kami, dari 'Adi bin Tsabit. Beliau berkata: Aku mendengar Al-Bara` bin 'Azib berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membaca di shalat 'Isya` dengan Wattiini wazzaituun. Aku tidak pernah mendengar seorang pun yang lebih indah suaranya daripada beliau.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 4952

١ – بَابٌ

1. Bab

٤٩٥٢ – حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بۡنُ مِنۡهَالٍ: حَدَّثَنَا شُعۡبَةُ قَالَ: أَخۡبَرَنِي عَدِيٌّ قَالَ: سَمِعۡتُ الۡبَرَاءَ رَضِيَ اللهُ عِنۡهُ: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ فِي سَفَرٍ، فَقَرَأَ فِي الۡعِشَاءِ فِي إِحۡدَى الرَّكۡعَتَيۡنِ بِالتِّينِ وَالزَّيۡتُونِ. ﴿تَقۡوِيمٍ﴾ [٤] الۡخَلۡقِ. [طرفه في: ٧٦٧].
4952. Hajjaj bin Minhal telah menceritakan kepada kami: Syu'bah menceritakan kepada kami, beliau berkata: 'Adi mengabarkan kepadaku, beliau berkata: Aku mendengar Al-Bara` radhiyallahu 'anhu: Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah pada suatu safar, beliau membaca di salah satu dari dua raka'at shalat 'Isya` surah Wattiin wazzaituun. Taqwim (4) adalah penciptaan.

Sunan At-Tirmidzi hadits nomor 2891

٢٨٩١ – (حسن) حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ بَشَّارٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ جَعۡفَرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعۡبَةُ، عَنۡ قَتَادَةَ، عَنۡ عَبَّاسٍ الۡجُشَمِيِّ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: (إِنَّ سُورَةً مِنَ الۡقُرۡآنِ ثَلَاثُونَ آيَةً شَفَعَتۡ لِرَجُلٍ حَتَّى غُفِرَ لَهُ، وَهِيَ سُورَةُ تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الۡمُلۡكُ). هٰذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ. [(التعليق الرغيب) (٢ / ٢٢٣)، (المشكاة) (٢١٥٣)].
2891. Muhammad bin Basysyar telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Muhammad bin Ja'far menceritakan kepada kami, beliau berkata: Syu'bah menceritakan kepada kami, dari Qatadah, dari 'Abbas Al-Jusyami, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya ada satu surah dari Al-Qur`an yang terdiri dari tiga puluh ayat yang memberi syafa'at bagi seseorang hingga ia diampuni. Yaitu surah tabaarakalladzi biyadihil mulk.” Ini hadits hasan.

Sunan Abu Dawud hadits nomor 1400

٣٢٧ – بَابٌ فِي عَدَدِ الۡآيِ

327. Bab jumlah ayat

١٤٠٠ – (حسن) حَدَّثَنَا عَمۡرُو بۡنُ مَرۡزُوقٍ، أنا شُعۡبَةُ، أنا قَتَادَةُ، عَنۡ عَبَّاسٍ الۡجُشَمِيِّ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: (سُورَةٌ مِنَ الۡقُرۡآنِ ثَلَاثُونَ آيَةً تَشۡفَعُ لِصَاحِبِهَا حَتَّى غُفِرَ لَهُ: ﴿تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الۡمُلۡكُ﴾).
1400. 'Amr bin Marzuq telah menceritakan kepada kami, Syu'bah mengabarkan kepada kami, Qatadah mengabarkan kepada kami, dari 'Abbas Al-Jusyami, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Ada satu surah dari Al-Qur`an yang terdiri dari tiga puluh ayat yang akan memberikan syafa'at bagi penghafalnya sehingga ia diampuni: Tabaarakalladzi biyadihil mulk.”

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 4474

١ – بَابُ مَا جَاءَ فِي فَاتِحَةِ الۡكِتَابِ

1. Bab tentang surah Al-Fatihah

وَسُمِّيَتۡ أُمَّ الۡكِتَابِ أَنَّهُ يُبۡدَأُ بِكِتَابَتِهَا فِي الۡمَصَاحِفِ، وَيُبۡدَأُ بِقِرَاءَتِهَا فِي الصَّلَاةِ. وَالدِّينُ: الۡجَزَاءُ فِي الۡخَيۡرِ وَالشَّرِّ، كَمَا تَدِينُ تُدَانُ.
وَقَالَ مُجَاهِدٌ: ﴿بِالدِّينِ﴾ [الماعون: ١] [الإنفطار: ٩] بِالۡحِسَابِ. ﴿مَدِينِينَ﴾ [الواقعة: ٨٦] مُحَاسَبِينَ.
٤٤٧٤ – حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ: حَدَّثَنَا يَحۡيَى، عَنۡ شُعۡبَةَ قَالَ: حَدَّثَنِي خُبَيۡبُ بۡنُ عَبۡدِ الرَّحۡمٰنِ، عَنۡ حَفۡصِ بۡنِ عَاصِمٍ، عَنۡ أَبِي سَعِيدِ بۡنِ الۡمُعَلَّى قَالَ: كُنۡتُ أُصَلِّي فِي الۡمَسۡجِدِ، فَدَعَانِي رَسُولُ اللهِ ﷺ فَلَمۡ أُجِبۡهُ، فَقُلۡتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي كُنۡتُ أُصَلِّي، فَقَالَ: (أَلَمۡ يَقُلِ اللهُ: ﴿اسۡتَجِيبُوا لِلهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمۡ﴾ [الأنفال: ٢٤]). ثُمَّ قَالَ لِي: (لَأُعَلِّمَنَّكَ سُورَةً هِيَ أَعۡظَمُ السُّوَرِ فِي الۡقُرۡآنِ، قَبۡلَ أَنۡ تَخۡرُجَ مِنَ الۡمَسۡجِدِ). ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِي، فَلَمَّا أَرَادَ أَنۡ يَخۡرُجَ، قُلۡتُ لَهُ: أَلَمۡ تَقُلۡ: (لَأُعَلِّمَنَّكَ سُورَةً هِيَ أَعۡظَمُ سُورَةٍ فِي الۡقُرۡآنِ)؟! قَالَ: (﴿الۡحَمۡدُ لِلهِ رَبِّ الۡعَالَمِينَ﴾: هِيَ السَّبۡعُ الۡمَثَانِي، وَالۡقُرۡآنُ الۡعَظِيمُ الَّذِي أُوتِيتُهُ). [الحديث ٤٤٧٤ – أطرافه في: ٤٦٤٧، ٤٧٠٣، ٥٠٠٦].
4474. Musaddad telah menceritakan kepada kami: Yahya menceritakan kepada kami, dari Syu'bah. Beliau berkata: Khubaib bin 'Abdurrahman menceritakan kepadaku, dari Hafsh bin 'Ashim, dari Abu Sa'id ibnul Mu'alla. Beliau berkata: Aku pernah shalat di masjid, tiba-tiba Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memanggilku, namun aku tidak menjawab panggilan beliau. Selesai shalat, aku berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tadi sedang shalat. Maka beliau berkata, “Bukankah Allah berfirman yang artinya: Penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila Rasul menyeru kalian. (QS. Al-Anfal: 24).” Kemudian beliau berkata kepadaku, “Sungguh akan aku ajari engkau sebuah surah yang merupakan surah paling agung di Al-Qur`an sebelum engkau keluar dari masjid.” Kemudian beliau memegang tanganku. Tatkala beliau ingin keluar, aku berkata kepada beliau: Bukankah engkau berkata: Sungguh aku akan ajari engkau sebuah surah yang merupakan surah paling agung di Al-Qur`an?! Beliau bersabda, “Alhamdulillaahi rabbil 'aalamiin, ialah as-sab'ul matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang) dan Al-Qur`an Al-'Azhim yang diberikan kepadaku.”