Cari Blog Ini

Sunan An-Nasa`i hadits nomor 302

١٨٩ – بَابُ بَوۡلِ الصَّبِيِّ الَّذِي لَمۡ يَأۡكُلِ الطَّعَامَ

189. Bab kencing bayi laki-laki yang belum mengonsumsi makanan

٣٠٢ – (صحيح) أَخۡبَرَنَا قُتَيۡبَةُ، عَنۡ مَالِكٍ، عَنِ ابۡنِ شِهَابٍ، عَنۡ عُبَيۡدِ اللهِ بۡنِ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عُتۡبَةَ، عَنۡ أُمِّ قَيۡسٍ بِنۡتِ مِحۡصَنٍ، أَنَّهَا أَتَتۡ بِابۡنٍ لَهَا – صَغِيرٍ، لَمۡ يَأۡكُلِ الطَّعَامَ - إِلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ، فَأَجۡلَسَهُ رَسُولُ اللهِ ﷺ فِي حَجۡرِهِ، فَبَالَ عَلَى ثَوۡبِهِ، فَدَعَا بِمَاءٍ، فَنَضَحَهُ، وَلَمۡ يَغۡسِلۡهُ. [(ابن ماجه)(٥٢٤)، ق].
302. Qutaibah telah mengabarkan kepada kami, dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari 'Ubaidullah bin 'Abdullah bin 'Utbah, dari Ummu Qais binti Mihshan, bahwa beliau datang membawa anak laki-lakinya -yang masih kecil belum mengonsumsi makanan- kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendudukkan anak itu di pangkuannya. Kemudian anak itu kencing di baju beliau. Maka beliau meminta dibawakan air lalu beliau perciki dan tidak mencucinya.

Sunan Ibnu Majah hadits nomor 524

٥٢٤ – (صحيح) حَدَّثَنَا أَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ، وَمُحَمَّدُ بۡنُ الصَّبَّاحِ؛ قَالَا: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ بۡنُ عُيَيۡنَةَ، عَنِ الزُّهۡرِيِّ، عَنۡ عُبَيۡدِ اللهِ بۡنِ عَبۡدِ اللهِ، عَنۡ أُمِّ قَيۡسٍ بِنۡتِ مِحۡصَنٍ؛ قَالَتۡ: دَخَلۡتُ بِابۡنٍ لِي عَلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ لَمۡ يَأۡكُلِ الطَّعَامَ، فَبَالَ عَلَيۡهِ، فَدَعَا بِمَاءٍ، فَرَشَّ عَلَيۡهِ. [(صحيح أبي داود)(٣٩٨)، (الإرواء)(١٦٩): ق].
524. Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Muhammad bin Ash-Shabbah telah menceritakan kepada kami, mereka berdua mengatakan: Sufyan bin 'Uyainah menceritakan kepada kami, dari Az-Zuhri, dari 'Ubaidullah bin 'Abdullah, dari Ummu Qais binti Mihshan; Beliau berkata: Aku masuk membawa anak laki-lakiku kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang belum mengonsumsi makanan. Lalu anak itu kencing mengenai beliau. Maka beliau minta dibawakan air lalu beliau perciki kencing itu.

Sunan At-Tirmidzi hadits nomor 71

٥٤ – بَابُ مَا جَاءَ فِي نُضۡحِ بَوۡلِ الۡغُلَامِ قَبۡلَ أَنۡ يَطۡعَمَ

54. Bab tentang memerciki kencing anak laki-laki kecil yang belum mengonsumsi makanan

٧١ – (صحيح) حَدَّثَنَا قُتَيۡبَةُ وَأَحۡمَدُ بۡنُ مَنِيعٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ بۡنُ عُيَيۡنَةَ، عَنِ الزُّهۡرِيِّ، عَنۡ عُبَيۡدِ اللهِ بۡنِ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عُتۡبَةَ، عَنۡ أُمِّ قَيۡسٍ بِنۡتِ مِحۡصَنٍ، قَالَتۡ: دَخَلۡتُ بِابۡنٍ لِي عَلَى النَّبِيِّ ﷺ: لَمۡ يَأۡكُلِ الطَّعَامَ، فَبَالَ عَلَيۡهِ، فَدَعَا بِمَاءٍ فَرَشَّهُ عَلَيۡهِ. وَفِي الۡبَابِ عَنۡ عَلِيٍّ، وَعَائِشَةَ، وَزَيۡنَبَ، وَلُبَابَةَ بِنۡتِ الۡحَارِثِ، وَهِيَ أُمُّ الۡفَضۡلِ بۡنِ عَبَّاسِ بۡنِ عَبۡدِ الۡمُطَّلِبِ، وَأَبِي السَّمۡحِ، وَعَبۡدِ اللهِ بۡنِ عَمۡرٍو، وَأَبِي لَيۡلَى، وَابۡنِ عَبَّاسٍ. وَهُوَ قَوۡلُ غَيۡرِ وَاحِدٍ مِنۡ أَصۡحَابِ النَّبِيِّ ﷺ وَالتَّابِعِينَ وَمَنۡ بَعۡدَهُمۡ، مِثۡلِ أَحۡمَدَ وَإِسۡحَاقَ، قَالُوا: يُنۡضَحُ بَوۡلُ الۡغُلَامِ، وَيُغۡسَلُ بَوۡلُ الۡجَارِيَةِ، وَهٰذَا مَا لَمۡ يَطۡعَمَا، فَإِذَا طَعِمَا غُسِلَا جَمِيعًا. [(ابن ماجه)(٥٢٤): ق].
71. Qutaibah dan Ahmad bin Mani' telah menceritakan kepada kami. Mereka berdua berkata: Sufyan bin 'Uyainah menceritakan kepada kami, dari Az-Zuhri, dari 'Ubaidullah bin 'Abdullah bin 'Utbah, dari Ummu Qais binti Mihshan. Beliau berkata: Aku masuk membawa putraku kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang belum mengonsumsi makanan. Lalu anak itu kencing. Kemudian Nabi minta dibawakan air lalu beliau memercikinya. Di dalam bab ini ada hadits dari 'Ali, 'Aisyah, Zainab, Lubabah bintu Al-Harits (beliau adalah Ummul Fadhl bin 'Abbas bin 'Abdul Muththalib), Abus Samh, 'Abdullah bin 'Amr, Abu Laila, dan Ibnu 'Abbas. Dan ini adalah pendapat lebih dari satu orang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tabi'in, dan ulama setelah mereka, semisal Ahmad dan Ishaq. Mereka berkata: Kencing anak laki-laki diperciki dan kencing anak perempuan dicuci, selama keduanya belum makan. Apabila mereka sudah makan, maka semuanya dicuci.

Syarh Al-Qawa'idul Arba' - Muqaddimah (6)

قَالَ: (فَاعۡلَمۡ: أَنَّ الۡعِبَادَةَ لَا تُسَمَّى عِبَادَةً إِلَّا مَعَ التَّوۡحِيدِ، كَمَا أَنَّ الصَّلَاةَ لَا تُسَمَّى صَلَاةً إِلَّا مَعَ الطَّهَارَةِ).
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bahwa ibadah itu tidak bisa dinamakan ibadah kecuali disertai tauhid. Sebagaimana shalat itu tidak bisa dinamakan shalat kecuali disertai bersuci.”
إِذَا عَرَفۡتَ أَنَّ اللهَ خَلَقَكَ لِعِبَادَتِهِ فَإِنَّ الۡعِبَادَةَ لَا تَكُونُ صَحِيحَةً يَرۡضَاهَا اللهُ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى إِلَّا إِذَا تَوَفَّرَ فِيهَا شَرۡطَانِ، إِذَا اخۡتَلَّ شَرۡطٌ مِنَ الشَّرۡطَيۡنِ بَطَلَتۡ:
Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah berkata: Jika engkau telah mengetahui bahwa Allah menciptakanmu untuk ibadah kepadaNya, maka sungguh ibadah itu tidak menjadi ibadah yang benar yang Allah subhanahu wa ta’ala ridhai, kecuali jika dua syarat terpenuhi padanya. Jika satu syarat tidak terpenuhi, maka ibadah tersebut batal.
الشَّرۡطُ الۡأَوَّلُ: أَنۡ تَكُونَ خَالِصَةً لِوَجۡهِ اللهِ، لَيۡسَ فِيهَا شِرۡكٌ. فَإِنۡ خَالَطَهَا شِرۡكٌ بَطَلَتۡ، مِثۡلُ الطَّهَارَةِ إِذَا خَالَطَهَا حَدَثٌ بَطَلَتۡ، كَذٰلِكَ إِذَا عَبَدۡتَ اللهَ ثُمَّ أَشۡرَكۡتَ بِهِ بَطَلَتۡ عِبَادَتُكَ. هٰذَا الشَّرۡطُ الۡأَوَّلُ.
Syarat pertama: Ibadah itu ikhlas mengharap wajah Allah, tidak ada sedikitpun syirik pada ibadah itu. Sehingga, jika syirik mencampuri ibadah itu, maka menjadi batal. Seperti bersuci. Jika hadats mencampurinya, maka kesuciannya batal. Seperti itu pula jika engkau menyembah Allah kemudian engkau sekutukan Dia, maka ibadahmu batal. Ini syarat pertama.
الشَّرۡطُ الثَّانِي: الۡمُتَابَعَةُ لِلرَّسُولِ ﷺ، فَأَيُّ عِبَادَةٍ لَمۡ يَأۡتِ بِهَا الرَّسُولُ فَإِنَّهَا بَاطِلَةٌ وَمَرۡفُوضَةٌ، لِأَنَّهَا بِدۡعَةٌ وَخُرَافَةٌ، وَلِهٰذَا يَقُولُ ﷺ: (مَنۡ عَمِلَ عَمَلًا لَيۡسَ عَلَيۡهِ أَمۡرُنَا فَهُوَ رَدٌّ)، وَفِي رِوَايَةٍ: (مَنۡ أَحۡدَثَ فِي أَمۡرِنَا هٰذَا مَا لَيۡسَ مِنۡهُ فَهُوَ رَدٌّ)، فَلَا بُدَّ أَنۡ تَكُونَ الۡعِبَادَةُ مُوَافِقَةً لِمَا جَاءَ بِهِ الرَّسُولُ ﷺ، لَا بِاسۡتِحۡسَانَاتِ النَّاسِ وَنِيَّاتِهِمۡ وَمَقَاصَدِهِمۡ مَا دَامَ أَنَّهَا لَمۡ يَدُلَّ عَلَيۡهَا دَلِيلٌ مِنَ الشَّرۡعِ فَهِيَ بِدۡعَةٌ وَلَا تَنۡفَعُ صَاحِبَهَا بَلۡ تَضُرُّهُ لِأَنَّهَا مَعۡصِيَةٌ، وَإِنۡ زَعَمَ أَنَّهُ تَقَرَّبَ بِهَا إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ.
Syarat kedua: Mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga, ibadah apa saja yang Rasulullah tidak contohkan, maka amalan ibadah tersebut bathil dan tertolak. Karena itu merupakan bid’ah dan keyakinan yang rusak. Atas hal inilah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada contoh dari kami, maka amalan itu tertolak.” Dalam riwayat lain, “Barangsiapa mengada-adakan -pada urusan agama kita ini- sesuatu yang tidak termasuk darinya, maka ia tertolak.” Maka, ibadah itu harus sesuai dengan apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan. Ibadah itu bukan berdasarkan anggapan baik, niatan baik, dan tujuan baik manusia. Selama amalan itu tidak ditunjukkan oleh satu dalil syar’i, maka ia adalah bid’ah dan tidak dapat memberi manfaat kepada pelakunya. Bahkan ia memudharatkannya, karena itu merupakan kemaksiatan meskipun ia menyangka bahwa amalan itu dapat mendekatkan kepada Allah ‘azza wa jalla.
فَلَا بُدَّ فِي الۡعِبَادَةِ مِنۡ هٰذَيۡنِ الشَّرۡطَيۡنِ: الۡإِخۡلَاصِ، وَالۡمُتَابَعَةِ لِلرَّسُولِ ﷺ حَتَّى تَكُونَ عِبَادَةً صَحِيحَةً نَافِعَةً لِصَاحِبِهَا، فَإِنۡ دَخَلَهَا شِرۡكٌ بَطَلَتۡ، وَإِذَا صَارَتۡ مُبۡتَدَعَةً لَيۡسَ عَلَيۡهَا دَلِيلٌ فَهِيَ بَاطِلَةٌ أَيۡضًا، بِدُونِ هٰذَيۡنِ الشَّرۡطَيۡنِ لَا فَائِدَةَ مِنَ الۡعِبَادَةِ، لِأَنَّهَا عَلَى غَيۡرِ مَا شَرَعَ اللهُ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى، وَاللهُ لَا يَقۡبَلُ إِلَّا مَا شَرَعَ فِي كِتَابِهِ أَوۡ عَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ ﷺ.
Jadi, ibadah itu harus ada dua syarat ini: ikhlas dan mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga jadilah ibadah tersebut benar lagi bermanfaat bagi pelakunya. Jika syirik mencampurinya, maka ibadah itu batal. Dan jika ibadah itu diada-adakan, tidak ada satu dalil pun padanya, maka ibadah itu pun bathil. Tanpa dua syarat ini, ibadah itu tidak ada faidahnya, karena amalan ibadah itu tidak di atas syariat Allah subhanahu wa ta’ala. Dan Allah tidak menerima kecuali apa yang telah Dia syariatkan di dalam Kitab-Nya atau melalui lisan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
فَلَا هُنَاكَ أَحَدٌ مِنَ الۡخَلۡقِ يَجِبُ اتِّبَاعُهُ إِلَّا الرَّسُولُ ﷺ، أَمَّا مَا عَدَا الرَّسُولَ فَإِنَّهُ يُتۡبَعُ وَيُطَاعُ إِذَا اتَّبَعَ الرَّسُولَ، أَمَّا إِذَا خَالَفَ الرَّسُولَ فَلَا طَاعَةَ، يَقُولُ اللهُ تَعَالَى: ﴿أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِى الۡأَمۡرِ مِنۡكُمۡ﴾ [النساء: ٥٩]، وَأُولُو الۡأَمۡرِ هُمۡ: الۡأُمَرَاءُ وَالۡعُلَمَاءُ، فَإِذَا أَطَاعُوا اللهَ وَجَبَتۡ طَاعَتُهُمۡ وَاتِّبَاعُهُمۡ، أَمَّا إِذَا خَالَفُوا أَمۡرَ اللهِ فَإِنَّهَا لَا تَجُوزُ طَاعَتُهُمۡ وَلَا اتِّبَاعُهُمۡ فِيمَا خَالَفُوا فِيهِ، لِأَنَّهُ لَيۡسَ هُنَاكَ أَحَدٌ يُطَاعُ اسۡتِقۡلَالًا مِنَ الۡخَلۡقِ إِلَّا رَسُولُ اللهِ ﷺ، وَمَا عَدَاهُ فَإِنَّهُ يُطَاعُ وَيُتَّبَعُ إِذَا أَطَاعَ الرَّسُولَ ﷺ وَاتَّبَعَ الرَّسُولَ، هٰذِهِ هِيَ الۡعِبَادَةُ الصَّحِيحَةُ.
Sehingga, tidak ada di sana satu pun makhlukNya yang wajib diikuti kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun selain Rasul, maka ia diikuti dan ditaati jika ia mengikuti Rasul. Adapun bila ia menyelisihi Rasul, maka tidak ada ketaatan. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri kalian.” (QS. An-Nisa`: 59). Dan ulil amri adalah para pemimpin dan ulama. Sehingga, jika mereka mentaati Allah, maka wajib mentaati mereka dan mengikuti mereka. Adapun apabila mereka menyelisihi perintah Allah, maka tidak boleh mentaati mereka dan tidak boleh mengikuti mereka pada perkara yang mereka selisihi. Karena di sana tidak ada seorang pun yang ditaati secara tersendiri dari kalangan makhluk kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun selain beliau, maka ditaati dan diikuti jika ia mentaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti Rasul. Inilah ibadah yang benar.

Riyadhus Shalihin

Taman Indah Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


Taman indah orang-orang shalih, demikianlah arti nama kitab ini. Disusun oleh seorang ahli hadits ternama, yaitu Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi Ad-Dimasyqi. Selain dikenal sebagai orang yang berilmu, beliau adalah seorang semangat yang mengamalkan ilmunya.

Sepanjang hidup, beliau rahimahullah menyibukkan diri dengan menuntut ilmu, mengamalkannya, dan zuhud dalam hidupnya. An Nawawi termasuk ulama di kurun 7 hijriyyah. Beliau wafat di usia muda, di umur 42 tahun, rahimahullah.

Riyadhush Shalihin adalah kitab sarat hadits yang diambil dari Kitab-kitab hadits terkenal. Seperti Al Bukhari, Muslim, At Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa’i, dan Ahmad. An Nawawi sendiri bertekad untuk menghindari hadits-hadits yang menurutnya dhaif. Jadi, pencantuman setiap hadits dalam kitab ini tentu melalui pengkajian mendalam dari beliau.

An Nawawi rahimahullah menyusun kitab ini dengan tatanan yang indah. Sehingga mudah untuk dipelajari oleh para pembaca. Tata letak dan urutan pembahasan menjadi beberapa kitab. Setiap kitab dibagi menjadi beberapa bab. Setiap kitab juga merupakan judul bagi hadits-hadits yang ada di dalamnya. Dimulai dari kitab Ikhlas, kitab Adab, dan seterusnya. Diakhiri dengan kitab Al Istighfar. Ini adalah isyarat, bahwa pertama dan utama yang harus dipelajari adalah niat. Karena keikhlasan adalah syarat diterimanya amalan. Diakhiri dengan istighfar, karena penutup amalan shalih adalah istighfar. Juga menunjukkan bahwa hamba, siapa pun itu, pasti memiliki kekurangan dalam ketaatannya. Sehingga hal ini ditambal dengan istighfar.

Dalam Riyadhush Shalihin terhitung sebanyak 17 kitab, 265 bab, dan 1897 hadits. An Nawawi rahimahullah juga menguatkan pembagian bab-bab dan pengelompokan pembahasan dengan penyebutan firman Allah subhanahu wa ta’ala sebagai dalil utama dalam bab tersebut. Jadilah Riyadhush Shalihin sebagai kitab yang sarat dengan kandungan pembahasan yang tinggi nilainya di sisi kaum muslimin.

Lebih rinci, kitab ini meliputi hadits-hadits tentang motivasi dan ancaman. Sebagai lecutan dalam kehidupan seorang muslim pada perkara agama dan dunianya. Kitab ini juga berisikan pendidikan dan pengajaran dalam seluruh aspek kehidupan individu maupun kemasyarakatan. Hubungan seseorang dengan Allah, antar manusia, bahkan hubungan manusia dengan makhluk lainnya.

Riyadhush Shalihin memiliki kekhususan dari sisi kandungan nasihat. Hadits-hadits yang disebutkan pun memang berkisar tentang masalah nasihat bagi seorang yang mencari hidayah. Hal inilah yang menjadi sebab kitab ini mendapatkan kedudukan di kalangan ulama. Sehingga mereka memberikan syarah (penjelasan), catatan, dan mengajarkannya kepada kaum muslimin.

Selain kitab ini, An Nawawi rahimahullah masih memiliki karya yang banyak lagi bermanfaat, dalam pembahasan yang beragam. Beliau menghasilkan kitab-kitab fenomenal. Karya-karya beliau mendapatkan pujian serta perhatian yang besar dari para ulama. Sehingga mereka mempelajari, mengambil faedah, dan menukil dari karya-karya beliau. Allahu a’lam.

Sumber: Majalah Qudwah edisi 7 vol.1 1434H/2013M, rubrik Maktabah. Pemateri: Ustadz Abu Abdirrahman Hammam.

Sunan Abu Dawud hadits nomor 374

١٣٧ – بَابُ بَوۡلِ الصَّبِيِّ يُصِيبُ الثَّوۡبَ

137. Bab kencing bayi yang mengenai baju

٣٧٤ – (صحيح) حَدَّثَنَا عَبۡدُ اللهِ بۡنُ مَسۡلَمَةَ [الۡقَعۡنَبِيُّ]، عَنۡ مَالِكٍ، عَنِ ابۡنِ شِهَابٍ، عَنۡ عُبَيۡدِ اللهِ بۡنِ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عُتۡبَةَ بۡنِ مَسۡعُودٍ، عَنۡ أُمِّ قَيۡسٍ بِنۡتِ مِحۡصَنٍ: أَنَّهَا أَتَتۡ بِابۡنٍ لَهَا صَغِيرٍ، لَمۡ يَأۡكُلِ الطَّعَامَ، إِلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ، فَأَجۡلَسَهُ رَسُولُ اللهِ ﷺ فِي حِجۡرِهِ، فَبَالَ عَلَى ثَوۡبِهِ، فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ، وَلَمۡ يَغۡسِلۡهُ. [ق].
374. 'Abdullah bin Maslamah (Al-Qa'nabi) telah menceritakan kepada kami, dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari 'Ubaidullah bin 'Abdullah bin 'Utbah bin Mas'ud, dari Ummu Qais binti Mihshan: Bahwa beliau datang membawa putranya yang masih kecil yang belum mengonsumsi makanan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendudukkan anak itu di pangkuannya, lalu anak itu kencing di baju beliau. Lantas beliau minta dibawakan air lalu beliau memercikinya dan tidak mencucinya.

Baqi bin Makhlad rahimahullah

Pernahkah terpikirkan oleh Anda, bahwa zaman dahulu, ulama rela melakukan perjalanan antar benua demi menuntut ilmu agama?

Memang, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di zaman ini, perjalanan seperti itu menjadi suatu hal yang biasa dan mudah. Pesawat terbang, kapal, kereta, dan berbagai sarana transportasi modern lainnya begitu mudah dijumpai di zaman ini. Sehingga perjalanan satu bulan yang ditempuh dengan berjalan kaki atau naik kuda, sekarang bisa dengan hitungan jam atau bahkan menit. Alhamdulillah, ini semua adalah kemudahan dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada umat manusia.

Perjalanan sejauh itu, keadaannya sangat berbeda dengan di zaman dulu, ketika belum ada alat transportasi secanggih saat ini. Tidak perlu ditanyakan lagi pengorbanan apa saja yang dilakukan untuk sampai tempat tujuan. Baik pengorbanan harta, waktu, dan tenaga. Belum lagi rintangan-rintangan yang dihadapi.

Namun, hal itu bukanlah suatu hal yang mencengangkan bagi para pendahulu kita, dari kalangan shahabat dan para ulama generasi setelahnya. Baqi bin Makhlad adalah satu bukti nyata yang menggambarkan semangat para ulama yang menggelora dalam menuntut ilmu agama. Beliau yang berasal dari benua Eropa karena tinggal di Spanyol, rela melakukan safar yang sangat jauh menuju Timur Tengah.

Beliau menempuh perjalanan sejauh itu, tentunya memakan waktu berbulan-bulan lamanya. Apalagi, menurut penuturan Al Qurthubi, Baqi bin Makhlad menembusnya hanya dengan jalan kaki. Beliau tidak pernah menaiki kendaraan seperti unta, kuda, atau yang semisalnya. Semua itu beliau lakukan demi satu tujuan yang mulia, yaitu menutut ilmu agama.

Kuniyah beliau adalah Abu Abdirrahman. Nama lengkapnya adalah Baqi bin Makhlad bin Yazid Al-Andalusi. Beliau tinggal di sebuah perkampungan yang bernama Qurthubah. Secara geografis, daerah ini masuk wilayah negara Spanyol di benua Eropa.

Saat itu, usia Baqi bin Makhlad masih sangat muda. Yaitu dua puluh tahun. Beliau memiliki fisik yang kuat dan perawakan yang tinggi. Hal ini ditunjang semangat beliau yang sangat tinggi untuk bertemu dengan Imam Ahmad di kota Baghdad.

Memang, di zaman beliau, popularitas sang imam begitu menggelegar di seantero negeri kaum muslimin. Tak terkecuali para ulama yang tinggal di negeri Maghrib (Maroko dan sekitarnya). Oleh karena itu, Baqi bin Makhlad sangat ingin bertemu dengan Imam Ahmad, kemudian belajar dan meriwayatkan hadits darinya.

Akhirnya, Beliau pun pergi meninggalkan kampung halaman. Untuk bertemu dengan Imam Ahmad yang tinggal nan jauh di sana. Bulan demi bulan beliau lalui. Sepanjang perjalanan, berbagai rintangan dihadapi dengan penuh ketabahan dan kesabaran.

Akan tetapi alangkah terkejutnya Baqi bin Makhlad, tatkala dalam perjalanan mendengar berita tentang cobaan yang menimpa Imam Ahmad. Yaitu fitnah Khalqul Qur’an, hingga beliau dicekal oleh penguasa Irak, dan dilarang untuk keluar rumah atau mengajar kaum muslimin. Penguasa Irak terpengaruh oleh pemikiran sesat, bahwa Al Quran adalah makhluk, bukan Kalamullah. Bahkan dengan kekuasaannya, raja memaksa siapa saja untuk meyakini akidah kekafiran ini.

Baqi bin Makhlad sangat sedih mendengar berita itu. Namun, hal itu sama sekali tidak menyurutkan semangatnya untuk menuntaskan perjalanannya sampai ke Baghdad.

Setibanya di Baghdad, pertama kali yang ia prioritaskan adalah mencari tempat tinggal yang layak untuk ditempati. Ia pun memutuskan untuk menyewa sebuah kamar sebagai tempat tinggal dan penyimpanan barang-barang bawaan.

Karena sejak awal maksud perantauannya adalah menuntut ilmu syar’i, maka beliau pun tidak ragu untuk bergegas mendatangi majelis-majelis ilmu di masjid Jami’ Baghdad. Di masjid tersebut, untuk kali pertamanya ia bergabung dengan sebuah majlis yang membahas tentang keadaan dan status para perawi (ilmu Jarh wa Ta’dil). Ada seorang ulama yang berbicara tentang keadaan para perawi. Apakah seorang perawi itu tsiqah (terpercaya keagamaan dan hafalannya), sehingga bisa diriwayatkan haditsnya. Atau sebaliknya, ia adalah seorang perawi yang dhaif (lemah), sehingga haditsnya tertolak. Itulah majelisnya Yahya bin Ma’in, seorang ulama jarh wa ta’dil yang sangat terkenal saat itu.

Baqi bin Makhlad rahimahullah pun memanfaatkan kesempatan tersebut sebaik mungkin. Beliau bertanya perihal orang-orang yang pernah dijumpai. Tak terkecuali, ia bertanya kepadanya tentang Imam Ahmad. Yahya bin Ma’in menjawab, “Itulah dia imamnya kaum muslimin, orang terbaik dan paling mulia di antara mereka.”

Setelah peristiwa itu, Baqi bin Makhlad keluar dari masjid dan mencari rumah Imam Ahmad. Atas takdir Allah subhanahu wa ta’ala, ada seseorang yang berbaik hati untuk menunjukkan rumah sang imam. Setibanya di depan rumah, ia pun mengetuk pintu. Tidak lama, keluarlah seorang laki-laki menyambutnya. Baqi bin Makhlad mengatakan, “Wahai Abu Abdillah, aku adalah orang asing yang rumahnya sangat jauh. Ini adalah kali pertama aku masuk ke negeri ini. Aku adalah seorang pencari hadits dan pengikut sunnah. Tidaklah aku melakukan perjalanan jauh ini, melainkan untuk bertemu denganmu.”

Imam Ahmad rahimahullah mempersilahkannya untuk masuk. Beliau lantas bertanya, “Dari mana asalmu?” Ia menjawab, “Dari daerah maghrib yang jauh.” Sang Imam kembali bertanya, “Dari Afrika?” Ia menjawab, “Bukan. Lebih jauh lagi, negeri setelah Afrika. Aku harus menyeberangi lautan untuk sampai di Afrika. Aku tinggal di Andalus.” Setelah mengetahui tempat tinggalnya yang sangat jauh, sang imam berkata, “Sungguh tempatmu sangat jauh. Tidak ada yang lebih aku sukai daripada memberikan bantuan yang baik kepada orang sepertimu. Hanya saja aku sekarang sedang diuji, dengan sesuatu yang mungkin telah sampai beritanya kepadamu.”

Baqi bin Makhlad rahimahullah berkata, “Ya. Sungguh beritanya telah sampai kepadaku. Ini adalah kali pertama aku masuk ke dalam negeri ini. Sehingga aku tidak dikenal di sini. Jika anda mengizinkanku, aku akan datang setiap hari menemuimu dengan penampilan seorang peminta-minta. Aku akan mengatakan di depan pintu rumah anda, sebagaimana yang dikatakan oleh pengemis. Lalu anda keluar. Andaikan anda tidak menyampaikan kepadaku setiap harinya kecuali hanya satu hadits saja, maka itu sudah cukup bagiku.”

Imam Ahmad rahimahullah menjawab, “Baiklah. Tapi dengan syarat engkau tidak boleh menampakkan diri di dalam forum-forum majelis ilmu, dan tidak pula di kalangan para ahli hadits.” Ia pun menerima persyaratan tersebut.

Keesokan harinya, Baqi bin Makhlad mengambil sebatang ranting pohon dan melilitkan kain pada kepalanya. Adapun kertas dan tinta disembunyikan di balik lengan bajunya. Tatkala sampai di pintu rumah Imam Ahmad, Baqi bin Makhlad berkata dengan suara yang lantang, “Bersedekahlah, semoga Allah merahmatimu!” Maka Imam Ahmad keluar menemuinya kemudian menutup pintu. Beliau menyampaikan dua hadits, tiga, atau bahkan lebih.

Periwayatan hadits seperti ini terus berlangsung hingga berakhirlah cobaan yang menimpa Imam Ahmad rahimahullah. Sehingga, sang imam diberi kesempatan lagi untuk menyampaikan hadits dan pengajaran kepada kaum muslimin di berbagai halaqah. Baqi bin Makhlad pun tiada pernah ketinggalan menghadiri halaqah-halaqah tersebut. Wajar jika sang Imam sangat memperhatikan dan memuliakannya. Seringkali nama Baqi bin Makhlad disebut-sebut dalam majelis. Bahkan beliau mendapat predikat dari sang Imam sebagai pencari ilmu yang sesungguhnya.

Selama menimba ilmu dari Imam Ahmad, tidak selamanya Baqi bin Makhlad bisa menjalaninya tanpa ada halangan suatu apa. Pernah suatu ketika ia jatuh sakit selama beberapa hari. Akibatnya, ia tidak bisa menghadiri majelis-majelis periwayatan hadits.

Imam Ahmad merasa sangat kehilangan. Sehingga bertanya kepada sebagian hadirin tentang kabarnya. Tatkala ada yang mengatakan bahwa ia sedang sakit, dengan disertai sekian banyak orang, sang Imam bergegas menuju penginapannya. Saat itu keadaan Baqi bin Makhlad cukup menyedihkan. Karena ia berada seorang diri di sebuah kamar sewaan. Dalam keadaan tertidur beralaskan tikar dan hanya ditemani buku-bukunya yang berantakan.

Tiba-tiba, datanglah pemilik penginapan untuk memberitahukan tentang kedatangan Imam Ahmad beserta rombongan. Setibanya di sana, Imam Ahmad berusaha untuk menghibur dan membesarkan harapan Baqi bin Makhlad. Beliau rahimahullah mengatakan, “Wahai Abu Abdirrahman (Baqi bin Makhlad), berbahagialah dengan meraih pahala Allah. Sungguh engkau telah menjalani hari-hari sehatmu dengan baik. Sekarang tibalah hari-hari sakitmu. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memuliakanmu dengan keselamatan dan mengusapkan kesembuhan kepadamu dengan tangan kanan-Nya.”

Baqi bin Makhlad rahimahullah berkisah, “Sungguh, Allah subhanahu wa ta’ala telah mengabulkan doa Imam Ahmad. Setelah beliau keluar, maka orang-orang berduyun-duyun mengunjungiku. Mereka membawa berbagai bentuk bantuan. Seperti kasur, makanan, minuman, perawatan, dan yang lainnya. Sungguh luar biasa perhatian mereka. Bahkan, melebihi perhatian kedua orang tuaku.”

Demikianlah sepenggal kisah keteladanan perjuangan salaf kita dalam menuntut ilmu. Semoga bisa menjadi pelajaran dan renungan bagi kita semua. Lihatlah berbagai pengorbanan Baqi bin Makhlad, ‘hanya’ dalam rangka mencari hadits dan menuntut ilmu. Mulai dari perjalanan fantastis antara benua yang beliau lakukan, lalu penyamaran beliau sebagai pengemis agar bisa mendapatkan hadits. Sampai ujian sakit yang beliau alami selama menuntut ilmu di negeri orang, tanpa kehadiran satu pun anggota keluarga untuk merawatnya. Semuanya dijalani dan dihadapi dengan penuh kesabaran.

Lalu bagaimana dengan kita? Apa yang telah kita korbankan untuk menuntut ilmu agama atau mendakwahkannya?! Perjuangan apa yang telah kita lakukan?! Ingatlah, bahwa ilmu ini tidak akan bisa diraih dengan jasad yang santai dan bermalas-malasan. Sejauh mana pengorbanan dan upaya yang dilakukan oleh seorang hamba dalam menuntut ilmu, maka sejauh itu pula Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan balasan baik di akhirat nanti.

Sungguh, apa yang selama ini kita lakukan belum ada apa-apanya dibandingkan dengan pengorbanan beliau. Itulah Al-Imam Baqi bin Makhlad semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati beliau. Allahu a’lam.

Sumber: Majalah Qudwah edisi 7 vol.1 1434H/2013M, rubrik Ulama. Pemateri: Ustadz Abu Hafiy Abdullah.

Imam At-Tirmidzi

Begitu harum namanya disebut dalam untaian hikmah. Bertaut dengan Sang Musthafa, Khairul Anam shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Mulia, yang tidak berkata dari nafsunya. Melainkan dari wahyu yang turun kepadanya.

Imam At-Tirmidzi, salah satu tanda kebenaran firman-Nya. Bahwa agama ini niscaya terjaga, dengan perantara ulama pengusung bendera sunnah. Hingga kelak kiamat tiba.

Nama asli At Tirmidzi adalah Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa As Sulami Al Bughi At Tirmidzi Adh Dharir. Inilah silsilah nasab beliau yang disebutkan dalam kebanyakan riwayat. Di sana ada pula riwayat lain yang sedikit berbeda dalam penyebutan kakek dan di atasnya dari moyang-moyang beliau.

KELAHIRAN BELIAU


Lahir pada tahun 209. Tidak diketahui dengan pasti tempat kelahiran beliau. Apakah di kota Tirmidz atau desa Bugh. Yang pasti, Tirmidz adalah sebuah kota kuno. Letaknya di muara sungai Balchia yang juga disebut sungai Jeihun, tepatnya sebelah selatan sungai itu. Jarak antara Tirmidz dan desa Bugh sekitar 6 farsakh (kurang lebih 33 Km). Ada juga tambahan keterangan dalam sebagian kisah bahwa beliau lahir dalam kondisi buta. Wallahu a’lam dengan akurasi riwayat ini. Yang lebih tepat, beliau mengalami kebutaan di masa tuanya karena banyak menangis.

GURU-GURU BELIAU


Beliau menjumpai banyak guru besar dalam bidang hadits. Mendengar hadits-hadits dari mereka dan meriwayatkannya. Masa itu memang dikenal sebagai era kebangkitan ilmu hadits dan cabang-cabangnya. Masa keemasan ini tidak lepas dari peran Imam Asy Syaf’i Al Muthallibi. Ia ajarkan ilmu ini kepada masyarakat luas, lebih khusus kepada penduduk Mesir dan Iraq.

Asy Syaf’i mengajarkan keharusan berhujah dengan As Sunnah, menjelaskan bagaimana kewajiban mengamalkan As Sunnah, sebagaimana kewajiban berhujah dan mengamalkan Al Quran. Beliau letakkan kaidah dan pokok-pokok dalam berhujah dengan hadits-hadits nabi.

Imam At Tirmidzi memang tidak menjumpai Asy Syafi’i. Bahkan para penulis kutubus sittah seperti Al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan An Nasa’i tidak ada yang bertemu langsung dengan beliau karena beliau lebih dulu wafat. Namun, mereka bertemu dengan guru-guru besar yang sezaman dengannya atau murid-murid seniornya.

At-Tirmidzi juga murid senior Al Bukhari. Dia mengambil ilmu hadits, memperdalam ilmu fikih, bertanya dan mengambil faedah, dan saling beradu argumen. Ada kalanya At Tirmidzi mengikuti pendapat Al Bukhari dengan dalilnya. Dan terkadang, beliau tidak sependapat dengannya. Demikianlah keadaan para ulama sunnah, mereka selalu mengikuti kebenaran dan jauh dari sikap taqlid, bahkan mengingkarinya.

At Tirmidzi Bertualang Mempelajari Hadits


At Tirmidzi berkeliling negeri untuk mereguk ilmu. Beliau menemui para periwayat hadits yang tersebar di negeri Khurasan, Iraq, dan Hijaz (Makkah dan Madinah). Namun, sebagian ulama memiliki persangkaan kuat bahwa At Tirmidzi tidak sempat masuk dan menimba ilmu di negeri Baghdad. Buktinya, nama beliau tiada disebut oleh Al Khathib Al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad. Bukti lain, ia tidak meriwayatkan satu hadits pun langsung dari Imam kota Baghdad sepeninggal Asy Syafi’i, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal. Padahal At Tirmidzi menjumpai masa hidup Imam Ahmad yang lahir pada tahun 164 dan wafat tahun 241.

Namun, ada juga yang berpendapat bahwa tiada disebutnya nama At Tirmidzi dalam Tarikh Baghdad bukanlah melazimkan bahwa ia tiada pernah memasukinya. Ada kemungkinan lain yang melatari, yaitu bahwa At Tirmidzi masuk ke Baghdad setelah Imam Ahmad meninggal. Karena perjalanan ilmiah At Tirmidzi tidaklah bermula dari masa kecilnya, namun setelah beliau berusia lebih dari 20 tahun, yaitu pada tahun 234 H. Wallahu a’lam dengan dua pendapat ini mana yang lebih bisa kita pegangi.

MURID AT TIRMIDZI


Yang meriwayatkan hadits dari beliau sangat banyak. Di antara yang paling penting untuk disebut dari sekian banyak murid beliau adalah Abul Abbas Al Mahbubi. Ia seorang ahli hadits paling menonjol dari negeri Maru. Dan dialah yang meriwayatkan kitab Jami’ At Tirmidzi langsung dari beliau. Al Mahbubi dikenal sebagai muhaddits sekaligus saudagar di negeri Khurasan. Ia juga menjadi bidikan para pencari ilmu dari berbagai penjuru negeri.

OTAK CEMERLANG DAN DAYA INGAT YANG SEMPURNA


Dihikayatkan dari Al Idrisi dengan sanadnya dari At Tirmidzi bahwa ia bercerita, “Pada saat aku dalam perjalanan menuju Makkah, ketika itu aku telah menghimpun hadits-hadits yang berasal dari seorang syaikh dalam dua jilid. (Namun aku belum pernah bertemu langsung dengannya. Hadits-hadits itu aku dapatkan dari murid-muridnya). Di tengah perjalanan, dengan takdir Allah Syaikh tersebut berpapasan dengan kami. Setelah aku tahu bahwa itu adalah Syaikh yang sedang aku tulis hadits-haditsnya dalam dua jilid itu, maka aku pun bergegas menemuinya. Sebelum itu, kuambil terlebih dahulu ‘dua jilid kitab’ dari kantong perbekalan. Aku meminta syaikh tersebut membacakan hadits-haditsnya sehingga aku bisa mencocokkan dengan tulisanku. Ia pun mengabulkan permintaanku.

Subhanallah! Ternyata yang ada di hadapanku bukanlah buku yang berisi haditsnya. Melainkan dua jilid lain yang masih putih dan polos. Aku bingung dibuatnya. Namun, tidak mungkin pula aku berputar haluan menukar dua jilid yang kumaukan. Tak lama berselang syaikh itu membacakan hadits dan lafazhnya kepadaku. Di sela-sela pembacaan itu ia melihat kepadaku dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih bersih. Maka dia menegurku, “Tidakkah engkau malu kepadaku?”

Aku katakan, “Bukan begitu perkaranya wahai Syaikh!” Aku pun memberitahukan kepadanya kenapa aku membawa buku kosong. Lalu aku berkata menghiburnya, “Namun aku telah menghafal semuanya wahai syaikh.”

Maka syaikh tersebut berkata, “Kalau begitu, ayo baca!” Maka aku pun membacakan kepadanya seluruhnya. Sayang, dia belum percaya dengan pengakuanku, maka dia pun bertanya menyidik, “Pasti telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?”

“Tidak wahai guru,” Jawabku.

Untuk membuktikan kebenaran ucapanku, aku meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadits gharib (hadits yang diriwayatkan hanya melaluinya sehingga tentu mustahil aku pernah mendengar hadits-hadits tersebut kecuali ketika itu), lalu berkata, “Coba ulangi apa yang kubacakan tadi.”

Dengan izin Allah, aku ternyata dapat membacakannya kembali dari pertama sampai selesai tanpa salah satu huruf pun. Sehingga syaikh itu berkata, “Wahai murid, aku belum pernah melihat orang sepertimu.”

PUJIAN ULAMA TERHADAP BELIAU


Imam Al Bukhari berkata kepada Imam At Tirmidzi, “Ilmu yang aku ambil manfaatnya darimu itu lebih banyak ketimbang ilmu yang engkau ambil manfaatnya dariku.”

Ibnu Hibban menuturkan, “Abu ‘Isa (At-Tirmidzi) adalah sosok ulama yang mengumpulkan hadits, membukukan, menghafal, dan mengadakan diskusi dalam hal hadits.”

Abu Ya’la Al Khalili menuturkan, “Muhammad bin Isa At Tirmidzi adalah seorang yang tsiqah (terpercaya keagamaan dan kemampuan hafalannya) menurut kesepakatan para ulama, terkenal dengan amanah, dan keilmuannya.”

Abu Sa’ad Al Idrisi menuturkan, “Imam At Tirmidzi adalah salah seorang imam yang diikuti dalam hal ilmu hadits. Beliau telah menyusun kitab Al Jami’, Tarikh, dan ‘Ilal dengan cara yang menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang alim yang kapabel. Beliau adalah seorang ulama yang menjadi contoh dalam hal hafalan.”

Al Hafizh Al Mizzi menuturkan, “Imam At Tirmidzi adalah salah seorang imam yang menonjol, dan termasuk orang yang Allah jadikan kaum muslimin mengambil manfaat darinya.”

HASIL KARYA BELIAU


Imam At Tirmizi mewariskan ilmunya, karya-karya beliau, di antara buku-buku beliau yang kita kenal adalah:
  1. Kitab Al Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan At Tirmidzi.
  2. Kitab Al ‘Ilal
  3. Kitab Asy Syama’il An Nabawiyyah.

BELIAU WAFAT


Di akhir hidupnya, imam At Tirmidzi mengalami buta. Beberapa tahun beliau hidup bersabar tanpa penglihatan. Walaupun mata tidak bisa melihat. Namun qalbu senantiasa menerangi sisa-sisa hidupnya. Hingga pada bulan Rajab tahun 279 H beliau meninggal dalam usia 70 tahun. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati beliau, dan menempatkan beliau di surga-Nya yang luas.


Sumber: Majalah Qudwah edisi 7 vol. 1 1434H/2013M, rubrik Biografi. Pemateri: Ustadz Abu Hamid Fauzi bin Isnaini.

Shahih Muslim hadits nomor 287

١٠٣ – (٢٨٧) – حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ رُمۡحِ بۡنِ الۡمُهَاجِرِ: أَخۡبَرَنَا اللَّيۡثُ، عَنِ ابۡنِ شِهَابٍ، عَنۡ عُبَيۡدِ اللهِ بۡنِ عَبۡدِ اللهِ، عَنۡ أُمِّ قَيۡسٍ بِنۡتِ مِحۡصَنٍ: أَنَّهَا أَتَتۡ رَسُولَ اللهِ ﷺ بِابۡنٍ لَهَا لَمۡ يَأۡكُلِ الطَّعَامَ، فَوَضَعَتۡهُ فِي حِجۡرِهِ فَبَالَ. قَالَ: فَلَمۡ يَزِدۡ عَلَى أَنۡ نَضَحَ بِالۡمَاءِ.
[البخاري: كتاب الوضوء، باب بول الصبيان، رقم: ٢٢٣].
103. (287). Muhammad bin Rumh bin Al-Muhajir telah menceritakan kepada kami: Al-Laits mengabarkan kepada kami, dari Ibnu Syihab, dari 'Ubaidullah bin 'Abdullah, dari Ummu Qais binti Mihshan: Bahwa beliau datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membawa anak laki-lakinya yang masih belum makan makanan. Ummu Qais meletakkannya di pangkuan beliau, kemudian anak itu kencing. Dia berkata: Maka beliau hanya memerciki dengan air.
(…) - وَحَدَّثَنَاهُ يَحۡيَىٰ بۡنُ يَحۡيَىٰ وَأَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ وَعَمۡرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيۡرُ بۡنُ حَرۡبٍ. جَمِيعًا عَنِ ابۡنِ عُيَيۡنَةَ، عَنِ الزُّهۡرِيِّ، بِهَٰذَا الۡإِسۡنَادِ. وَقَالَ: فَدَعَا بِمَاءٍ فَرَشَّهُ.
Yahya bin Yahya, Abu Bakr bin Abu Syaibah, 'Amr An-Naqid, dan Zuhair bin Harb telah menceritakan hadits ini kepada kami. Semuanya dari Ibnu 'Uyainah, dari Az-Zuhri, dengan sanad ini. Beliau mengatakan: Maka beliau meminta dibawakan air lalu beliau memercikkannya.
١٠٤ - (…) - وَحَدَّثَنِيهِ حَرۡمَلَةُ بۡنُ يَحۡيَىٰ: أَخۡبَرَنَا ابۡنُ وَهۡبٍ: أَخۡبَرَنِي يُونُسُ بۡنُ يَزِيدَ: أَنَّ ابۡنَ شِهَابٍ أَخۡبَرَهُ قَالَ: أَخۡبَرَنِي عُبَيۡدُ اللهِ بۡنُ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عُتۡبَةَ بۡنِ مَسۡعُودٍ: أَنَّ أُمَّ قَيۡسٍ بِنۡتَ مِحۡصَنٍ، وَكَانَتۡ مِنَ الۡمُهَاجِرَاتِ الۡأَوَّلِ اللَّاتِي بَايَعۡنَ رَسُولَ اللهِ ﷺ، وَهِيَ أُخۡتُ عُكَّاشَةَ بۡنِ مِحۡصَنٍ أَحَدُ بَنِي أَسَدِ بۡنِ خُزَيۡمَةَ، قَالَ: أَخۡبَرَتۡنِي أَنَّهَا أَتَتۡ رَسُولَ اللهِ ﷺ بِابۡنٍ لَهَا لَمۡ يَبۡلُغۡ أَنۡ يَأۡكُلَ الطَّعَامَ. قَالَ عُبَيۡدُ اللهِ: أَخۡبَرَتۡنِي؛ أَنَّ ابۡنَهَا ذَاكَ بَالَ فِي حِجۡرِ رَسُولِ اللهِ ﷺ، فَدَعَا رَسُولُ اللهِ ﷺ بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ عَلَى ثَوۡبِهِ، وَلَمۡ يَغۡسِلۡهُ غَسۡلًا.
104. Harmalah bin Yahya telah menceritakan hadits ini kepadaku: Ibnu Wahb mengabarkan kepada kami: Yunus bin Yazid mengabarkan kepadaku: Bahwa Ibnu Syihab mengabarkan kepadanya, beliau berkata: 'Ubaidullah bin 'Abdullah bin 'Utbah bin Mas'ud mengabarkan kepadaku: Bahwa Ummu Qais bintu Mihshan -beliau termasuk wanita yang melakukan hijrah yang pertama yang telah membaiat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau adalah saudara perempuan 'Ukkasyah bin Mihshan salah seorang putra Bani Asad bin Khuzaimah-. Beliau berkata: Ummu Qais mengabarkan kepadaku bahwa dia datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membawa putranya yang umurnya belum sampai untuk memakan makanan. 'Ubaidullah berkata: Ummu Qais mengabarkan kepadaku bahwa putranya itu kencing di pangkuan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meminta untuk dibawakan air, lalu beliau percikkan ke baju beliau dan tidak mencucinya sama sekali.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 223

٢٢٣ – حَدَّثَنَا عَبۡدُ اللهِ بۡنُ يُوسُفَ قَالَ: أَخۡبَرَنَا مَالِكٌ، عَنِ ابۡنِ شِهَابٍ، عَنۡ عُبَيۡدِ اللهِ بۡنِ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عُتۡبَةَ، عَنۡ أُمِّ قَيۡسٍ بِنۡتِ مِحۡصَنٍ: أَنَّهَا أَتَتۡ بِابۡنٍ لَهَا صَغِيرٍ، لَمۡ يَأۡكُلِ الطَّعَامَ، إِلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ، فَأَجۡلَسَهُ رَسُولُ اللهِ ﷺ فِي حِجۡرِهِ، فَبَالَ عَلَى ثَوۡبِهِ، فَدَعَا بِمَاءٍ، فَنَضَحَهُ وَلَمۡ يَغۡسِلۡهُ. [الحديث ٢٢٣ – طرفه في: ٥٦٩٣].
223. 'Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Malik mengabarkan kepada kami, dari Ibnu Syihab, dari 'Ubaidullah bin 'Abdullah bin 'Utbah, dari Ummu Qais binti Mihshan: Bahwa dia datang membawa anaknya yang masih kecil yang belum memakan makanan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendudukkannya di atas pangkuannya. Tiba-tiba anak itu kencing di baju beliau. Maka beliau meminta air kemudian beliau percikkan ke baju beliau dan tidak mencucinya.

Sunan An-Nasa`i hadits nomor 4197

٣١ – النَّصِيحَةُ لِلۡإِمَامِ

31. Nasihat untuk pemimpin

٤١٩٧ – (صحيح) أَخۡبَرَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ مَنۡصُورٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ، قَالَ: سَأَلۡتُ سُهَيۡلَ بۡنَ أَبِي صَالِحٍ، قُلۡتُ: حَدَّثَنَا عَمۡرٌو عَنِ الۡقَعۡقَاعِ، عَنۡ أَبِيكَ، قَالَ: أَنَا سَمِعۡتُهُ مِنَ الَّذِي حَدَّثَ أَبِي، حَدَّثَهُ رَجُلٌ مِنۡ أَهۡلِ الشَّامِ يُقَالُ لَهُ عَطَاءُ بۡنُ يَزِيدَ، عَنۡ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (إِنَّمَا الدِّينُ النَّصِيحَةُ)، قَالُوا: لِمَنۡ يَا رَسُولَ اللهِ؟! قَالَ: (لِلهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُولِهِ، وَلِأَئِمَّةِ الۡمُسۡلِمِينَ، وَعَامَّتِهِمۡ). [(غاية المرام)(٣٣٢)، (إرواء الغليل)(٢٦)، م].
4197. Muhammad bin Manshur telah mengabarkan kepada kami, beliau berkata: Sufyan menceritakan kepada kami, beliau berkata: Aku bertanya kepada Suhail bin Abu Shalih. Aku katakan: 'Amr menceritakan kepada kami dari Al-Qa'qa' dari ayahmu. Maka dia berkata: Aku mendengarnya dari orang yang menceritakan kepada ayahku. Seseorang dari penduduk Syam menceritakan kepadanya, orang itu dipanggil dengan nama 'Atha` bin Yazid. Dari Tamim Ad-Dari, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Hanyalah agama itu adalah nasihat.” Para shahabat bertanya: Untuk siapa, wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitabNya, RasulNya, pemimpin kaum muslimin, dan orang awamnya.”

Sunan Ad Darimi

Sebelum kita mengenal kitab Sunan Ad Darimi maka alangkah bagusnya kita mengenal sedikit biografi penulisnya. Penulis kitab ini adalah Al Imam Al Hafizh Syaikhul Islam Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman bin Al Fadhl bin Bahram bin Abdush Shamad At Tamimi Ad Darimi Samarqandi.

Beliau dilahirkan pada tahun 181 H, bertepatan pada tahun wafatnya Abdullah bin Mubarak. Beliau wafat pada tahun 255 H, tepatnya pada tanggal delapan bulan Dzulhijjah. Beliau dimakamkan pada hari Arafah, bertepatan dengan hari Jumat, dalam usia 74 tahun.

Pada saat wafat beliau, dikabarkan berita duka ini kepada Al Imam Al Bukhari Muhammad bin Ismail, penyusun kitab Shahih Al-Bukhari. Maka, beliau menundukkan lalu mengangkat kepalanya. Beliau membaca istrija’ (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) kemudian mulai menetes air matanya hingga membasahi kedua pipi beliau. Sebuah keadaan yang menunjukkan kedudukan beliau di sisi Al Imam Al Bukhari.

Nama Ad Darimi merupakan penisbahan kepada Darim bin Malik, salah seorang keturunan kabilah At Tamimi.

Pujian para ulama terhadap beliau amatlah banyak. Kami sebutkan beberapa darinya:
  1. Imam Ahmad rahimahullah menuturkan, “(Ad Darimi) adalah seorang imam.” Berkali-kali beliau mengatakan, “Kalian harus (belajar) dengan imam Abdullah bin Abdirrahman.”
  2. Muhammad bin Abdillah bin Numair rahimahullah mengatakan, “Ad Darimi mengalahkan kami dalam hal hafalan dan wara’.”
  3. Berkata Abu Hatim Ar Razi rahimahullah, “Muhammad bin Ismail adalah orang yang paling berilmu di Irak. Muhammad bin Yahya adalah orang yang paling berilmu di Khurasan pada hari ini. Muhammad bin Aslam adalah orang yang paling wara’ di antara mereka. Abdullah bin Abdirrahman yang paling kuat di antara mereka.”
  4. Muhammad bin Basysyar Bundar memasukkannya sebagai ulama yang memiliki hafalan yang kuat di dunia ini.

MURID-MURID BELIAU


Begitu banyak tokoh-tokoh yang menimba ilmu kepada beliau. Di antaranya, Imam Muslim bin Hajjaj (penyusun Shahih Muslim), Al Imam Al Bukhari pada selain riwayat beliau dalam kitab Shahihnya, Al Imam Abu Dawud, Al Imam Abu ‘Isa At-Tirmidzi, Al Hasan bin Ash Shabbah Al Bazzar, Muhammad bin Basysyar (Bundar), Muhammad bin Yahya, Baqi bin Makhlad, Abu Zur’ah, Abu Hatim, Abdullah bin Ahmad bin Hambal, Ja’far bin Muhammad al Firyabi, dan ulama yang lainnya.

SUNAN AD DARIMI


Sunan Ad-Darimi adalah sebuah kitab klasik yang merupakan kitab induk. Kitab ini juga dikenal dengan kitab Musnad Ad Darimi.

Sebenarnya penyebutan dengan nama Musnad Ad Darimi kurang tepat. Sebab, kitab musnad adalah kitab hadits yang diurutkan sesuai dengan urutan nama shahabat. Sedangkan kitab sunan adalah kitab yang disusun sesuai dengan urutan bab-bab fikih, mulai dari bab iman, bersuci, shalat, zakat dan seterusnya. Padahal, kitab Ad Darimi disusun berdasarkan urutan bab-bab fikih. Sehingga, kitab Ad-Darimi ini lebih tepat diberi nama Sunan Ad-Darimi.

Al Imam As Suyuthi rahimahullah mengatakan, “Musnad Ad Darimi bukanlah musnad dan kitab ini tersusun berurutan mengacu sesuai dengan bab-babnya.”

Sebagian orang ada yang menyebutkan bahwa kitab Sunan Ad Darimi adalah kitab shahih. Pernyataan ini tidaklah benar. Di dalam kitab ini yang ternyata ada hadits yang terputus sanadnya, dan hadits dhaif. Bahkan Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan bahwa pada kitab sunan Ad Darimi ada hadits yang palsu, walaupun mayoritasnya hadits shahih. Sehingga tidaklah tepat kalau kitab ini disebut dengan kitab shahih.

Perlu kita ketahui, para ulama menyatakan bahwa kitab induk hadits yang tertinggi ada enam. Mereka menyebutnya dengan Kutubus Sittah, kitab induk yang enam. Kitab tersebut adalah Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasa`i, dan Sunan Ibnu Majah.

Sebagian ulama mengatakan, “Sepantasnya Sunan Ad Darimi menjadi kitab yang keenam menggeser kedudukan kitab Sunan Ibnu Majah.” Mereka beralasan bahwa kitab Sunan Ad Darimi para perawi yang lemah lebih sedikit daripada perawi lemah yang ada pada kitab Sunan Ibnu Majah. Juga sangat jarang didapati di dalam Sunan Ad Darimi hadits munkar (hadits seorang yang lemah menyelisihi orang yang kuat hafalannya) dan hadits syadz (hadits dari seorang perawi yang kuat hafalannya, namun menyelisihi seorang yang lebih kuat hafalannya). Walaupun di dalam Sunan Ad Darimi didapati hadits mauquf1 dan mursal2, akan tetapi Sunan Ad Darimi tetap lebih utama.

Fadhl bin Thahir rahimahullah merupakan yang pertama kali memosisikan Sunan Ad Darimi pada posisi keenam. Kemudian pernyataan beliau ini diikuti banyak orang. Al Hafizh Ibnu Hajar juga menyatakan bahwa tidak hanya satu orang yang menjadikan Muwatha’ karya Imam Malik atau Sunan Ad Darimi pada posisi keenam.

Dan Al ‘Ala-i mengatakan tentang kedudukan Sunan Ad Darimi, “Sebagian ulama mengatakan kitab Ad Darimi lebih tepat dan lebih pantas untuk dijadikan kitab yang keenam untuk kitab-kitab (induk) dikarenakan para perawinya lebih sedikit yang lemah. Keberadaan hadits-hadits syadz dan munkar jarang padanya, sanad-sanadnya tinggi dan tsulatsiyat-nya (rantai periwayatan dengan jumlah perawi tiga orang sampai kepada Nabi, red.) lebih banyak dari pada tsulatsiyat-nya Al Bukhari.”

Adapun kandungan kitab Sunan Ad Darimi, seperti kitab-kitab sunan yang lain, terdiri dari beberapa kitab dan pada setiap kitab ada beberapa bab. Kitab yang dimaksud di sini adalah kumpulan bab-bab dalam satu pembahasan. Sunan AdDarimi terbagi menjadi 23 kitab.

Seperti pula pada kitab-kitab lainnya, kitab ini didahului dengan mukadimah dari pengarang. Jilid pertama kitab ini berisi mukadimah penulis dan kitab bersuci dengan bab-babnya yang banyak.

Kemudian pada jilid yang kedua, berisi dengan 9 kitab yaitu kitab ash shalat, kitab az zakat, kitabus shiyam (puasa), kitabul manasik (haji), kitabul adhahi (sembelihan), kitabus shaid (buruan), kitabul ath’imah (makanan), kitabul asyribah (minuman), kitabur ru’ya (mimpi).

Pada jilid yang ketiga mencakup 10 kitab yaitu kitabun nikah, kitabuth thalaq, kitabul hudud, kitabun nudzur wal aiman (nadzar dan sumpah), kitabud diyat (diyat pembunuhan), kitabul jihad, kitabus siyar (sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), kitabul buyu’ (jual beli), kitabul isti’dzan (izin), kitabur riqaq (perbudakan).

Adapun jilid keempat terdiri dari 3 kitab, kitabul faraidh (warisan), kitabul washaya (wasiat), dan ditutup dengan kitabul Qur’an.

Demikian sedikit pengenalan kita terhadap kitab Sunan Ad Darimi. Wallahu a’lam bish shawab.


1) Hadits mauquf adalah ucapan dan perbuatan yang disandarkan kepada shahabat.
2) Hadits mursal adalah hadits yang rantai periwayatannya terputus karena seorang tabi’in langsung menyandarkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menyebutkan perantara shahabat.

Sumber: Majalah Qudwah edisi 15 vol. 2 1435 H/ 2014 M, rubrik Maktabah. Pemateri: Ustadz Abu Abdirrahman Huda.

Syarh Al-Ushulus Sittah - Pendahuluan

الۡحَمۡدُ لِلهِ رَبِّ الۡعَالَمِينَ، وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحۡبِهِ أَجۡمَعِينَ.
قَالَ الشَّيۡخُ مُحَمَّدُ بۡنُ عَبۡدِ الۡوَهَّابِ –إِمَامُ الدَّعۡوَةِ الۡإِسۡلَامِيَّةِ، وَحَامِي حِمَى الۡمِلَّةِ الۡحَنِيفِيَّةِ-:
Segala puji bagi Allah Rabb alam semesta. Shalawat, salam, dan keberkahan semoga Allah curahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para shahabat beliau seluruhnya.
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab –imam dakwah Islam dan penjaga ajaran tauhid- berkata:
مِنۡ أَعۡجَبِ الۡعُجَابِ، وَأَكۡبَرِ الۡآيَاتِ الدَّالَّةِ عَلَى قُدۡرَةِ الۡمَلِكِ الۡغَلَّابِ سِتَّةُ أٌصُولٍ بَيَّنَهَا اللهُ تَعَالَى بَيَانًا وَاضِحًا لِلۡعَوَّامِ فَوۡقَ مَا يَظُنُّ الظَّانُّونَ، ثُمَّ بَعۡدَ ذٰلِكَ غَلِطَ فِيهَا كَثِيرٌ مِنَ أَذۡكِيَاءِ الۡعَالِمِ وَعُقَلَاءِ بَنِي آدَمَ إِلَّا أَقَلُّ الۡقَلِيلِ.
Termasuk perkara yang paling menakjubkan dan ayat-ayat yang paling besar yang menunjukkan kekuasaan Allah adalah enam pondasi. Allah ta’ala telah menjelaskannya dengan sangat jelas bagi orang awam, melebihi persangkaan banyak orang. Akan tetapi, banyak yang keliru di dalam masalah ini dari kalangan orang-orang yang cerdas dan berakal kecuali sedikit sekali. 

﷽ 
الۡحَمۡدُ لِلهِ رَبِّ الۡعَالَمِينَ، وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحۡبِهِ أَجۡمَعِينَ. 
لَا شَكَّ أَنَ اللهَ سُبۡحَانَهُ أَنۡزَلَ الۡقُرۡآنَ تِبۡيَانًا لِكُلِّ شَيۡءٍ، وَأَنَّ الرَّسُولَ ﷺ بَيَّنَ هٰذَا الۡقُرۡآنَ بَيَانًا شَافِيًا، وَأَعۡظَمُ مَا بَيَّنَهُ اللهُ وَرَسُولُهُ فِي هٰذَا الۡقُرۡآنِ قَضِيَّةُ التَّوۡحِيدِ وَالشِّرۡكِ؛ لِأَنَّ التَّوۡحِيدَ هُوَ أَصۡلُ الۡإِسۡلَامِ وَأَصۡلُ الدِّينِ، وَهُوَ الَّذِي تُبۡنَى عَلَيۡهِ جَمِيعُ الۡأَعۡمَالِ، وَالشِّرۡكُ يُبۡطِلُ هٰذَا الۡأَصۡلَ، وَيُفۡسِدُهُ وَلَا يَكُونُ لَهُ وُجُودٌ؛ لِأَنَّهُمَا أَمۡرَانِ مُتَضَادَّانِ وَمُتَنَاقِضَانِ لَا يَجۡتَمِعَانِ أَبَدًا، فَلِذٰلِكَ اللهُ سُبۡحَانَهُ بَيَّنَ هٰذَا الۡأَصۡلَ فِي كِتَابِهِ فِي جَمِيعِ الۡقُرۡآنِ، فَلَا تَكَادُ تَخۡلُو سُورَةٌ مِنۡ ذِكۡرِ التَّوۡحِيدِ وَذِكۡرِ الشِّرۡكِ، وَالنَّاسُ يَقۡرَؤُونَ هٰذَا الۡقُرۡآنَ وَيُرَدِّدُونَهُ. 
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah berkata: Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji bagi Allah Rabb alam semesta. Shalawat, salam, dan keberkahan semoga Allah limpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan shahabat beliau seluruhnya. 
Tidak diragukan bahwa Allah subhanahu telah menurunkan Al-Qur`an untuk menjelaskan segala sesuatu. Dan tidak diragukan bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan Al-Qur`an ini dengan penjelasan yang memuaskan. Perkara yang paling agung yang telah Allah dan RasulNya jelaskan di dalam Al-Qur`an ini adalah perkara tauhid dan syirik. Karena tauhid merupakan pondasi Islam dan pondasi agama. Di atas tauhid ini dibangun seluruh amal ibadah. Adapun syirik akan membatalkan pondasi ini, merusaknya, hingga menghilangkannya. Hal ini karena dua perkara ini saling berlawanan dan saling membatalkan. Keduanya tidak akan berkumpul selamanya. Atas hal ini, Allah subhanahu menjelaskan pondasi ini di dalam kitabNya, bahkan di dalam Al-Qur`an semuanya. Sehingga hampir-hampir tidak ada satu surat pun yang luput dari penyebutan tauhid dan syirik. Dan manusia pun membaca Al-Qur`an ini dan mengulang-ulanginya. 
وَلٰكِنۡ قَلَّ مَنۡ يَتَنَبَّهُ لِهٰذَا الۡبَيَانِ، وَلِذٰلِكَ تَجِدُ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ يَقۡرَءُونَ الۡقُرۡآنَ وَيَقَعُونَ فِي الشِّرۡكِ وَيُخِلُّونَ بِالتَّوۡحِيدِ، مَعَ أَنَّ هٰذَا الۡأَمۡرَ وَاضِحٌ فِي كِتَابِ اللهِ وَفِي سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ ﷺ؛ لِأَنَّهُمۡ يَمۡشُونَ عَلَى الۡعَوَائِدِ وَمَا وَجَدُوا عَلَيۡهِ آبَاءَهُمۡ وَمَشَايِخَهُمۡ، فَالۡأَصۡلُ عِنۡدَهُمۡ مَا وَجَدُوا عَلَيۡهِ آبَاءَهُمۡ وَمَشَايِخَهُمۡ وَأَهۡلَ بَلَدِهِمۡ، وَلَا يُفَكِّرُونَ فِي يَوۡمٍ مِنَ الۡأَيَّامِ أَنۡ يَتَأَمَّلُوا وَيَتَدَبَّرُوا الۡقُرۡآنَ، وَيَعۡرِضُوا عَلَيۡهِ مَا كَانَ عَلَيۡهِ النَّاسُ، هَلۡ هُوَ صَحِيحٌ أَوۡ غَيۡرُ صَحِيحٍ؟ 
Akan tetapi sedikit orang yang memperhatikan penjelasan ini, sehingga engkau akan mendapati banyak manusia yang membaca Al-Qur`an namun bersamaan itu juga terjatuh di dalam kesyirikan dan meremehkan tauhid. Padahal perkara tauhid dan syirik ini adalah perkara yang jelas di dalam Kitab Allah dan di dalam Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini dikarenakan mereka berjalan di atas adat kebiasaan dan apa yang mereka dapati dari ayah-ayah mereka dan tokoh-tokoh mereka. Sehingga yang menjadi patokan menurut mereka adalah apa yang mereka dapati bapak-bapak, tokoh-tokoh, dan penduduk negeri mereka. Mereka tidak berfikir walau sebentar untuk merenungi dan mentadaburi Al-Qur`an, kemudian mereka bandingkan dengan perilaku hidup manusia, apakah yang mereka lakukan itu benar atau tidak. 
بَلۡ أَخَذَهُمُ التَّقۡلِيدُ الۡأَعۡمَى لِآبَائِهِمۡ وَأَجۡدَادِهِمۡ، وَاعۡتَبَرُوا أَنَّ الۡقُرۡآنَ إِنَّمَا يُقۡرَأُ لِلۡبَرَكَةِ وَحُصُولِ الۡأَجۡرِ بِالتِّلَاوَةِ، وَلَيۡسَ الۡمَقۡصُودُ أَنَّهُ يُقۡرَأُ لِلتَّدَبُّرِ وَالۡعَمَلِ بِمَا فِيهِ. 
قَلَّ مِنَ النَّاسِ مَنۡ يَقۡرَأُ الۡقُرۡآنَ لِهٰذَا الۡغَرَضِ، إِنَّمَا يَقۡرَءُونَ لِلتَّبَرُّكِ بِهِ أَوِ التَّلَذُّذِ بِصَوۡتِ الۡقَارِئِ، وَالتَّرَنُّمِ بِهِ، أَوۡ لِقِرَاءَتِهِ عَلَى الۡمَرۡضَى لِلۡعِلَاجِ. 
Namun, taqlid buta kepada bapak-bapak dan kakek-kakek mereka telah mencengkeram mereka. Bahkan mereka hanya menganggap Al-Qur`an itu dibaca untuk mendapatkan berkah dan untuk meraih pahala ketika dibaca. Dan tidak dimaksudkan dibaca untuk tadabur dan beramal dengan apa yang terdapat di dalamnya. 
Sedikit manusia yang membaca Al-Qur`an untuk tujuan ini. Mereka membaca hanya untuk mencari berkah, menikmati suara qari`, mendendangkannya, atau membacakan kepada orang yang sakit dengan tujuan pengobatan. 
أَمَّا أَنۡ يُقۡرَأُ لِلۡعَمَلِ بِهِ وَالتَّدَبُّرِ وَالصُّدُورِ عَمَّا فِيهِ، وَعَرۡضِ مَا عَلَيۡهِ النَّاسُ عَلَى هٰذَا الۡقُرۡآنِ، فَهٰذَا لَا يُوجَدُ إِلَّا فِي قَلِيلٍ مِنَ النَّاسِ، لَا نَقُولُ: إِنَّهُ مَعۡدُومٌ، لَكِنَّهُ فِي أَقَلِّ الۡقَلِيلِ، وَلِذٰلِكَ تَجِدُ الۡقُرۡآنَ فِي وَادٍ، وَأَعۡمَالَ بَعۡضِ النَّاسِ فِي وَادٍ آخَرَ لَا يُفَكِّرُونَ فِي التَّغۡيِيرِ أَبَدًا، وَلَوۡ حَاوَلَ مُجَدِّدٌ أَوۡ دَاعٍ إِلَى اللهِ أَنۡ يُغَيِّرَ مَا هُمۡ عَلَيۡهِ، لَقَامُوا فِي وَجۡهِهِ وَاتَّهَمُوهُ بِالضَّلَالِ، وَاتَّهَمُوهُ بِالۡخُرُوجِ عَلَى الدِّينِ وَأَنَّهُ أَتَى بِدِينٍ جَدِيدٍ وَأَنَّهُ وَأَنَّهُ... 
Adapun Al-Qur`an itu dibaca untuk diamalkan, ditadaburi, diterapkan, dan dibandingkan dengan apa yang dijalani oleh manusia, maka ini tidak didapati kecuali pada sekelompok kecil manusia. Kita tidak mengatakan tidak ada sama sekali, akan tetapi sangat sedikit. Oleh karena itu, engkau dapati Al-Qur`an berada di sebuah lembah sedangkan amalan sebagian manusia berada di lembah yang lain. Mereka tidak berfikir untuk membuat perubahan sama sekali. Sekiranya ada seorang mujaddid atau da’i yang mengajak kepada Allah mencoba untuk mengubah kebiasaan mereka, niscaya mereka akan berdiri di hadapannya lalu menuduhnya dengan kesesatan. Mereka menuduhnya bahwa ia telah keluar dari agama atau ia membawa agama baru dan tuduhan-tuduhan lainnya. 
كَمَا حَصَلَ لِهٰذِهِ الشَّيۡخِ نَفۡسِهِ لَمَّا حَاوَلَ رَحِمَهُ اللهُ أَنۡ يَرُدَّ النَّاسَ إِلَى الۡقُرۡآنِ وَمَا دَلَّ عَلَيۡهِ الۡقُرۡآنُ، وَيُغَيِّرُ مَا هُمۡ عَلَيۡهِ مِنَ الۡعَادَاتِ وَالتَّقَالِيدِ الۡبَاطِلَةِ، ثَارُوا فِي وَجۡهِهِ وَبَدَّعُوهُ وَفَسَّقُوهُ، بَلۡ وَكَفَّرُوهُ وَاتَّهَمُوهُ بِاتِّهَامَاتٍ، لٰكِنۡ فِي الۡحَقِيقَةِ هٰذَا لَا يَضُرُّ وَلَيۡسَ بِغَرِيبٍ، فَإِنَّ الۡأَنۡبِيَاءَ قِيلَ فِيهِمۡ مَا هُوَ أَشَدُّ مِنۡ ذٰلِكَ، لَمَّا أَرَادُوا أَنۡ يُغَيِّرُوا مَا عَلَيۡهِ الۡأُمَمُ مِنۡ عِبَادَةِ غَيۡرِ اللهِ قِيلَ فِي حَقِّ الۡأَنۡبِيَاءِ مَا قِيلَ، فَكَيۡفَ بِالدُّعَاةِ وَالۡعُلَمَاءِ؟! فَلَا غَرَابَةَ فِي هٰذَا، وَهٰذَا لَا يُنۡقِصُ مِنۡ أَجۡلِ الۡعَالِمِ وَالدَّاعِيَةِ، بَلۡ هٰذَا يَزِيدُ فِي حَسَنَاتِهِ عِنۡدَ اللهِ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى. 
Sebagaimana hal ini terjadi pada Syaikh sendiri. Tatkala beliau mencoba untuk mengembalikan manusia kepada Al-Qur`an dan petunjuk yang terdapat di dalamnya dan beliau mengubah kebiasaan mereka yang berupa adat dan taklid yang rusak, maka mereka marah kepada beliau, membid’ahkan beliau, dan menuduh beliau sebagai orang yang fasiq. Bahkan mereka mengkafirkannya dan menuduh beliau dengan berbagai tuduhan. Namun, pada hakikatnya hal ini tidak bermudharat dan bukan hal yang aneh. Karena para nabi telah dituduh dengan tuduhan yang lebih parah daripada itu. Ketika mereka ingin mengubah kebiasaan umat-umat terdahulu berupa ibadah kepada selain Allah, maka mereka pun dituduh berbagai tuduhan. Padahal mereka adalah para nabi, lalu bagaimana dengan para da’i dan ulama?! Maka ini tidak aneh lagi. Dan ini tidak merendahkan kehormatan para ulama dan da’i. Bahkan ini menambah kebaikan-kebaikan mereka di sisi Allah subhanahu wa ta’ala
وَإِنَّمَا يُرۡجَعُ بِالنَّقۡصِ عَلَى مَنۡ قَالَهُ وَمَنۡ تَفَوَّهَ بِهِ وَكَتَبَهُ، فَإِنَّ هٰذِهِ يَرۡجِعُ عَلَيۡهِ، أَمَّا الۡعُلَمَاءُ الۡمُخۡلِصُونَ وَالدُّعَاةُ إِلَى اللهِ، فَلَا يَضُرُّهُمۡ مَا قِيلَ فِيهِمۡ بَلۡ يُزِيدُ فِي دَرَجَاتِهِمۡ وَحَسَنَاتِهِمۡ، وَلَهُمۡ قُدۡوَةٌ بِالۡأَنۡبِيَاءِ وَمَا قِيلَ فِي حَقِّهِمۡ وَمَا اتُّهَمُوا بِهِ، وَاللهُ تَعَالَى يَقُولُ لِنَبِيِّهِ: ﴿مَّا يُقَالُ لَكَ إِلَّا مَا قَدۡ قِيلَ لِلرُّسُلِ مِنۡ قَبۡلِكَ إِنَّ رَبَّكَ لَذُو مَغۡفِرَةٍ وَذُو عِقَابٍ أَلِيمٍ ۝٤٣﴾ [فصلت: ٤٣]. 
Bahkan kerendahan itu kembali kepada yang mengucapkannya, yang membicarakannya, dan yang menulisnya. Sungguh ini akan kembali kepada mereka. Adapun ulama yang ikhlas dan para da’i yang mengajak kepada Allah, maka tuduhan-tuduhan ini tidak memudharatkan mereka, bahkan menambah derajat dan kebaikan mereka. Dan mereka memiliki teladan dari para nabi dan apa yang diucapkan dan dituduhkan kepada mereka. Dan Allah ta’ala berfirman kepada NabiNya, yang artinya, “Tidaklah yang diucapkan kepadamu, kecuali juga telah diucapkan kepada rasul-rasul sebelum engkau. Sesungguhnya RabbMu memiliki ampunan dan memiliki siksa yang pedih.” (QS. Fushshilat: 43). 
فَالشَّيۡخُ رَحِمَهُ اللهُ فِي هٰذِهِ الۡكَلِمَاتِ يُبَيِّنُ شَيۡئًا مِنۡ هٰذَا الۡأَمۡرِ الۡعَجِيبِ: أَنَّ النَّاسَ يَقۡرَءُونَ الۡقُرۡآنَ، وَيُكۡثِرُونَ مِنۡ قِرَاءَتِهِ وَيَخۡتِمُونَهُ وَيَحۡفَظُونَهُ وَيُرَتِّلُونَهُ، وَيَرۡكُزُونَ اهۡتِمَامَهُمۡ بِأَلۡفَاظِ الۡقُرۡآنِ وَتَجۡوِيدِهِ وَأَحۡكَامِ الۡمَدِّ، وَأَحۡكَامِ الۡإِدۡغَامِ، وَالۡغُنَّةِ، وَالۡإِقۡلَابِ، وَالۡإِظۡهَارِ، وَالۡإِخۡفَاءِ، وَيَعۡتَنُونَ بِهٰذَا عِنَايَةً فَائِقَةً، وَهٰذَا شَيۡءٌ طَيِّبٌ. 
وَلٰكِنَّ الۡأَهَمَّ وَالۡمَقۡصُودَ لَيۡسَ هٰذَا، الۡمَقۡصُودُ تَدَبُّرُ الۡمَعَانِي، والتَّفَقُّهُ فِي كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَرۡضُ أَعۡمَالِنَا وَأَعۡمَالِ النَّاسِ عَلَى كِتَابِ اللهِ: هَلۡ هِيَ مُوَافِقَةٌ لِكِتَابِ اللهِ أَوۡ مُخَالِفَةٌ؟ 
هٰذَا هُوَ الۡمَطۡلُوبُ: أَنۡ نُصَحِّحَ أَوۡضَاعَنَا، وَأَنۡ نُنَبِّهَ عَلَى أَخۡطَاءِ النَّاسِ، لَا بِقَصۡدِ التَّشۡهِيرِ وَقَصۡدِ النَّيۡلِ مِنَ النَّاسِ، بَلۡ بِقَصۡدِ الۡإِصۡلَاحِ وَالنَّصِيحَةِ. 
Maka Syaikh rahimahullah di dalam ungkapan ini, beliau menjelaskan perkara yang mengherankan ini, yaitu bahwa manusia itu membaca Al-Qur`an, memperbanyak membacanya, mengkhatamkannya, menghafalkannya, dan membacanya dengan tartil. Mereka memusatkan perhatiannya terhadap lafazh-lafazh Al-Qur`an dan tajwidnya, serta hukum-hukum mad, hukum-hukum idgham, ghunnah, iqlab, izhhar, ikhfa`. Dan mereka mengupayakan dengan upaya yang terbaik. Hal ini adalah perkara yang baik. 
Akan tetapi, maksud yang paling penting bukanlah itu. Akan tetapi maksud dari Al-Qur`an adalah untuk ditadaburi maknanya, memahami kitab Allah ‘azza wa jalla, kemudian membandingkan amalan kita dan amalan manusia kepada Kitab Allah, apakah cocok dengan Kitab Allah atau justru menyelisihinya? 
Inilah yang dituntut. Yaitu agar kita memperbaiki keadaan kita dan waspada dari kesalahan manusia. Bukan karena tujuan ingin menyebarkan aib dan ingin mendapatkan apa yang ada di sisi manusia, namun tujuannya untuk memperbaiki dan menasehati.

Taisirul 'Allam - Hadits Ke-24

الۡحَدِيثُ الرَّابِعُ وَالۡعِشۡرُونَ

٢٤ – عَنۡ عَبَّادِ بۡنِ تَمِيمٍ، عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ زَيۡدِ بۡنِ عَاصِمٍ الۡمَازِنِيِّ قَالَ: شُكِيَ[1] إِلَى النَّبِيِّ ﷺ الرَّجُلُ يُخَيَّلُ إِلَيۡهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيۡءَ فِي الصَّلَاةِ، فَقَالَ: (لَا يَنۡصَرِفُ حَتَّى يَسۡمَعَ صَوۡتًا أَوۡ يَجِدَ رِيحًا)[2]
24. Dari ‘Abbad bin Tamim, dari ‘Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim Al-Mazini, beliau berkata: Seseorang diadukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia dikhayalkan bahwa dia mendapati sesuatu ketika shalat. Maka Nabi bersabda, “Janganlah ia memutus shalatnya sampai ia mendengar suara atau mendapati bau.” 

الۡمَعۡنَى الۡإِجۡمَالِي:

هٰذَا الۡحَدِيثُ – كَمَا ذَكَرَ النَّوَوِيُّ رَحِمَهُ اللهُ – مِنۡ قَوَاعِدِ الۡإِسۡلَامِ الۡعَامَّةِ وَأَصُولِهِ الَّتِي تُبۡنَى عَلَيۡهَا الۡأَحۡكَامُ الۡكَثِيرَةُ الۡجَلِيلَةُ.
وَهِيَ أَنَّ الۡأَصۡلَ بَقَاءُ الۡأَشۡيَاءِ الۡمُتَيَقِّنَةِ عَلَى حُكۡمِهَا، فَلَا يَعۡدِلُ عَنۡهَا لِمُجَرَّدِ الشُّكُوكِ وَالظُّنُونِ، سَوَاءً قَوِيَتۡ الشُّكُوكُ، أَوۡ ضَعُفَتۡ، مَا دَامَتۡ لَمۡ تَصِلۡ إِلَى دَرَجَةِ الۡيَقِينِ، وَأَمۡثِلَةُ ذٰلِكَ كَثِيرَةٌ لَا تَخۡفَى. وَمِنۡهَا هٰذَا الۡحَدِيثُ.
فَمَا دَامَ الۡإِنۡسَانُ مُتَيَقِّنًا لِلطَّهَارَةِ، ثُمَّ شَكَّ فِي الۡحَدَثِ فَالۡأَصۡلُ بَقَاءُ طَهَارَتِهِ، وَبِالۡعَكۡسِ فَمَنۡ تَيَقَّنَ الۡحَدَثَ، وَشَكَّ فِي الطَّهَارَةِ فَالۡأَصۡلُ بَقَاءُ الۡحَدَثِ، وَمِنۡ هٰذَا الثِّيَابُ وَالۡأَمۡكِنَةُ، فَالۡأَصۡلُ فِيهَا الطَّهَارَةُ، إِلَّا بِيَقِينِ نَجَاسَتِهَا.

Makna secara umum:

Hadits ini –sebagaimana yang An-Nawawi rahimahullah sebutkan- termasuk kaidah-kaidah Islam yang umum dan pokok, yang banyak hukum-hukum yang agung dibangun di atas kaidah ini. Yaitu bahwa hukum asal adalah tetapnya sesuatu yang diyakini di atas hukumnya dan tidak bisa berpindah hukumnya disebabkan semata-mata keraguan dan prasangka. Sama saja, baik keraguan itu kuat atau lemah, selama tidak sampai kepada derajat yakin. Contoh dari penerapan kaidah ini banyak. Di antaranya adalah hadits ini. Sehingga, jika selama orang itu yakin pada kesuciannya, kemudian dia ragu apakah dia berhadats, maka asal hukumnya dia tetap suci. Kebalikannya, barangsiapa yakin berhadats dan ragu apakah suci, maka asal hukumnya dia tetap berhadats. Termasuk dalam hal ini adalah pakaian-pakaian dan tempat-tempat. Asalnya adalah suci kecuali yakin akan kenajisannya.
وَمِنۡ ذٰلِكَ عَدَدُ الرَّكۡعَاتِ فِي الصَّلَاةِ، فَمَنۡ تَيَقَّنَ ثَلَاثًا مِثۡلًا، وَشَكَّ فِي الرَّابِعَةِ، فَالۡأَصۡلُ عَدَمُهَا.
وَمِنۡ ذٰلِكَ، مَنۡ شَكَّ فِي طَلَاقِ زَوۡجَتِهِ. فَالۡأَصۡلُ بَقَاءُ النِّكَاحِ. وَهٰكَذَا مِنَ الۡمَسَائِلِ الۡكَثِيرَةِ الَّتِي لَا تَخۡفَى.
Termasuk perkara ini pula adalah hitungan rakaat di dalam shalat. Barangsiapa yakin sudah shalat tiga rakaat, misalnya, lalu dia ragu dalam rakaat keempat, maka asal hukumnya adalah rakaat keempat tersebut belum ada.
Termasuk perkara ini, barangsiapa ragu dalam menceraikan istrinya, maka asal hukumnya adalah status pernikahannya tetap berlaku. Demikian pula pada banyak masalah lainnya yang telah diketahui. 

مَا يُؤۡخَذُ مِنَ الۡحَدِيثِ:

١ – الۡقَاعِدَةُ الۡعَامَّةُ وَهِيَ أَنَّ الۡأَصۡلَ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ.
٢ – أَنَّ مُجَرَّدَ الشَّكِّ فِي الۡحَدَثِ، لَا يُبۡطِلُ الۡوُضُوءَ، وَلَا الصَّلَاةَ.
٣ – تَحۡرِيمُ الۡإِنۡصِرَافِ مِنَ الصَّلَاةِ لِغَيۡرِ سَبَبٍ بَيِّنٍ.
٤ – أَنَّ الرِّيحَ الۡخَارِجَةَ مِنَ الدُّبُرِ، بِصَوۡتٍ أَوۡ بِغَيۡرِ صَوۡتٍ، نَاقِضَةٌ لِلۡوُضُوءِ.
٥ – يُرَادُ مِنۡ سِمَاعِ الصَّوۡتِ وَوُجۡدَانِ الرِّيحِ فِي الۡحَدِيثِ، التَّيَقُّنُ مِنۡ ذٰلِكَ. فَلَوۡ كَانَ لَا يَسۡمَعُ وَلَا يَشُمُّ، وَتَيَقَّنَ بِغَيۡرِ هٰذَيۡنِ الطَّرِيقَيۡنِ، انۡتَقَضَ وُضُوؤُهُ.

Faidah hadits ini:

  1. Kaidah umum bahwa asal sesuatu itu tetap pada keadaannya.
  2. Semata-mata ragu dalam berhadats tidak membatalkan wudhu` dan shalat.
  3. Pengharaman memutus shalat tanpa sebab yang jelas.
  4. Bahwa angin yang keluar dari dubur, baik bersuara atau tidak, adalah membatalkan wudhu`.
  5. Yang dimaukan dari didengarnya suara dan diciumnya bau di dalam hadits ini adalah keyakinan terhadap perkara itu. Seandainya seseorang tidak mendengar dan tidak mencium bau namun ia yakin meskipun tanpa dua hal ini, maka batal wudhu`nya.


[1] شُكِيَ: بِضَمِّ الشِّينِ وَكَسۡرِ الۡكَافِ، مَبۡنِيٌّ لِلۡمَجۡهُولِ، وَ(الرَّجُلُ) قَائِمٌ مَقَامَ الۡفَاعِلِ. وَالشَّاكِي هُوَ الرَّاوِي عَبۡدُ اللهِ بۡنُ زَيۡدٍ، كَذَا جَاءَ فِي الصَّحِيحِ. 
[2] رَوَاهُ الۡبُخَارِيُّ رقم (١٣٧) فِي الۡوُضُوءِ، (٢٠٥٦) فِي الۡبُيُوعِ، وَمُسۡلِمٌ (٣٦١) فِي الۡحَيۡضِ، وَأَبُو دَاوُدَ (١٧٦) فِي الطَّهَارَةِ: بَابٌ إِذَا شَكَّ فِي الۡحَدَثِ وَ(٥١٣) بَابٌ لَاوُضُوءَ إِلَّا مِنۡ حَدَثٍ.

Sunan Ibnu Majah hadits nomor 513

٧٤ – بَابٌ لَا وُضُوءَ إِلَّا مِنۡ حَدَثٍ

74. Bab tidak ada wudhu` kecuali dari hadats

٥١٣ – (صحيح) حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ الصَّبَّاحِ، قَالَ: أَنۡبَأَنَا سُفۡيَانُ بۡنُ عُيَيۡنَةَ، عَنِ الزُّهۡرِيِّ، عَنۡ سَعِيدٍ؛ وَعَبَّادِ بۡنِ تَمِيمٍ، عَنۡ عَمِّهِ؛ قَالَ: شُكِيَ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ الرَّجُلُ يَجِدُ الشَّيۡءَ فِي الصَّلَاةِ، فَقَالَ: (لَا، حَتَّى يَجِدَ رِيحًا، أَوۡ يَسۡمَعَ صَوۡتًا). [(الإرواء)(١٠٧)، (تعليقي على ابن خزيمة)(١٠١٨)، (صحيح أبي داود)(١٦٨): ق].
513. Muhammad bin Ash-Shabbah telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Sufyan bin 'Uyainah memberitakan kepada kami, dari Az-Zuhri, dari Sa'id dan 'Abbad bin Tamim, dari pamannya; Beliau berkata: Seseorang dikeluhkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ia merasakan sesuatu di dalam shalatnya. Maka Nabi mengatakan, “Jangan (memutus shalat), sampai ia mencium bau atau mendengar suara.”