Cari Blog Ini

Bagai Menggenggam Bara Api

Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Imam asy Syafi'i, "Wahai Abu Abdillah, manakah yang lebih baik bagi seseorang dibiarkan atau diuji?" Al Imam asy Syafi'i menjawab, "Tidak mungkin seseorang itu dibiarkan hingga ia diuji, sesungguhnya Allah subhanahu wa ta'ala telah menguji Nabi Nuh, Ibrohim, Musa, 'Isa, dan Nabi Muhammad sholawatullah 'alaihim ajma'in. Maka tatkala mereka bersabar, Allah mengokohkan mereka. Tidak boleh seorang pun mengira akan lepas dari kesusahan." Al Allamah Ibnul Qoyyim mengatakan, "Ujian merupakan suatu keharusan yang menimpa manusia dan tidak ada seorang pun yang dapat mengelak darinya, oleh karenanya Allah subhanahu wa ta'ala menyebutkan dalam Al Qur'an tentang keharusannya menguji manusia..." (Madarijus Salikin 2/283). Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,
الٓمٓ ۝١ أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ ۝٢ وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ ۖ فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّـهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَـٰذِبِينَ ۝٣ أَمۡ حَسِبَ ٱلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلسَّيِّـَٔاتِ أَن يَسۡبِقُونَا ۚ سَآءَ مَا يَحۡكُمُونَ
"Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, 'Kami telah beriman' sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. Ataukah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput dari (adzab) Kami? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu." (QS Al Ankabuut: 1-4).
Allah juga berfirman,
وَنَبۡلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلۡخَيۡرِ فِتۡنَةً ۖ وَإِلَيۡنَا تُرۡجَعُونَ
"Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan yang sebenar-benarnya. Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan." (QS Al Anbiyaa`: 35).

Para pembaca -sungguh saat ini kita tengah berada di zaman yang benar-benar menuntut kesabaran, dimana orang-orang yang berpegang teguh dengan agamanya bagaikan orang yang menggenggam bara api, jika dilepas maka akan membakar dirinya dan membahayakannya, namun bila tetap digenggamnya, maka ia membutuhkan kesabaran dan kekokohan yang luar biasa. Bagaimana pula tidak dikatakan demikian, sebab setiap kali nampak orang-orang yang ingin mengamalkan agama beribadah dengan syari'at Allah, akan berdiri ahli bid'ah, para pengekor hawa nafsu, dan orang-orang bodoh yang tidak mengerti agama kecuali dari nenek-nenek moyangnya siap menghadang di hadapannya, melemparkan cercaan, hinaan, tudingan, dan fitnah baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan, benar-benar membuat mayoritas muslim in phobi untuk menjalankan tuntunan agamanya. Betapa banyak para da'i-da'i Islam yang bungkam mulutnya tidak berani untuk berbicara yang haq, karena selalu mendapat tekanan dan intimidasi, terorislah, Islam garis keraslah, serta seabreg tudingan dan pelecehan yang lainnya, hanya da'i-da'i pramuka -yang di sana senang di sini senang, di sana senyum di sini senyum- yang aman-aman saja. Da'i-da'i ini tidak punya andil dalam memerangi ahli bid'ah dan syirik malah ikut berkecimpung dan ikut berperan mendukungnya, seolah-olah dirinya mengatakan, "No problem, take it easy man...!"

Para pembaca -keadaan seperti ini janganlah membuat kita surut langkah untuk tetap beramal dan menampakkan diri sebagai muslim sejati, seorang muslim yang berjenggot bersyukurlah dan tidak perlu merasa khawatir, justru ia harus bangga mendapat nikmat untuk melaksanakan perintah Nabi akan wajibnya memelihara jenggot. Seorang muslimah yang berhijab bersyukurlah dan berbangga dirilah di saat mayoritas para wanita lebih menyukai laknat dan siksa Allah dengan berbusana setengah telanjang bangga menampakkan auratnya yang murahan. Tetaplah kembali berpegang teguh kepada pemahaman salafush sholih muslimin periode pertama di kala banyak orang meninggalkannya, tetaplah konsisten terhadap sunnah di kala tak sedikit orang melupakannya, bersatulah untuk menghancurkan tirani kebid'ahan dan ahlinya, mendobrak belenggu kemusyrikan dan ahlinya, serta membungkam mulut-mulut ulama-ulama su` dan pengekor hawa nafsu. Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tiada seorang Nabi yang diutus sebelumku, melainkan mempunyai sahabat-sahabat yang setia yang mengikuti benar-benar tuntunan ajarannya. Kemudian timbullah di belakang mereka turunan yang hanya banyak bicara dan tidak suka berbuat dan mengerjakan apa-apa yang tidak diperintahkan. Maka siapa yang memerangi mereka dengan tangannya, ia mu`min, dan siapa yang menentang mereka dengan lidahnya, ia mu`min, dan siapa yang membenci mereka dengan hatinya, ia mu`min. Selain dari itu tidak ada lagi iman walau seberat biji sawi." (HR Muslim dalam Kitabul Iman no: 80, Ahmad 1/458-461 dari sahabat Abdullah ibnu Mas'ud). Hendaknya kita mengetahui bahwa sudah menjadi hikmah Allah, mengadakan bagi tiap-tiap Nabi musuh-musuhnya. Allah berfirman,
وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَا لِكُلِّ نَبِىٍّ عَدُوًّا شَيَـٰطِينَ ٱلۡإِنسِ وَٱلۡجِنِّ
"Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin..." (QS Al An'aam: 112).
Allah juga berfirman,
وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَا لِكُلِّ نَبِىٍّ عَدُوًّا مِّنَ ٱلۡمُجۡرِمِينَ ۗ وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا
"Dan seperti itulah telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong." (QS Al Furqan: 31).
Jika seorang da'i menyeru kepada tauhid ia akan mendapatkan di hadapannya da'i-da'i kepada kesyirikan, jika seorang da'i mengajak kepada sunnah, ia akan mendapatkan di hadapannya ahli bid'ah dan pengekor hawa nafsu, jika seorang da'i menuntun ummat mengamalkan agama sesuai syari'at Allah, ia akan mendapatkan di hadapannya ahli syubhat dan ulama-ulama su', jika seorang da'i menjauhkan umat dari kemungkaran dan kemaksiatan, ia akan mendapatkan di hadapannya ahli syahwat, orang-orang fasiq, dan sejenis mereka. Oleh karena itu, segala apa yang menimpa kita kaum muslimin dari berbagai macam intimidasi, eksploitasi, dan semua usaha-usaha Islamophobia adalah ujian tuk meraih janji Allah dan membuktikan keimanan di hadapanNya. Waroqoh bin Naufal pernah berkata kepada Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam, "Tiada seorangpun yang datang membawa seperti apa yang telah engkau bawa melainkan ia akan diuji."

Para pembaca -semoga dirahmati Allah-, segala puji bagi Allah yang telah menjadikan "sabar" sebagai senjata ampuh kaum mu`minin dalam membendung bahaya syahwat, fitnah, dan segala macam ujian; dan yang telah menjadikan yakin sebagai tameng untuk membendung lajunya syubhat. Allah berfirman,
وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَىۡءٍ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٍ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّـٰبِرِينَ
"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS Al Baqoroh: 155).
وَلَنَبۡلُوَنَّكُمۡ حَتَّىٰ نَعۡلَمَ ٱلۡمُجَـٰهِدِينَ مِنكُمۡ وَٱلصَّـٰبِرِينَ
"Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu..." (QS Muhammad: 31).
وَٱنۡهَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَٱصۡبِرۡ عَلَىٰ مَآ أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنۡ عَزۡمِ ٱلۡأُمُورِ
"Cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)." (QS Luqman: 17).
Dan Allah berfirman,
قُلۡ يَـٰعِبَادِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمۡ ۚ لِلَّذِينَ أَحۡسَنُوا۟ فِى هَـٰذِهِ ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرۡضُ ٱللَّـهِ وَٰسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّـٰبِرُونَ أَجۡرَهُم بِغَيۡرِ حِسَابٍ
"Katakanlah: 'Hai hamba-hambaku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu.' Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." (QS Az Zumar: 10).
Dan Allah juga berfirman,
فَٱصۡبِرۡ إِنَّ وَعۡدَ ٱللَّـهِ حَقٌّ ۖ وَلَا يَسۡتَخِفَّنَّكَ ٱلَّذِينَ لَا يُوقِنُونَ
"Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu. (QS Ar Ruum: 60).
Tidak ada lagi yang patut dikhawatirkan bagi para pengemban al haq, walau bagai menggenggam bara api, kesabaran dan keyakinannya yang akan menghantarkan pada kedudukan yang tinggi menggapai janji dan karunia Allah. Allah berfirman,
يَـٰعِبَادِ لَا خَوۡفٌ عَلَيۡكُمُ ٱلۡيَوۡمَ وَلَآ أَنتُمۡ تَحۡزَنُونَ ۝٦٨ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ بِـَٔايَـٰتِنَا وَكَانُوا۟ مُسۡلِمِينَ ۝٦٩ ٱدۡخُلُوا۟ ٱلۡجَنَّةَ أَنتُمۡ وَأَزۡوَٰجُكُمۡ تُحۡبَرُونَ ۝٧٠ يُطَافُ عَلَيۡهِم بِصِحَافٍ مِّن ذَهَبٍ وَأَكۡوَابٍ ۖ وَفِيهَا مَا تَشۡتَهِيهِ ٱلۡأَنفُسُ وَتَلَذُّ ٱلۡأَعۡيُنُ ۖ وَأَنتُمۡ فِيهَا خَـٰلِدُونَ ۝٧١ وَتِلۡكَ ٱلۡجَنَّةُ ٱلَّتِىٓ أُورِثۡتُمُوهَا بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ ۝٧٢ لَكُمۡ فِيهَا فَـٰكِهَةٌ كَثِيرَةٌ مِّنۡهَا تَأۡكُلُونَ
"Hai hamba-hambaku, tiada kekhawatiran terhadapmu pada hari ini dan tidak pula kamu bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami dan adalah mereka dahulu orang-orang yang berserah diri. Masuklah kamu ke dalam surga, kamu dan istri-istri kamu digembirakan. Diedarkan kepada mereka piring-piring dari emas dan piala-piala dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kamu kekal di dalamnya. Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan. Di dalam surga itu ada buah-buahan yang banyak untukmu yang sebahagiannya kamu makan." (QS Az Zukhruf: 68-73).
Allah juga berfirman,
إِنَّ ٱلۡمُتَّقِينَ فِى مَقَامٍ أَمِينٍ ۝٥١ فِى جَنَّـٰتٍ وَعُيُونٍ ۝٥٢ يَلۡبَسُونَ مِن سُندُسٍ وَإِسۡتَبۡرَقٍ مُّتَقَـٰبِلِينَ ۝٥٣ كَذَٰلِكَ وَزَوَّجۡنَـٰهُم بِحُورٍ عِينٍ ۝٥٤ يَدۡعُونَ فِيهَا بِكُلِّ فَـٰكِهَةٍ ءَامِنِينَ ۝٥٥ لَا يَذُوقُونَ فِيهَا ٱلۡمَوۡتَ إِلَّا ٱلۡمَوۡتَةَ ٱلۡأُولَىٰ ۖ وَوَقَىٰهُمۡ عَذَابَ ٱلۡجَحِيمِ ۝٥٦ فَضۡلًا مِّن رَّبِّكَ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ
"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam tempat yang aman. (Yaitu) di dalamnya taman-taman dan mata air-mata air. Mereka memakai sutera yang halus dan sutera yang tebal (duduk) berhadap-hadapan. Demikianlah, dan Kami berikan kepada mereka bidadari. Di dalamnya mereka meminta segala macam buah-buahan dengan aman (dari segala kekhawatiran). Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati di dunia. Dan Allah memelihara mereka dari adzab neraka sebagai karunia dari Tuhanmu. Yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar." (QS Ad Dukhaan: 51-57).
Hasbunallah wa ni'mal wakil, wal 'ilmu 'indallah, wal hamdulillahi robbil 'alamin.

Ditulis oleh al Ustadz Abu Hamzah al Atsary.

Sumber: Buletin Jum'at Al-Wala` Wal-Bara` Edisi ke-43 Tahun ke-1 / 10 Oktober 2003 M / 13 Sya'ban 1424 H.

Juallah Duniamu untuk Akhiratmu

Katsir bin Ziyad rahimahullah berkata:
بِيعُوا دُنۡيَاكُمۡ بِآخِرَتِكُمۡ تَرۡبَحُونَهُمَا وَاللهِ جَمِيعًا، وَلَا تَبِيعُوا آخِرَتَكُمۡ بِدُنۡيَاكُمۡ فَتَخۡسَرُونَهُمَا وَاللهِ جَمِيعًا
Juallah dunia kalian untuk akhirat kalian! Demi Allah, kalian akan beruntung pada keduanya. Dan janganlah kalian jual akhirat kalian untuk dunia kalian! Demi Allah, kalian akan merugi pada keduanya.

At-Tuhfatul Wushabiyyah - Mubtada` dan Khabar

الۡمُبۡتَدَأُ وَالۡخَبَرُ

قَالَ: (بَابُ الۡمُبۡتَدَإِ وَالۡخَبَرِ) الۡمُبۡتَدَأُ: هُوَ الۡاسۡمُ الۡمَرۡفُوعُ الۡعَارِي عَنِ الۡعَوَامِلِ اللَّفۡظِيَّةِ، وَالۡخَبَرُ: هُوَ الۡاسۡمُ الۡمَرۡفُوعُ الۡمُسۡنَدُ إِلَيۡهِ، نَحۡوُ قَوۡلِكَ: (زَيۡدٌ قَائِمٌ)، وَ(الزَّيۡدَانِ قَائِمَانِ)، وَ(الزَّيۡدُونَ قَائِمُونَ).
Bab Mubtada` dan Khabar. Mubtada` adalah isim yang dirafa' yang terbebas dari lafazh-lafazh 'amil. Khabar adalah isim yang dirafa' yang disandarkan kepada mubtada`. Contohnya adalah ucapanmu: زَيۡدٌ قَائِمٌ, الزَّيۡدَانِ قَائِمَانِ, dan الزَّيۡدُونَ قَائِمُونَ.
أَقُولُ: جَمَعَ الۡمُصَنِّفُ بَيۡنَ الۡمُبۡتَدَإِ وَالۡخَبَرِ فِي بَابٍ وَاحِدٍ؛ لِأَنَّ الۡخَبَرَ مُلَازِمٌ لِلۡمُبۡتَدَإِ، بِخِلَافِ الۡفَاعِلِ وَنَائِبِهِ؛ فَإِنَّهُمَا لَا يَجۡتَمِعَانِ.
وَالۡمُبۡتَدَأُ لُغَةً: مَا يَبۡتَدِأُ بِهِ الۡكَلَامُ. وَاصۡطِلَاحًا: مَا ذَكَرَهُ الۡمُصَنِّفُ بِقَوۡلِهِ: (هُوَ الۡاسۡمُ...) إلخ.
Penyusun mengumpulkan antara mubtada` dan khabar ke dalam satu bab. Karena khabar selalu menyertai mubtada`, berbeda dengan fa'il dan naibul fa'il, keduanya tidak bisa berkumpul.
Mubtada` secara bahasa adalah setiap yang memulai pembicaraan. Adapun secara istilah seperti yang disebutkan penyusun dengan ucapannya: Isim yang dirafa'... dst.
فَقَوۡلُهُ (الۡاسۡمُ): خَرَجَ بِهِ الۡفِعۡلُ وَالۡحَرۡفُ؛ فَلَا يَكُونُ وَاحِدٌ مِنۡهُمَا مُبۡتَدَأً.
وَقَوۡلُهُ (الۡمَرۡفُوعُ): خَرَجَ بِهِ الۡمَنۡصُوبُ وَالۡمَجۡرُورُ؛ فَلَا يَكُونُ وَاحِدٌ مِنۡهُمَا مُبۡتَدَأً.
وَقَوۡلُهُ (الۡعَارِي عَنِ الۡعَوَامِلِ اللَّفۡظِيَّةِ): خَرَجَ بِهِ الۡفَاعِلُ وَنَائِبُهُ وَنَحۡوُهُمَا، فَإِنَّ كُلًّا مِنۡهُمَا اسۡمٌ مَرۡفُوعٌ تَقَدَّمَهُ عَامِلٌ لَفۡظِيٌّ وَهُوَ الۡفِعۡلُ؛ فَلَا يُسَمَّى وَاحِدٌ مِنۡهُمَا مُبۡتَدَأً؛ لِعَدَمِ عُرُوِّهِ -أَيۡ: تَجَرُّدِهِ- عَنِ الۡعَوَامِلِ اللَّفۡظِيَّةِ.
Ucapan beliau “isim”: berarti fi'il dan huruf tidak termasuk. Sehingga salah satu dari keduanya tidak bisa menjadi mubtada`.
Ucapan beliau “dirafa'”: berarti yang dinashab dan dijar tidak termasuk. Sehingga salah satu dari keduanya tidak bisa menjadi mubtada`.
Ucapan beliau “yang terbebas dari lafazh-lafazh 'amil': berarti fa'il, naibul fa'il, dan yang semacamnya tidak termasuk. Karena setiap salah satu dari keduanya adalah isim yang dirafa' namun didahului oleh suatu lafazh 'amil yaitu fi'il. Sehingga fa'il atau naibul fa'il tidak bisa menjadi mubtada` karena tidak bisa lepas dari lafazh-lafazh 'amil.
مِثَالُ الۡمُبۡتَدَإِ الۡمُسۡتَوۡفِي لِلشُّرُوطِ الثَّلَاثَةِ قَوۡلُكَ: (الۡعِلۡمُ نَافِعٌ) وَقَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿وَالصُّلۡحُ خَيۡرٌ﴾ [النساء: ١٢٨] فَكُلٌّ مِنۡ (الۡعِلۡمُ وَالصُّلۡحُ) مُبۡتَدَأٌ؛ لِأَنَّهُ اسۡمٌ مَرۡفُوعٌ عَارٍ -أَيۡ: مُجَرَّدٌ- عَنِ الۡعَوَامِلِ اللَّفۡظِيَّةِ.
Contoh mubtada` yang memenuhi tiga syarat tersebut adalah ucapanmu: الۡعِلۡمُ نَافِعٌ dan firman Allah ta'ala: وَالصُّلۡحُ خَيۡرٌ (QS. An-Nisa`: 128). Jadi setiap dari الۡعِلۡمُ dan الصُّلۡحُ adalah mubtada` karena ia adalah isim yang dirafa' yang terbebas dari lafazh-lafazh 'amil.
قَوۡلُهُ: (وَالۡخَبَرُ هُوَ: الۡاسۡمُ الۡمَرۡفُوعُ الۡمُسۡنَدُ إِلَى الۡمُبۡتَدَإِ) أَيۡ: الۡمَنۡسُوبُ إِلَيۡهِ، نَحۡوُ: (قَائِمٌ) مِنۡ قَوۡلِكَ: (زَيۡدٌ قَائِمٌ) فَإِنَّهُ اسۡمٌ مَرۡفُوعٌ، أُسۡنِدَ إِلَى الۡمُبۡتَدَإِ، أَيۡ: نُسِبَ إِلَيۡهِ، وَالۡمَعۡنَى: (زَيۡدٌ مَنۡسُوبٌ إِلَيۡهِ الۡقِيَامُ)، وَمِثۡلُهُ: (نَافِعٌ، وَخَيۡرٌ) فِي الۡمِثَالَيۡنِ الۡمُتَقَدِّمَيۡنِ؛ فَإِنَّ كُلًّا مِنۡهُمَا اسۡمٌ مَرۡفُوعٌ، نُسِبَ إِلَى الۡمُبۡتَدَإِ قَبۡلَهُ، وَالۡمَعۡنَى: (الۡعِلۡمُ مَنۡسُوبٌ إِلَيۡهِ النَّفۡعُ، وَالصُّلۡحُ مَنۡسُوبٌ إِلَيۡهِ الۡخَيۡرِيَّةُ)، وَعَلَى هَٰذَا فَقِسۡ.
Ucapan beliau “khabar adalah isim yang dirafa' yang disandarkan kepada mubtada`” artinya: dinisbahkan kepada mubtada`. Contoh: قَائِمٌ dari ucapanmu: زَيۡدٌ قَائِمٌ. Ia adalah isim yang dirafa', disandarkan kepada mubtada`, artinya dinisbahkan kepadanya. Maknanya: Zaid dinisbahkan kepadanya perbuatan berdiri. Contoh lain: نَافِعٌ dan خَيۡرٌ dalam dua contoh yang telah disebutkan. Setiap salah satu dari keduanya adalah isim yang dirafa', dinisbahkan kepada mubtada`. Maknanya: ilmu itu dinisbahkan kepadanya kemanfaatan dan perdamaian itu dinisbahkan kepadanya kebaikan. Dengan cara ini, kiaskanlah yang lainnya.
وَعُلِمَ مِنۡ تَعۡرِيفِ الۡمُبۡتَدَإِ وَالۡخَبَرِ أَنَّ حُكۡمَ كُلٍّ مِنۡهُمَا الرَّفۡعُ، وَرَفۡعُهُمَا إِمَّا بِضَمَّةٍ ظَاهِرَةٍ نَحۡوُ: (زَيۡدٌ قَائِمٌ) وَكَالۡمِثَالَيۡنِ الۡمُتَقَدِّمَيۡنِ، أَوۡ مُقَدَّرَةٍ نَحۡوُ: (مُوسَى صَدِيقِي) فَـ(مُوسَى) مُبۡتَدَأٌ مَرۡفُوعٌ وَعَلَامَةُ رَفۡعِهِ الضَّمَّةُ الۡمُقَدَّرَةُ مَنَعَ مِنۡ ظُهُورِهَا التَّعَذُّرُ، وَ(صَدِيقِي) خَبَرٌ مَرۡفُوعٌ وَعَلَامَةُ رَفۡعِهِ الضَّمَّةُ الۡمُقَدَّرَةُ عَلَى مَا قَبۡلَ يَاءِ الۡمُتَكَلِّمِ مَنَعَ مِنۡ ظُهُورِهَا اشۡتِغَالُ الۡمَحَلِّ بِحَرَكَةِ الۡمُنَاسَبَةِ.
وَإِمَّا بِمَا يَنُوبُ عَنِ الضَّمَّةِ كَالۡأَلِفِ فِي نَحۡوِ: (الزَّيۡدَانِ قَائِمَانِ) وَقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿بَلۡ يَدَاهُ مَبۡسُوطَتَانِ﴾ [المائدة: ٦٤] وَالۡوَاوُ فِي جَمۡعِ الۡمُذَكَّرِ السَّالِمِ نَحۡوُ: (الزَّيۡدُونَ قَائِمُونَ) وَقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿وَالۡكَٰفِرُونَ هُمُ الظَّٰلِمُونَ﴾ [البقرة: ٢٥٤] وَفِي الۡأَسۡمَاءِ الۡخَمۡسَةِ نَحۡوُ: (أَبُوكَ ذُو خُلُقٍ كَرِيمٍ).
Diketahui dari pengertian mubtada` dan khabar bahwa hukum setiap salah satu dari keduanya adalah rafa'. Rafa' keduanya bisa dengan dhammah yang tampak seperti: زَيۡدٌ قَائِمٌ dan dua contoh sebelumnya. Atau bisa dengan dhammah muqaddarah seperti: مُوسَى صَدِيقِي. Di sini مُوسَى adalah mubtada` yang dirafa'. Tanda rafa'nya adalah dhammah muqaddarah. Yang menghalangi dari munculnya adalah mustahil diucapkan. Adapun صَدِيقِي adalah khabar yang dirafa'. Tanda rafa'nya adalah dhammah muqaddarah pada sebelum huruf ya` mutakallim. Yang menghalangi dari munculnya karena tempatnya dipakai oleh harakat yang sesuai.
Atau bisa pula dengan yang mengganti dhammah seperti huruf alif seperti: الزَّيۡدَانِ قَائِمَانِ dan firman Allah ta'ala: بَلۡ يَدَاهُ مَبۡسُوطَتَانِ (QS. Al-Maidah: 64). Atau huruf wawu dalam jamak mudzakkar salim seperti: الزَّيۡدُونَ قَائِمُونَ dan firman Allah ta'ala: وَالۡكَٰفِرُونَ هُمُ الظَّٰلِمُونَ (QS. Al-Baqarah: 254) dan dalam asma`ul khamsah seperti: أَبُوكَ ذُو خُلُقٍ كَرِيمٍ.

Lihat pula:

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 177

١٧٧ – حَدَّثَنَا أَبُو الۡوَلِيدِ قَالَ: حَدَّثَنَا ابۡنُ عُيَيۡنَةَ عَنِ الزُّهۡرِيِّ عَنۡ عَبَّادِ بۡنِ تَمِيمٍ عَنۡ عَمِّهِ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: (لَا يَنۡصَرِفۡ حَتَّى يَسۡمَعَ صَوۡتًا أَوۡ يَجِدَ رِيحًا). [طرفه في: ١٣٧].
177. Abul Walid telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Ibnu 'Uyainah menceritakan kepada kami dari Az-Zuhri dari 'Abbad bin Tamim dari pamannya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau berkata: “Janganlah ia tinggalkan shalatnya sampai ia mendengar suara atau mendapati bau.”

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 7460

٧٤٦٠ – حَدَّثَنَا الۡحُمَيۡدِيُّ: حَدَّثَنَا الۡوَلِيدُ بۡنُ مُسۡلِمٍ: حَدَّثَنَا ابۡنُ جَابِرٍ: حَدَّثَنِي عُمَيۡرُ بۡنُ هَانِىءٍ: أَنَّهُ سَمِعَ مُعَاوِيَةَ قَالَ: قَالَ: سَمِعۡتُ النَّبِيَّ ﷺ يَقُولُ: (لَا يَزَالُ مِنۡ أُمَّتِي أُمَّةٌ قَائِمَةٌ بِأَمۡرِ اللهِ، مَا يَضُرُّهُمۡ مَنۡ كَذَّبَهُمۡ وَلَا مَنۡ خَالَفَهُمۡ، حَتَّى يَأۡتِيَ أَمۡرُ اللهِ وَهُمۡ عَلَى ذٰلِكَ). فَقَالَ مَالِكُ بۡنُ يُخَامِرَ: سَمِعۡتُ مُعَاذًا يَقُولُ: وَهُمۡ بِالشَّأۡمِ، فَقَالَ مُعَاوِيَةُ: هَٰذَا مَالِكٌ يَزۡعُمُ أَنَّهُ سَمِعَ مُعَاذًا يَقُولُ: وَهُمۡ بِالشَّأۡمِ. [طرفه في: ٧١].
7460. Al-Humaidi telah menceritakan kepada kami: Al-Walid bin Muslim menceritakan kepada kami: Ibnu Jabir menceritakan kepada kami: 'Umair bin Hani` menceritakan kepadaku: Bahwa beliau mendengar Mu'awiyah mengatakan: Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Akan senantiasa ada orang-orang dari umatku yang tegak di atas perintah Allah. Tidak akan membahayakan mereka siapa saja yang medustakan dan menyelisihi mereka, sampai datangnya keputusan Allah dan mereka tetap pada keadaan demikian.” Malik bin Yukhamir berkata: Aku mendengar Mu'adz berkata: Dan mereka itu berada di Syam. Mu'awiyah berkata: Malik inilah yang mengaku bahwa dia mendengar Mu'adz berkata: Dan mereka itu berada di Syam.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 7312

٧٣١٢ – حَدَّثَنَا إِسۡمَاعِيلُ: حَدَّثَنَا ابۡنُ وَهۡبٍ، عَنۡ يُونُسَ عَنِ ابۡنِ شِهَابٍ: أَخۡبَرَنِي حُمَيۡدٌ قَالَ: سَمِعۡتُ مُعَاوِيَةَ بۡنَ أَبِي سُفۡيَانَ يَخۡطُبُ قَالَ: سَمِعۡتُ النَّبِيَّ ﷺ يَقُولُ: (مَنۡ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيۡرًا يُفَقِّهۡهُ فِي الدِّينِ، وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَيُعۡطِي اللهُ، وَلَنۡ يَزَالَ أَمۡرُ هَٰذِهِ الۡأُمَّةِ مُسۡتَقِيمًا حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ، أَوۡ: حَتَّى يَأۡتِيَ أَمۡرُ اللهِ). [طرفه في: ٧١].
7312. Isma'il telah menceritakan kepada kami: Ibnu Wahb menceritakan kepada kami, dari Yunus, dari Ibnu Syihab: Humaid mengabarkan kepadaku, beliau berkata: Aku mendengar Mu'awiyah bin Abu Sufyan sedang berkhotbah, beliau mengatakan: Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan pahamkan ia dalam agama. Dan aku hanyalah pembagi dan Allah-lah yang memberi. Senantiasa perkara umat ini akan lurus sampai terjadinya hari kiamat, atau: sampai datangnya keputusan Allah.”

At-Tuhfatul Wushabiyyah - Pembagian Naibul Fa'il

أَقۡسَامُ نَائِبِ الۡفَاعِلِ

قَالَ: وَهُوَ عَلَى قِسۡمَيۡنِ: ظَاهِرٍ، وَمُضۡمَرٍ، فَالظَّاهِرُ نَحۡوُ قَوۡلِكَ: (ضُرِبَ زَيۡدٌ)، وَ(يُضۡرَبُ زَيۡدٌ)، وَ(أُكۡرِمَ عَمۡرٌو)، وَ(يُكۡرَمُ عَمۡرٌو). وَالۡمُضۡمَرُ اثۡنَا عَشَرَ، نَحۡوُ قَوۡلِكَ: (ضُرِبۡتُ، وَضُرِبۡنَا، وَضُرِبۡتَ، وَضُرِبۡتِ، وَضُرِبۡتُمَا، وَضُرِبۡتُمۡ، وَضُرِبۡتُنَّ، وَضُرِبَ، وَضُرِبَتۡ، وَضُرِبَا، وَضُرِبُوا، وَضُرِبۡنَ).
Naibul Fa'il terbagi menjadi dua bagian: zhahir dan mudhmar. Adapun yang zhahir seperti ucapanmu: ضُرِبَ زَيۡدٌ, يُضۡرَبُ زَيۡدٌ, أُكۡرِمَ عَمۡرٌو, dan يُكۡرَمُ عَمۡرٌو. Sedangkan yang mudhmar ada dua belas, contohnya adalah ucapanmu: ضُرِبۡتُ, ضُرِبۡنَا, ضُرِبۡتُ, ضُرِبۡتِ, ضُرِبۡتُمَا, ضُرِبۡتُمۡ, ضُرِبۡتُنَّ, ضُرِبَ, ضُرِبَتۡ, ضُرِبَا, ضُرِبُوا, dan ضُرِبۡنَ.
أَقُولُ: يَنۡقَسِمُ النَّائِبُ عَنِ الۡفَاعِلِ إِلَى قِسۡمَيۡنِ: ظَاهِرٍ وَمُضۡمَرٍ -كَمَا أَنَّ الۡفَاعِلَ كَذٰلِكَ- فَالظَّاهِرُ كَمَا تَقَدَّمَ وَنَحۡوُ (أُكۡرِمَ عَمۡرٌو) وَ(يُكۡرَمُ عَمۡرٌو).
Nabiul Fa'il terbagi menjadi dua bagian, yaitu zhahir dan mudhmar -sebagaimana fa'il juga demikian-. Adapun yang zhahir adalah seperti yang telah disebutkan, contoh: أُكۡرِمَ عَمۡرٌو dan يُكۡرَمُ عَمۡرٌو.
وَالۡمُضۡمَرُ إِمَّا مُتَّصِلٌ نَحۡوُ: (ضُرِبۡتُ) بِضَمِّ الضَّادِ وَسُكُونِ الۡبَاءِ. فَـ(التَّاءُ) ضَمِيرٌ مُتَّصِلٌ فِي مَحَلِّ رَفۡعٍ نَائِبُ فَاعِلٍ، وَمِثَالُهُ مِنَ الۡقُرۡآنِ الۡعَظِيمِ قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿فَاسۡتَقِمۡ كَمَآ أُمِرۡتَ﴾ [هود: ١١٢] وَإِمَّا مُنۡفَصِلٌ نَحۡوُ: (مَا ضُرِبَ إِلَّا أَنَا) وَ(مَا يُكۡرَمُ إِلَّا أَنۡتَ) فَكُلٌّ مِنۡ (أَنَا وَأَنۡتَ) ضَمِيرٌ مُنۡفَصِلٌ فِي مَحَلِّ رَفۡعٍ نَائِبُ فَاعِلٍ.
Adapun yang mudhmar, ada yang muttashil seperti: ضُرِبۡتُ dengan mendhammah huruf dhad dan menyukun huruf ba`. Sedangkan huruf ta` adalah dhamir muttashil pada kedudukan rafa' naibul fa'il. Contoh dari Al-Qur`an adalah firman Allah ta'ala: فَاسۡتَقِمۡ كَمَآ أُمِرۡتَ (QS. Hud: 112). Ada pula mudhmar yang munfashil seperti: مَا ضُرِبَ إِلَّا أَنَا dan مَا يُكۡرَمُ إِلَّا أَنۡتَ. Jadi setiap dari أَنَا dan أَنۡتَ adalah dhamir munfashil pada kedudukan rafa' naibul fa'il.
وَقَدۡ تَقَدَّمَ مَعَنَا تَعۡرِيفُ الظَّاهِرِ وَالۡمُضۡمَرِ فِي بَابِ الۡفَاعِلِ، وَتَقَدَّمَ أَيۡضًا تَقۡسِيمُ الۡمُضۡمَرِ إِلَى مُتَّصِلٍ وَمُنۡفَصِلٍ، وَتَعۡرِيفُ أَنۡوَاعِ كُلٍّ مِنۡهُمَا مِمَّا أَغۡنَى عَنۡ إِعَادَتِهِ هُنَا، وَالۡحَمۡدُ لِلهِ.
Dan telah disebutkan bersama kita, pengertian zhahir dan mudhmar di bab fa'il. Dan telah disebutkan pula pembagian mudhmar menjadi muttashil dan munfashil. Juga telah disebutkan pengertian setiap jenis dari keduanya. Sehingga tidak butuh untuk diulangi di sini. Alhamdulillah.

Lihat pula:

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 3641

٣٦٤١ – حَدَّثَنَا الۡحُمَيۡدِيُّ: حَدَّثَنَا الۡوَلِيدُ قَالَ: حَدَّثَنِي ابۡنُ جَابِرٍ قَالَ: حَدَّثَنِي عُمَيۡرُ بۡنُ هَانِىءٍ: أَنَّهُ سَمِعَ مُعَاوِيَةَ يَقُولُ: سَمِعۡتُ النَّبِيَّ ﷺ يَقُولُ: (لَا يَزَالُ مِنۡ أُمَّتِي أُمَّةٌ قَائِمَةٌ بِأَمۡرِ اللهِ، لَا يَضُرُّهُمۡ مَنۡ خَذَلَهُمۡ وَلَا مَنۡ خَالَفَهُمۡ، حَتَّى يَأۡتِيَهُمۡ أَمۡرُ اللهِ وَهُمۡ عَلَى ذٰلِكَ).
قَالَ عُمَيۡرٌ: فَقَالَ مَالِكُ بۡنُ يُخَامِرَ: قَالَ مُعَاذٌ: وَهُمۡ بِالشَّأۡمِ، فَقَالَ مُعَاوِيَةُ: هَٰذَا مَالِكٌ يَزۡعُمُ أَنَّهُ سَمِعَ مُعَاذًا يَقُولُ: وَهُمۡ بِالشَّأۡمِ. [طرفه في: ٧١].
3641. Al-Humaidi telah menceritakan kepada kami: Al-Walid menceritakan kepada kami, beliau berkata: Ibnu Jabir menceritakan kepadaku, beliau berkata: 'Umair bin Hani` menceritakan kepadaku: Bahwa beliau mendengar Mu'awiyah mengatakan: Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Senantiasa pada sebagian umatku ada orang-orang yang tegak di atas agama Allah. Siapa pun yang menghinakan dan menyelisihi mereka tidak dapat memudaratkan mereka sampai datangnya keputusan Allah dan mereka tetap dalam keadaan demikian.”
'Umair berkata: Malik bin Yukhamir berkata: Mu'adz berkata: Dan mereka itu berada di Syam. Mu'awiyah berkata: Malik inilah yang mengaku bahwa dia mendengar Mu'adz mengatakan: Mereka itu berada di Syam.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 3116

٣١١٦ – حَدَّثَنَا حِبَّانُ: أَخۡبَرَنَا عَبۡدُ اللهِ، عَنۡ يُونُسَ، عَنِ الزُّهۡرِيِّ، عَنۡ حُمَيۡدِ بۡنِ عَبۡدِ الرَّحۡمٰنِ: أَنَّهُ سَمِعَ مُعَاوِيَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (مَنۡ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيۡرًا يُفَقِّهۡهُ فِي الدِّينِ، وَاللهُ الۡمُعۡطِي وَأَنَا الۡقَاسِمُ، وَلَا تَزَالُ هَٰذِهِ الۡأُمَّةُ ظَاهِرِينَ عَلَى مَنۡ خَالَفَهُمۡ حَتَّى يَأۡتِيَ أَمۡرُ اللهِ وَهُمۡ ظَاهِرُونَ). [طرفه في: ٧١].
3116. Hibban telah menceritakan kepada kami: 'Abdullah mengabarkan kepada kami, dari Yunus, dari Az-Zuhri, dari Humaid bin 'Abdurrahman: Bahwa beliau mendengar Mu'awiyah mengatakan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang Allah kehendaki kebaikan baginya, Allah akan pahamkan dia dalam agama. Allah lah yang memberi dan aku yang membagi. Umat ini senantiasa menang terhadap orang yang menyelisihi mereka sampai datangnya keputusan Allah dan mereka tetap dalam keadaan menang.”

Shahih Muslim hadits nomor 2167

١٣ – (٢١٦٧) – حَدَّثَنَا قُتَيۡبَةُ بۡنُ سَعِيدٍ: حَدَّثَنَا عَبۡدُ الۡعَزِيزِ، يَعۡنِي الدَّرَاوَرۡدِيَّ، عَنۡ سُهَيۡلٍ، عَنۡ أَبِيهِ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: (لَا تَبۡدَؤُا الۡيَهُودَ وَلَا النَّصَارَىٰ بِالسَّلَامِ، فَإِذَا لَقِيتُمۡ أَحَدَهُمۡ فِي طَرِيقٍ فَاضۡطَرُّوهُ إِلَىٰ أَضۡيَقِهِ).
13. (2167). Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami: 'Abdul 'Aziz Ad-Darawardi menceritakan kepada kami, dari Suhail, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian memulai memberi salam kepada Yahudi dan Nashara. Dan apabila kalian bertemu dengan salah seorang dari mereka di suatu jalan, desaklah ia ke bagian yang paling sempit.”
(…) - وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ الۡمُثَنَّىٰ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ جَعۡفَرٍ: حَدَّثَنَا شُعۡبَةُ. (ح) وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ وَأَبُو كُرَيۡبٍ. قَالَا: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنۡ سُفۡيَانَ. (ح) وَحَدَّثَنِي زُهَيۡرُ بۡنُ حَرۡبٍ: حَدَّثَنَا جَرِيرٌ. كُلُّهُمۡ عَنۡ سُهَيۡلٍ، بِهَٰذَا الۡإِسۡنَادِ.
وَفِي حَدِيثِ وَكِيعٍ: (إِذَا لَقِيتُمُ الۡيَهُودَ).
وَفِي حَدِيثِ ابۡنِ جَعۡفَرٍ عَنۡ شُعۡبَةَ قَالَ: فِي أَهۡلِ الۡكِتَابِ.
وَفِي حَدِيثِ جَرِيرٍ: (إِذَا لَقِيتُمُوهُمۡ)، وَلَمۡ يُسَمِّ أَحَدًا مِنَ الۡمُشۡرِكِينَ.
Muhammad ibnul Mutsanna telah menceritakan kepada kami: Muhammad bin Ja'far menceritakan kepada kami: Syu'bah menceritakan kepada kami. (Dalam riwayat lain) Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Abu Kuraib telah menceritakan kepada kami. Keduanya mengatakan: Waki' menceritakan kepada kami dari Sufyan. (Dalam riwayat lain) Zuhair bin Harb telah menceritakan kepadaku: Jarir menceritakan kepada kami. Mereka seluruhnya dari Suhail dengan sanad ini.
Dalam hadits Waki', “Jika kalian bertemu dengan orang Yahudi.”
Dalam hadits Ibnu Ja'far dari Syu'bah, beliau mengatakan: pada ahli kitab.
Dalam hadits Jarir, “Jika kalian bertemu mereka”, dan beliau tidak menyebutkan satu golongan pun dari kalangan kaum musyrikin.

At-Tuhfatul Wushabiyyah - Naibul Fa'il

النَّائِبُ عَنِ الۡفَاعِلِ

قَالَ: (بَابُ الۡمَفۡعُولِ الَّذِي لَمۡ يُسَمَّ فَاعِلُهُ)
وَهُوَ: الۡاسۡمُ الۡمَرۡفُوعُ، الَّذِي لَمۡ يُذۡكَرۡ مَعَهُ فَاعِلُهُ. فَإِنۡ كَانَ الۡفِعۡلُ مَاضِيًا ضُمَّ أَوَّلُهُ وَكُسِرَ مَا قَبۡلَ آخِرِهِ، وَإِنۡ كَانَ مُضَارِعًا ضُمَّ أَوَّلُهُ وَفُتِحَ مَا قَبۡلَ آخِرِهِ.
Bab Maf'ul yang tidak disebutkan fa'ilnya. Yaitu isim yang dirafa' yang fa'ilnya tidak disebutkan bersamanya. Jika fi'ilnya madhi, maka huruf awalnya didhammah dan huruf sebelum akhir dikasrah. Jika fi'ilnya mudhari', maka huruf awalnya didhammah dan huruf sebelum akhir difathah.
أَقُولُ: الۡأَصۡلُ فِي الۡفَاعِلِ أَنۡ يَكُونَ مَذۡكُورًا فِي الۡكَلَامِ كَمَا رَأَيۡتَ فِي الۡأَمۡثِلَةِ الۡمُتَقَدِّمَةِ فِي (بَابِ الۡفَاعِلِ)، وَقَدۡ يُحۡذَفُ لِغَرَضٍ مِنَ الۡأَغۡرَاضِ؛ فَيَقُومُ الۡمَفۡعُولُ بِهِ حِينَئِذٍ مَقَامَهُ فَيَأۡخُذُ جَمِيعَ أَحۡكَامِهِ، فَيَصِيرُ مَرۡفُوعًا بَعۡدَ أَنۡ كَانَ مَنۡصُوبًا، وَعُمۡدَةً بَعۡدَ أَنۡ كَانَ فَضۡلَةً، وَغَيۡرُ ذٰلِكَ مِنۡ أَحۡكَامِ الۡفَاعِلِ.
Asalnya fa'il disebutkan di dalam pembicaraan, sebagaimana telah Anda lihat di contoh-contoh yang telah lewat dalam bab fa'il. Dan terkadang bisa dibuang karena suatu tujuan. Sehingga, maf'ul bih pada saat ini menempati kedudukan fa'il dan mengambil seluruh hukum-hukum fa'il. Maka, jadilah ia dirafa' setelah sebelumnya dinashab. Jadilah ia inti kalimat setelah sebelumnya hanya tambahan. Demikian pula hukum-hukum fa'il lainnya.
وَيَجِبُ فِي الۡفِعۡلِ حِينَئِذٍ أَنۡ تَغَيَّرَ صُورَتُهُ الۡأَصۡلِيَّةُ إِلَى صُورَةٍ أُخۡرَى؛ مِنۡ أَجۡلِ أَنۡ يَتَمَيَّزَ الۡفَاعِلُ عَنِ النَّائِبِ مِنۡ أَوَّلِ الۡأَمۡرِ.
وَكَيۡفِيَةُ هَٰذَا التَّغۡيِيرِ: أَنَّ الۡفِعۡلَ إِنۡ كَانَ مَاضِيًا ضُمَّ أَوَّلُهُ وَكُسِرَ مَا قَبۡلَ آخِرِهِ نَحۡوُ: (ضُرِبَ زَيۡدٌ) وَإِنۡ كَانَ مُضَارِعًا ضُمَّ أَوَّلُهُ وَفُتِحَ مَا قَبۡلَ آخِرِهِ نَحۡوُ: (يُضۡرَبُ زَيۡدٌ) فَاشۡتَرَكَا فِي ضَمِّ الۡأَوَّلِ، وَافۡتَرَقَا فِيمَا قَبۡلَ الۡآخِرِ.
Dalam keadaan ini, fi'il wajib diubah bentuk aslinya ke bentuk lain supaya dapat dibedakan antara fa'il dengan naib sedari awal. Aturan perubahannya: 
  • apabila fi'ilnya madhi, maka huruf awalnya didhammah dan huruf sebelum akhir dikasrah, contoh: ضُرِبَ زَيۡدٌ. 
  • apabila fi'ilnya mudhari', maka huruf awalnya didhammah dan huruf sebelum akhir difathah, contoh: يُضۡرَبُ زَيۡدٌ. 
Jadi, keduanya sama-sama huruf awalnya didhammah, namun huruf sebelum akhirnya berbeda.
فَـ(ضُرِبَ) فِعۡلٌ مَاضٍ مُغَيَّرُ الصِّيغَةِ، وَ(زَيۡدٌ) نَائِبُ فَاعِلٍ. وَالۡفَاعِلُ مَحۡذُوفٌ، وَالۡأَصۡلُ (ضَرَبَ مُحَمَّدٌ زَيۡدًا). وَمِثَالُهُ مِنَ التَّنۡزِيلِ قَوۡلُهُ جَلَّ جَلَالُهُ: ﴿قُتِلَ الۡخَرَّٰصُونَ﴾ [الذاريات: ١٠].
وَ(يُضۡرَبُ) فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مُغَيَّرُ الصِّيغَةِ. وَ(زَيۡدٌ) نَائِبُ فَاعِلٍ، وَالۡفَاعِلُ مَحۡذُوفٌ وَالۡأَصۡلُ (يَضۡرِبُ مُحَمَّدٌ زَيۡدً) وَمِثَالُهُ مِنَ التَّنۡزِيلِ قَوۡلُهُ جَلَّتۡ عَظَمَتُهُ: ﴿يُعۡرَفُ الۡمُجۡرِمُونَ﴾ [الرحمن: ٤١].
Jadi ضُرِبَ adalah fi'il madhi yang telah berubah bentuknya dan زَيۡدٌ adalah naibul fa'il. Fa'ilnya dibuang. Asalnya adalah ضَرَبَ مُحَمَّدٌ زَيۡدًا. Dan contoh di dalam Al-Qur`an adalah firman Allah jalla jalaaluh: قُتِلَ الۡخَرَّٰصُونَ (QS. Adz-Dzariyat: 10).
Dan يُضۡرَبُ adalah fi'il mudhari' yang telah berubah bentuknya dan زَيۡدٌ adalah naibul fa'il. Fa'ilnya dibuang. Asalnya adalah يَضۡرِبُ مُحَمَّدٌ زَيۡدًا. Dan contoh di dalam Al-Qur`an adalah firman Allah jallat 'azhamatuh: يُعۡرَفُ الۡمُجۡرِمُونَ (QS. Ar-Rahman: 41).

Lihat pula:

Al-Ishabah - 111. As'ad bin Zurarah

١١١ – أَسۡعَدُ بۡنُ زُرَارَةَ بۡنِ عُدَسِ بۡنِ عُبَيۡدِ بۡنِ ثَعۡلَبَةَ بۡنِ غَنۡمِ بۡنِ مَالِكِ بۡنِ النَّجَّارِ أَبُو أُمَامَةَ الۡأَنۡصَارِيُّ الۡخَزۡرَجِيُّ النَّجَّارِيُّ

111. As’ad bin Zurarah bin ‘Udas bin ‘Ubaid bin Tsa’labah bin Ghanm bin Malik bin An-Najjar Abu Umamah Al-Anshari Al-Khazraji An-Najjari

قَدِيمُ الۡإِسۡلَامِ، شَهِدَ الۡعَقَبَتَيۡنِ وَكَانَ نَقِيبًا عَلَى قَبِيلَتِهِ وَلَمۡ يَكُنۡ فِي النُّقَبَاءِ أَصۡغَرُ سِنًّا مِنۡهُ، وَيُقَالُ أَنَّهُ أَوَّلُ مَنۡ بَايَعَ لَيۡلَةَ الۡعَقَبَةِ[1]. وَقَالَ الۡوَاقِدِيُّ عَنۡ عَبۡدِ الرَّحۡمَٰنِ بۡنِ عَبۡدِ الۡعَزِيزِ عَنۡ خُبَيۡبِ بۡنِ عَبۡدِ الرَّحۡمٰنِ قَالَ: خَرَجَ أَسۡعَدُ بۡنُ زُرَارَةَ وَذَكۡوَانُ بۡنُ عَبۡدِ الۡقَيۡسِ إِلَى مَكَّةَ يَتَنَافَرَانِ إِلَى عُتۡبَةَ بۡنِ رَبِيعَةَ فَسَمِعَا بِرَسُولِ اللهِ ﷺ فَأَتَيَاهُ فَعَرَضَ عَلَيۡهِمَا الۡإِسۡلَامَ وَتَلَا عَلَيۡهِمَا الۡقُرۡآنَ فَأَسۡلَمَا وَلَمۡ يَقۡرَبَا عُتۡبَةَ وَرَجَعَا إِلَى الۡمَدِينَةِ فَكَانَا أَوَّلَ مَنۡ قَدِمَ بِالۡإِسۡلَامِ الۡمَدِينَةَ.
Beliau adalah orang yang awal-awal masuk Islam, mengikuti dua bai’at ‘Aqabah. Beliau adalah pemimpin kabilahnya dan tidak ada pemimpin kabilah yang ikut bai’at ‘Aqabah lebih muda umurnya daripada dia. Ada yang mengatakan bahwa beliau lah yang paling pertama berbai’at pada malam ‘Aqabah. Al-Waqidi berkata dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul ‘Aziz dari Khubaib bin ‘Abdurrahman, beliau berkata: As’ad bin Zurarah dan Dzakwan bin ‘Abdul Qais keluar menuju Makkah karena keduanya berselisih dengan ‘Utbah bin Rabi’ah. Setiba di Makkah, keduanya mendengar tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mendatangi beliau. Maka, Rasulullah memaparkan Islam dan membacakan Al-Qur`an kepada keduanya. Keduanya lalu masuk Islam dan tidak mendekati ‘Utbah. Keduanya pulang ke Madinah dan menjadi orang pertama yang datang ke Madinah dengan membawa keislaman.
وَأَمَّا ابۡنُ إِسۡحَاقَ فَقَالَ: إِنَّ أَسۡعَدَ إِنَّمَا أَسۡلَمَ فِي الۡعَقَبَةِ الۡأُولَى مَعَ النَّفَرِ السِّتَّةِ فَاللهُ أَعۡلَمُ.
Adapun Ibnu Ishaq mengatakan bahwa As’ad masuk Islam pada ‘Aqabah pertama bersama rombongan enam orang. Allahu a’lam.
وَوَهَمَ ابۡنُ مَنۡدَةَ فَقَالَ: كَانَ نَقِيبًا عَلَى بَنِي سَاعِدَةَ.
Dan Ibnu Mandah telah keliru mengatakan: As’ad adalah pemimpin Bani Sa’idah.
وَقِيلَ: إِنَّهُ أَوَّلُ مَنۡ بَايَعَ لَيۡلَةَ الۡعَقَبَةِ. وَقَالَ ابۡنُ إِسۡحَاقَ: شَهِدَ الۡعَقَبَةَ الۡأُولَى وَالثَّانِيَةَ وَالثَّالِثَةَ.
Ada yang mengatakan bahwa beliau adalah orang pertama yang berbai’at pada malam ‘Aqabah. Ibnu Ishaq berkata: Beliau mengikuti bai’at ‘Aqabah pertama, kedua, dan ketiga. 
وَرَوَى أَبُو دَاوُدَ وَالۡحَاكِمُ مِنۡ طَرِيقِ عَبۡدِ الرَّحۡمٰنِ بۡنِ كَعۡبِ بۡنِ مَالِكٍ قَالَ: كُنۡتُ قَائِدَ أَبِي حِينَ كُفَّ بَصَرُهُ فَإِذَا خَرَجۡتُ بِهِ إِلَى الۡجُمۡعَةِ فَسَمِعَ الۡآذَانَ اسۡتَغۡفَرَ لِأَسۡعَدِ بۡنِ زُرَارَةَ الۡحَدِيث[2]. وَفِيهِ: كَانَ أَسۡعَدُ أَوَّلَ مَنۡ جَمَّعَ بِنَا بِالۡمَدِينَةِ قَبۡلَ مَقۡدَمِ النَّبِيِّ ﷺ فِي حَرَّةِ بَنِي بَيَاضَةَ فِي نَقِيعِ الۡخَضَمَاتِ.
Abu Dawud dan Al-Hakim meriwayatkan dari jalan ‘Abdurrahman bin Ka’b bin Malik, beliau berkata: Aku dulu adalah penuntun ayahku ketika beliau telah buta. Ketika aku keluar bersama ayahku untuk menghadiri shalat Jum’at dan ayahku telah mendengar azan, ayahku memintakan ampun untuk As’ad bin Zurarah (Al-Hadits). Dalam riwayat itu: As’ad adalah orang yang pertama kali mengadakan shalat Jum’at untuk kami di Madinah sebelum kedatangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di tanah berbatu Bani Bayadhah di Naqi’ Al-Khadhamat.
وَذَكَرَ الۡوَاقِدِيُّ أَنَّهُ مَاتَ عَلَى رَأۡسِ تِسۡعَةِ أَشۡهُرٍ مِنَ الۡهِجۡرَةِ رَوَاهُ الۡحَاكِمُ فِي الۡمُسۡتَدۡرَكِ مِنۡ طَرِيقِ الۡوَاقِدِيِّ عَنِ ابۡنِ أَبِي الرِّجَالِ، وَفِيهِ: فَجَاءَ بَنُو النَّجَّارِ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، مَاتَ نَقِيبُنَا فَنَقِّبۡ عَلَيۡنَا، فَقَالَ: (أَنَا نَقِيبُكُمۡ)[3].
Al-Waqidi menyebutkan bahwa As’ad meninggal pada permulaan sembilan bulan semenjak hijrah. Al-Hakim meriwayatkannya di dalam Al-Mustadrak dari jalan Al-Waqidi dari Ibnu Abur Rijal. Dan dalam riwayat tersebut: Bani An-Najjar datang kepada Rasulullah dan berkata: Wahai Rasulullah, pemimpin kami telah meninggal. Angkatlah untuk kami pemimpin baru. Beliau bersabda, “Akulah pemimpin kalian.”
وَذَكَرَ ابۡنُ إِسۡحَاقَ أَنَّهُ مَاتَ وَالنَّبِيُّ ﷺ يَبۡنِي الۡمَسۡجِدَ. وَقَالَ الۡوَاقِدِيُّ: كَانَ ذٰلِكَ فِي شَوَّالٍ. قَالَ الۡبَغَوِيُّ: بَلَغَنِي أَنَّهُ أَوَّلُ مَنۡ مَاتَ مِنَ الصَّحَابَةِ بَعۡدَ الۡهِجۡرَةِ، وَأَنَّهُ أَوَّلُ مَيِّتٍ صَلَّى عَلَيۡهِ النَّبِيُّ ﷺ.
Ibnu Ishaq menyebutkan bahwa As’ad meninggal ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang membangun masjid. Al-Waqidi berkata: Hal itu terjadi di bulan Syawwal. Al-Baghawi berkata: Telah sampai kepadaku kabar bahwa As’ad adalah sahabat pertama yang meninggal setelah hijrah dan bahwa beliau mayit pertama yang dishalati oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
وَرَوَى الۡوَاقِدِيُّ، مِنۡ طَرِيقِ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ أَبِي بَكۡرِ بۡنِ حَزۡمٍ قَالَ: أَوَّلُ مَنۡ دُفِنَ بِالۡبَقِيعِ أَسۡعَدُ بۡنُ زُرَارَةَ، وَهَٰذَا قَوۡلُ الۡأَنۡصَارِ. وَأَمَّا الۡمُهَاجِرُونَ فَقَالُوا: أَوَّلُ مَنۡ دُفِنَ بِهِ عُثۡمَانُ بۡنُ مَظۡعُونٍ.
Al-Waqidi meriwayatkan dari jalan ‘Abdullah bin Abu Bakr bin Hazm, beliau berkata: Orang pertama yang dikubur di Baqi’ adalah As’ad bin Zurarah. Dan ini adalah ucapan kaum Anshar. Adapun kaum Muhajirin mengatakan: Orang pertama yang dikubur di Baqi’ adalah ‘Utsman bin Mazh’un.
وَرَوَى الۡحَاكِمُ مِنۡ طَرِيقِ السَّرَّاجِ فِي تَارِيخِهِ ثُمَّ مِنۡ طَرِيقِ مُحَمَّدِ بۡنِ عَمَّارَةَ عَنۡ زَيۡنَبَ بِنۡتِ نُبَيطٍ: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ حَلَّى أُمَّهَا وَخَالَتهَا رِعَاثًا مِنۡ تِبۡرٍ وَذَهَبٍ فِيهِ لُؤۡلُؤٌ، وَكَانَ أَبُوهُمَا أَسۡعَدَ بۡنَ زُرَارَةَ أَوۡصَى بِهِمَا إِلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ[4].
Al-Hakim meriwayatkan dari jalan As-Sarraj di dalam tarikh beliau, kemudian dari jalan Muhammad bin ‘Ammarah dari Zainab bintu Nubaith: Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi perhiasan kepada ibu dan bibi Zainab anting-anting dari emas yang ada mutiaranya. Dan bapak dari keduanya adalah As’ad bin Zurarah yang mewasiatkan keduanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
وَقَالَ عَبۡدُ الرَّزَّاقِ عَنۡ مَعۡمَرٍ عَنِ الزُّهۡرِيِّ عَنۡ أَبِي أُمَامَةَ بۡنِ سَهۡلٍ قَالَ: دَخَلَ النَّبِيُّ ﷺ عَلَى أَسۡعَدَ بۡنِ زُرَارَةَ، وَكَانَ أَحَدَ النُّقَبَاءِ لَيۡلَةَ الۡعَقَبَةِ، وَقَدۡ أَخَذَتۡهُ الشَّوۡكَةُ فَكَوَاهُ[5]، الۡحَدِيث.
‘Abdurrazzaq berkata dari Ma’mar dari Az-Zuhri dari Abu Umamah bin Sahl, beliau berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui As’ad bin Zurarah –beliau adalah salah satu pemimpin kaum yang mengikuti bai’at pada malam ‘Aqabah-, dan beliau waktu itu tertimpa penyakit syaukah (memerahnya kulit pada sebagian besar wajah dan tubuh), lalu Nabi pun meng-kay As’ad (Al-Hadits).
وَكَذٰلِكَ رَوَاهُ الۡحَاكِمُ مِنۡ طَرِيقِ يُونُسَ عَنِ الزُّهۡرِيِّ. قُلۡتُ: هَٰذَا هُوَ الۡمَحۡفُوظُ.
Demikian pula yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dari jalan Yunus dari Az-Zuhri. Aku katakan: Riwayat inilah yang terjaga.
وَرَوَاهُ عَبۡدُ الۡأَعۡلَى، عَنۡ مَعۡمَرٍ، عَنِ الزُّهۡرِيِّ، عَنۡ أَنَسٍ أَخۡرَجَهُ الۡحَاكِمُ أَيۡضًا، وَهِيَ شَاذَّةٌ.
Diriwayatkan pula oleh ‘Abdul A’la, dari Ma’mar, dari Az-Zuhri, dari Anas yang dikeluarkan pula oleh Al-Hakim. Namun riwayat ini ganjil.
وَرَوَاهُ ابۡنُ أَبِي ذِئۡبٍ عَنِ الزُّهۡرِيِّ عَنۡ عُرۡوَةَ عَنۡ عَائِشَةَ، وَهِيَ شَاذَّةٌ أَيۡضًا.
Ibnu Abu Dzi`b meriwayatkannya dari Az-Zuhri dari ‘Urwah dari ‘Aisyah, namun riwayat ini juga ganjil.
وَرَوَاهُ زَمۡعَةُ بۡنُ صَالِحٍ عَنِ الزُّهۡرِيِّ عَنۡ أَبِي أُمَامَةَ بۡنِ سَهۡلٍ، عَنۡ أَبِي أُمَامَةَ أَسۡعَدَ بۡنِ زُرَارَةَ، وَهَٰذَا مُوَافِقٌ لِرِوَايَةِ عَبۡدِ الرَّزَّاقِ، لِأَنَّهُ لَمۡ يُرِدۡ بِقَوۡلِهِ عَنۡ أَبِي أُمَامَةَ أَسۡعَدَ بۡنَ زُرَارَةَ، الرِّوَايَةَ. وَإِنَّمَا أَرَادَ أَنۡ يَقُولَ: عَنۡ قِصَّةِ أَسۡعَدَ بۡنِ زُرَارَةَ، وَاللهُ أَعۡلَمُ.
Zam’ah bin Shalih meriwayatkannya dari Az-Zuhri dari Abu Umamah bin Sahl, dari Abu Umamah As’ad bin Zurarah. Dan ini cocok dengan riwayat ‘Abdurrazzaq karena ia tidak memaksudkan riwayat ini dengan ucapannya dari Abu Umamah As’ad bin Zurarah. Namun yang ia maksud adalah dari kisah As’ad bin Zurarah. Allahu a’lam.
وَقَدِ اتَّفَقَ أَهۡلُ الۡمَغَازِي وَالتَّوَارِيخِ عَلَى أَنَّهُ مَاتَ فِي حَيَاةِ النَّبِيِّ ﷺ قَبۡلَ بَدۡرٍ. وَوَقَعَ فِي الطَّبۡرَانِيِّ مِنۡ طَرِيقِ الشُّعَيۡثِيِّ عَنۡ زُفَرَ بۡنِ وَثِيمَةَ عَنِ الۡمُغِيرَةِ بۡنِ شُعۡبَةَ أَنَّ أَسۡعَدَ بۡنَ زُرَارَةَ، قَالَ لِعُمَرَ: إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَتَبَ إِلَى الضَّحَّاكِ بۡنِ سُفۡيَانَ أَنۡ يُوَرِّثَ امۡرَأَةَ أَشۡيَمَ الضِّبَابِيِّ مِنۡ دِيَةِ زَوۡجِهَا[6]، وَهَٰذَا فِيهِ نَظَرٌ. وَلَعَلَّهُ كَانَ فِيهِ أَنَّ سَعۡدَ بۡنَ زُرَارَةَ، فَصُحِّفَ، وَاللهُ أَعۡلَمُ. وَإِلَّا فَيُحۡمَلُ عَلَى أَنَّهُ أَسۡعَدُ بۡنُ زُرَارَةَ آخَرُ اهـ.
Penulis kitab-kitab Al-Maghazi dan tarikh bersepakat bahwa As’ad meninggal ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup yaitu sebelum perang Badr. Namun terdapat riwayat dari Ath-Thabrani dari jalan Asy-Syu’aitsi dari Zufar bin Watsimah dari Al-Mughirah bin Syu’bah bahwa As’ad bin Zurarah berkata kepada ‘Umar: Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada Adh-Dhahhak bin Sufyan untuk memberikan warisan kepada istri Asyyam Adh-Dhibabi dari diat suaminya, namun riwayat ini perlu dilihat lebih lanjut. Barangkali seharusnya Sa’d bin Zurarah namun salah eja, Allahu a’lam. Atau, kalau tidak, ada kemungkinan dia adalah As’ad bin Zurarah yang lain.

[1] انۡظُرۡ: (التَّارِيخَ الۡكَبِيرَ) (١/٢/٦٢) وَ(الۡمُعۡجَمَ الۡكَبِيرَ)(١/٨٩٠). 
[2] أَخۡرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ فِي (٢) كِتَابِ: الصَّلَاةِ، بَابِ: الۡجُمۡعَةِ فِي الۡقُرَى (الۡحَدِيث: ١٠٦٩). وَأَخۡرَجَهُ ابۡنُ مَاجَهۡ فِي (٢) كِتَابِ: إِقَامَةِ الصَّلَاةِ وَالسُّنَّةِ فِيهَا (٦٩) بَابِ: فِي فَرۡضِ الۡجُمۡعَةِ (الۡحَدِيث: ١٠٨٢). وَأَخۡرَجَهُ الۡحَاكِمُ فِي (الۡمُسۡتَدۡرَكِ) (الۡحَدِيث: ٣/٤٨٥٨). 
[3] أَخۡرَجَهُ الۡحَاكِمُ فِي (الۡمُسۡتَدۡرَكِ) (الۡحَدِيث ٣/٤٨٥٧)، وَذَكَرَهُ الۡهِنۡدِيُّ فِي (كَنۡزِ الۡعُمَّالِ)(الۡحَدِيث: ٣٣٧٧٨)، وَذَكَرَهُ ابۡنُ سَعۡدٍ فِي (الطَّبَقَاتِ الۡكُبۡرَى) (الۡحَدِيث: ٣/٢/١٤١). 
[4] أَخۡرَجَهُ الۡحَاكِمُ فِي (الۡمُسۡتَدۡرَكِ) (الۡحَدِيث: ٣/٤٨٦٠). 
[5] أَخۡرَجَهُ الۡإِمَامُ أَحۡمَدُ فِي مُسۡنَدِهِ (الۡحَدِيث: ١٧٢٣٨) ج٢. وَأَخۡرَجَهُ الۡحَاكِمُ فِي (الۡمُسۡتَدۡرَكِ) (الۡحَدِيث: ٣/٤٨٥٩). 
[6] أَخۡرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ فِي (١٣) كِتَابِ: الۡفَرَائِضِ (١٨) بَابِ: فِي الۡمَرۡآةِ تَرِثُ مِنۡ دِيَةِ زَوۡجِهَا (٢٩٢٧). 
وَأَخۡرَجَهُ التِّرۡمِذِيُّ فِي (٣٠) كِتَابِ: الۡفَرَائِضِ (١٨) بَابِ: مَا جَاءَ فِي مِيرَاثِ الۡمَرۡأَةِ فِي دِيَةِ زَوۡجِهَا (الۡحَدِيث: ٢١٠). وَأَخۡرَجَهُ ابۡنُ مَاجَهۡ فِي (٢١) كِتَابِ: الدِّيَاتِ (١٢) بَابِ: الۡمِيرَاثِ مِنَ الدِّيَةِ (الۡحَدِيث: ٢٦٤٢). وَأَخۡرَجَهُ الطَّبۡرَانِيُّ فِي (الۡمُعۡجَمِ الۡكَبِيرِ) (الۡحَدِيث: ١/٨٩٨).

Al-Ishabah - 183. Usaid bin Al-Hudhair

١٨٣ – أُسَيۡدُ بۡنُ الۡحُضَيۡرِ بۡنِ سِمَاكِ بۡنِ عَتِيكِ بۡنِ امۡرِىءِ الۡقَيۡسِ بۡنِ زَيۡدِ بۡنِ عَبۡدِ الۡأَشۡهَلِ الۡأَنۡصَارِيُّ الۡأَشۡهَلِيُّ

183. Usaid bin Al-Hudhair bin Simak bin ‘Atik bin Umru`ul Qais bin Zaid bin ‘Abdul Asyhal Al-Anshari Al-Asyhali

يُكۡنَى أَبَا يَحۡيَى وَأَبَا عَتِيكٍ، وَكَانَ أَبُوهُ حُضَيۡرٌ فَارِسَ الۡأَوۡسِ، وَرَئِيسَهُمۡ يَوۡمَ بُعَاثٍ، وَكَانَ أُسَيۡدٌ مِنَ السَّابِقِينَ إِلَى الۡإِسۡلَامِ، وَهُوَ أَحَدُ النُّقَبَاءِ لَيۡلَةَ الۡعَقَبَةِ، وَكَانَ إِسۡلَامُهُ عَلَى يَدِ مُصۡعَبِ بۡنِ عُمَيۡرٍ، وَقِيلَ سَعۡدِ بۡنِ مُعَاذٍ. وَاخۡتُلِفَ فِي شُهُودِهِ بَدۡرًا.
Berkunyah Abu Yahya dan Abu ‘Atik. Ayahnya, yaitu Hudhair, adalah ahli penunggang kuda kabilah Aus dan pemimpin mereka pada hari Bu’ats. Usaid termasuk orang yang awal-awal masuk Islam dan beliau adalah salah satu dari para pemuka kaum pada malam ‘Aqabah. Keislaman beliau melalui perantaraan Mush’ab bin ‘Umair, ada pula yang mengatakan melalui Sa’d bin Mu’adz. Diperselisihkan ikutnya beliau dalam perang Badr.
قَالَ ابۡنُ سَعۡدٍ: كَانَ شَرِيفًا كَامِلًا، وَآخَى رَسُولُ اللهِ ﷺ بَيۡنَهُ وَبَيۡنَ زَيۡدِ بۡنِ حَارِثَةَ، وَكَانَ مِمَّنۡ ثَبَتَ يَوۡمَ أُحُدٍ وَجُرِحَ حِينَئِذٍ سَبۡعَ جِرَاحَاتٍ. وَقَالَ ابۡنُ الۡكَلۡبِيِّ: شَهِدَ بَدۡرًا وَالۡعَقَبَةَ، وَكَانَ مِنَ النُّقَبَاءِ، وَأَنۡكَرَ غَيۡرُهُ عَدَّهُ فِي أَهۡلِ بَدۡرٍ، وَلَهُ أَحَادِيثُ فِي الصَّحِيحَيۡنِ وَغَيۡرِهِمَا.
Ibnu Sa’d berkata: Beliau adalah seorang tokoh yang memiliki kemuliaan lengkap. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu mempersaudarakan antara beliau dengan Zaid bin Haritsah. Beliau termasuk orang-orang yang tegar tidak mundur dalam peristiwa Uhud. Ketika itu beliau mendapatkan tujuh luka. Ibnul Kalbi berkata: Beliau mengikuti Badr dan ‘Aqabah dan beliau termasuk salah satu pemuka kaum yang mengikuti Bai’at ‘Aqabah. Namun, selain beliau mengingkari dimasukkannya beliau ke dalam pasukan Badr. Beliau memiliki hadits-hadits di dalam dua kitab Shahih dan selainnya.
قَالَ الۡبَغَوِيُّ: حَدَّثَنَا ابۡنُ زَنۡبُورٍ، حَدَّثَنَا ابۡنُ أَبِي حَازِمٍ عَنۡ سُهَيۡلٍ عَنۡ أَبِيهِ عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: (نِعۡمَ الرَّجُلُ أُسَيۡدُ بۡنُ حُضَيۡرٍ)[1].
Al-Baghawi berkata: Ibnu Zanbur telah menceritakan kepada kami, Ibnu Abu Hazim menceritakan kepada kami dari Suhail dari ayahnya dari Abu Hurairah: Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik lelaki adalah Usaid bin Hudhair.”
وَقَالَ ابۡنُ إِسۡحَاقَ: حَدَّثَنَا يَحۡيَى بۡنُ عَبَّادِ بۡنِ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ الزُّبَيۡرِ عَنۡ أَبِيهِ عَنۡ عَائِشَةَ قَالَتۡ: ثَلَاثَةٌ مِنَ الۡأَنۡصَارِ لَمۡ يَكُنۡ أَحَدٌ مِنۡهُمۡ يُلۡحَقُ فِي الۡفَضۡلِ، كُلُّهُمۡ مِنۡ بَنِي عَبۡدِ الۡأَشۡهَلِ: سَعۡدُ بۡنُ مُعَاذٍ، وَأُسَيۡدُ بۡنُ حُضَيۡرٍ، وَعَبَّادُ بۡنُ بِشۡرٍ.
Ibnu Ishaq berkata: Yahya bin ‘Abbad bin ‘Abdullah bin Az-Zubair telah menceritakan kepada kami dari ayahnya dari ‘Aisyah, beliau berkata: Ada tiga orang dari kalangan Anshar yang tidaklah seorang pun dari mereka bisa disusul keutamaannya. Kesemuanya dari bani ‘Abdul Asyhal, yaitu: Sa’d bin Mu’adz, Usaid bin Hudhair, dan ‘Abbad bin Bisyr.
وَأَخۡرَجَ أَحۡمَدُ فِي مُسۡنَدِهِ مِنۡ طَرِيقِ فَاطِمَةَ بِنۡتِ الۡحُسَيۡنِ بۡنِ عَلِيٍّ عَنۡ عَائِشَةَ قَالَتۡ: كَانَ أُسَيۡدُ بۡنُ حُضَيۡرٍ مِنۡ أَفَاضِلِ النَّاسِ، وَكَانَ يَقُولُ: لَوۡ أَنِّي أَكُونُ كَمَا أَكُونُ عَلَى أَحۡوَالٍ ثَلَاثٍ، لَكُنۡتُ حِيۡنَ أَسۡمَعُ الۡقُرۡآنَ أَوۡ أَقۡرَأُهُ، أَوۡ حِينَ أَسۡمَعُ خُطۡبَةَ رَسُولِ اللهِ ﷺ، وَإِذَا شَهِدۡتُ جِنَازَةً.
Ahmad meriwayatkan dalam Musnad beliau dari jalan Fathimah bintu Al-Husain bin ‘Ali dari ‘Aisyah, beliau berkata: Usaid bin Hudhair termasuk orang-orang termulia. Dulu beliau pernah berkata: Sekiranya keadaanku bisa untuk selalu seperti keadaanku di atas tiga keadaan, tentu aku lakukan: yaitu keadaan ketika aku mendengar Al-Qur`an atau membacanya, atau ketika aku mendengar khotbah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ketika aku mengikuti penyelenggaraan jenazah.
وَرَوَى الۡوَاقِدِيُّ مِنۡ طَرِيقِ طَلۡحَةَ بۡنِ عَبۡدِ اللهِ التَّيۡمِيِّ قَالَ: كَانَ أَبُو بَكۡرٍ لَا يُقَدِّمُ أَحَدًا مِنَ الۡأَنۡصَارِ عَلَى أُسَيۡدِ بۡنِ حُضَيۡرٍ.
Al-Waqidi meriwayatkan dari jalan Thalhah bin ‘Abdullah At-Taimi, beliau berkata: Dahulu Abu Bakr tidak mendahulukan seorang pun dari kalangan Anshar terhadap Usaid bin Hudhair.
وَرَوَى الۡبُخَارِيُّ فِي تَارِيخِهِ عَنِ ابۡنِ عُمَرَ قَالَ[2]: لَمَّا مَاتَ أُسَيۡدُ بۡنُ حُضَيۡرٍ قَالَ عُمَرُ لِغُرَمَائِهِ فَذَكَرَ قِصَّةً تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ مَاتَ فِي أَيَّامِهِ.
Al-Bukhari meriwayatkan di dalam kitab tarikh beliau dari Ibnu ‘Umar, beliau berkata: Tatkala Usaid bin Hudhair meninggal, ‘Umar berkata kepada orang-orang yang memberi utang kepada Usaid, lalu beliau menyebutkan suatu kisah yang menunjukkan bahwa beliau meninggal pada masa pemerintahannya.
وَرَوَى ابۡنُ السَّكَنِ مِنۡ طَرِيقِ ابۡنِ عُيَيۡنَةَ عَنۡ هِشَامِ بۡنِ عُرۡوَةَ عَنۡ أَبِيهِ قَالَ: لَمَّا مَاتَ أُسَيۡدُ بۡنُ حُضَيۡرٍ بَاعَ عُمَرُ مَالَهُ ثَلَاثَ سِنِينَ فَوَفَّى بِهَا دِينَهُ، وَقَالَ: لَا أَتۡرُكُ بَنِي أَخِي عَالَةً فَرَدَّ الۡأَرۡضَ وَبَاعَ ثَمَرَهَا.
Ibnus Sakan meriwayatkan dari jalan Ibnu ‘Uyainah dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, beliau berkata: Tatkala Usaid bin Hudhair meninggal, ‘Umar menjual hartanya selama tiga tahun dan melunasi utangnya dari hasil itu. Beliau juga berkata: Aku tidak akan meninggalkan anak-anak saudaraku dalam keadaan miskin. Maka beliau pun mengembalikan (tidak menjual) tanah Usaid dan menjual hasil panennya.
وَأَرَّخَ الۡبَغَوِيُّ وَغَيۡرُهُ وَفَاتَهُ سَنَةَ عِشۡرِينَ. وَقَالَ الۡمَدَائِنِيُّ: سَنَةَ إِحۡدَى وَعِشۡرِينَ.
Al-Baghawi dan selain beliau memperkirakan wafat beliau pada tahun 20 H. Al-Madaini berkata: Wafat beliau pada tahun 21 H. 

[1] أَخۡرَجَهُ التِّرۡمِذِيُّ (٥٠) كِتَاب: الۡمَنَاقِبِ، (٣٣) بَاب: مَنَاقِبِ مُعَاذِ بۡنِ جَبَلٍ... (الۡحَدِيث ٣٧٩٥). 
[2] أَخۡرَجَهُ الۡبُخَاريُّ فِي (التَّارِيخِ الۡكَبِيرِ) (١/٤٧).

Dia... di atas Langit

Amat mengherankan perkaranya ketika dimunculkan satu pertanyaan i'tiqodiyah, "Di mana Allah?", kita mendapatkan jawaban yang bermacam-macam dan berbeda-beda dari mulut-mulut kaum muslimin. Ada yang beranggapan bahwa tidak boleh mempertanyakan di mana Allah, tetapi tak sedikit pula yang menjawab, "Allah ada di mana-mana", lebih ironisnya ada yang mengatakan, "Allah tidak di atas, tidak juga di bawah, tidak di sebelah kanan tidak pula di sebelah kiri, tidak di barat tidak di timur, tidak di selatan tidak juga di utara."

Para pembaca, sungguh sangat memprihatinkan bila seorang muslim atau banyak muslim tidak mengetahui masalah pokok dalam agamanya ini, tapi apa hendak dikata bila memang realita yang ada menunjukkan demikian, satu fenomena yang cukup mu`sif (menyedihkan) menimpa ummat ini yang dilatarbelakangi dengan jauhnya dari pendidikan ilmu agama yang benar, sementara Allah telah berfirman,
يُؤۡتِى ٱلۡحِكۡمَةَ مَن يَشَآءُ ۚ وَمَن يُؤۡتَ ٱلۡحِكۡمَةَ فَقَدۡ أُوتِىَ خَيۡرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُو۟لُوا۟ ٱلۡأَلۡبَـٰبِ
"Allah menganugrahkan al hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al Qur`an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran." (QS Al Baqoroh: 269).
قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِى ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُو۟لُوا۟ ٱلۡأَلۡبَـٰبِ
"Katakanlah: 'Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?' Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (QS Az Zumar: 9).

Bagaimana tidak dikatakan hal yang pokok dalam agama, pengetahuan tentang "di mana Allah?" tatkala ternyata Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikannya sebagai dalil akan kebenaran iman seseorang. Di dalam Shohih Muslim, dan Sunan Abi Daud, Sunan An Nasa`i, dan lainnya dari sahabat Mu'awiyah bin Hakam as Sulami, ia berkata: Aku punya seorang budak yang biasa menggembalakan kambingku ke arah Uhud dan sekitarnya, pada suatu hari aku mengontrolnya, tiba-tiba seekor serigala telah memangsa salah satu darinya -sedang aku ini seorang laki-laki keturunan Adam yang juga sama merasakan kesedihan- maka akupun amat menyayangkannya hingga kemudian akupun menamparnya (menampar budaknya, pent.), lalu aku mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan kuceritakan kejadian itu padanya. Beliau membesarkan hal itu padaku, aku pun bertanya, "Wahai Rosulullah apakah aku harus memerdekakannya?" Beliau menjawab, "Panggil dia kemari!" Aku segera memanggilnya, lalu beliau bertanya padanya, "Di mana Allah?" Dia menjawab, "Di langit." "Siapa aku?" tanya Rosul. "Engkau Rosulullah (utusan Allah)" ujarnya. Kemudian Rosulullah berkata padaku, "Merdekakan dia, sesungguhnya dia seorang mu`min."

Di dalam hadits ini terkandung tiga pelajaran yang sangat signifikan.

  • Pertama: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan keimanan sang budak ketika ia mengetahui bahwa Allah di atas langit.
  • Kedua: Disyari'atkannya ucapan seorang muslim yang bertanya "Di mana Allah?".
  • Ketiga: Disyari'atkannya bagi orang yang ditanya hal itu agar menjawab, "Di atas langit." Sulaiman at Taimi, salah seorang tabi'in mengatakan, "Bila aku ditanya di mana Allah? Aku pasti akan menjawab di atas langit."

Para pembaca, apa jadinya jika ternyata sebagian kaum yang taunya sebatas "air barokah" dan orang-orang yang spesialisasinya hanya itu kemudian apriori untuk menolak bahkan lebih dari itu mengkafirkan orang yang mempertanyakan "Di mana Allah?" Ketahuilah bahwa siapa saja yang mengingkari permasalahan ini berarti ia telah mengingkari Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, wal 'iyadzubillah bila kemudian mengkafirkannya. Jawaban seorang budak dalam hadits di atas sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta'ala,
ءَأَمِنتُم مَّن فِى ٱلسَّمَآءِ أَن يَخۡسِفَ بِكُمُ ٱلۡأَرۡضَ فَإِذَا هِىَ تَمُورُ ۝١٦ أَمۡ أَمِنتُم مَّن فِى ٱلسَّمَآءِ أَن يُرۡسِلَ عَلَيۡكُمۡ حَاصِبًا
"Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit, bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu... Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu." (QS Al Mulk: 16-17).
Tidaklah mengherankan bila kemudian penetapan bahwa Dzat Allah di atas langit menjadi keyakinan para imam yang empat, imam Abu Hanifah -seorang alim dari negeri Iraq- berkata, "Barangsiapa yang mengingkari Allah 'azza wa jalla di langit maka ia telah kufur!" Imam Malik -imam Darul Hijroh- mengatakan, "Allah di atas langit, sedang ilmuNya (pengetahuanNya) di setiap tempat, tidak akan luput sesuatu darinya." Muhammad bin Idris yang lebih dikenal dengan sebutan Imam asy Syafi'i berkata, "Berbicara tentang sunnah yang menjadi peganganku dan para ahli hadits yang saya lihat dan ambil ilmunya seperti Sufyan, Malik, dan selain keduanya, adalah berikrar bahwa tidak ada ilah (yang berhak untuk diibadahi secara benar) kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, serta bersaksi bahwa Allah itu di atas 'arsy di langit..." Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, "Apakah Allah di atas langit yang ke tujuh di atas 'arsyNya jauh dari makhlukNya, sedangkan kekuasaanNya dan pengetahuanNya di setiap tempat?" Beliau menjawab, "Ya, Dia di atas 'arsyNya tidak akan luput sesuatupun darinya." (Lihat kitab Al 'Uluw, Imam adz Dzahabi).

Aqidah yang agung ini telah tertanam dalam dada-dada kaum muslimin periode pertama, para salafus sholih ahlussunnah wal jama'ah. Berkata Imam Qutaibah bin Sa'id -wafat pada tahun 240 H-, "Ini adalah pendapat / ucapan para imam-imam Islam, sunnah, dan jama'ah, bahwa kita mengenal Rabb kita di atas langit yang ke tujuh di atas 'arsyNya." Sehingga semakin jelaslah bahwa Allah di atas langit sebagai ijma ahlissunnah wal jama'ah yang berlandaskan Kitab, Sunnah, akal, dan fitrah. Allah berfirman,
دَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ
"Dia mengatur urusan dari langit ke bumi." (QS As Sajdah: 5).
إِلَيۡهِ يَصۡعَدُ ٱلۡكَلِمُ ٱلطَّيِّبُ وَٱلۡعَمَلُ ٱلصَّـٰلِحُ يَرۡفَعُهُۥ
"KepadaNyalah naik perkataan yang baik dan amal sholeh yang dinaikkanNya." (QS Fathir: 10).
تَعۡرُجُ ٱلۡمَلَـٰٓئِكَةُ وَٱلرُّوحُ إِلَيۡهِ فِى يَوۡمٍ كَانَ مِقۡدَارُهُۥ خَمۡسِينَ أَلۡفَ سَنَةٍ
"Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhannya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun." (QS Al Ma'arij: 4).
ءَأَمِنتُم مَّن فِى ٱلسَّمَآءِ
"Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit..." (QS Al Mulk: 16-17).
سَبِّحِ ٱسۡمَ رَبِّكَ ٱلۡأَعۡلَى
"Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi." (QS Al A'laa: 1).
Dan ayat-ayat lainnya teramat banyak untuk disebutkan sampai-sampai sebagian besar kalangan Syafi'i mengatakan, "Di dalam Al Qur`an terdapat seribu dalil atau bahkan lebih menunjukkan bahwa Allah ta'ala tinggi di atas makhlukNya." (Majmu'ul Fatawa: 5/226). Di dalam Shohih Bukhori dan Muslim dari sahabat Abu Bakroh radhiyallahu 'anhu bahwa ketika Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan manusia pada hari Arafah, beliau berkata, "Ya Allah, saksikanlah" (seraya mengangkat jari telunjuknya ke arah langit). Semua orang yang berakal akan menetapkan bahwa ketinggian adalah sifat sempurna sedangkan kebalikannya adalah sifat kekurangan, sementara Allah 'azza wa jalla tersucikan dari hal-hal yang bersifat kekurangan, ini semua menunjukkan bahwa Dzat Allah di atas langit adalah suatu kesempurnaan bagiNya. Demikian pula secara fitroh, semua kaum muslimin di belahan dunia apabila berdo'a mengangkat kedua tangannya ke langit, tak didapatkan seorang pun dari mereka apabila mengatakan, "Ya Allah, ampunilah dosaku" mengarahkan kedua tangannya ke tanah -selama-lamanya!!- menunjukkan secara fitrah, semua manusia menetapkan bahwa Dzat Allah di atas langit.

Para pembaca, perjalanan waktu yang cukup lama aqidah Islam ini tak lagi dikenal dan diketahui mayoritas umat Islam, seakan-akan sirna dari sumbernya, malah sebaliknya faham-faham Jahmiyah, Asy'ariyah, Mu'tazilah, dan ahli kalam yang merajalela bak wabah penyakit yang menular. Kalangan anak-anak, remaja, dan para orang tua, bahkan sang ustadz atau kyai dan guru ngaji bila ditanya, "Di mana Allah?" serempak menjawab, "Allah ada di mana-mana." Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un. Sebagian yang dinisbatkan kepada ilmu berdalil atas pernyataannya itu dengan firman Allah,
وَهُوَ مَعَكُمۡ أَيۡنَ مَا كُنتُمۡ
"Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada." (QS Al Hadid: 4).
Memang menjadi ciri khas ahli bathil adalah "seenaknya mengambil dalil tetapi buruk ketika berdalil". Ketahuilah bahwa ayat itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa Allah ada di mana-mana, sebab bila difahami demikian, maka tentu ketika seseorang berada di masjid Allah ada di situ, ketika di pasar Allah juga ada di situ, bahkan tatkala seseorang berada di tempat kotor sekalipun, seperti WC, maka Allah pun ada di situ! Maha tinggi Allah atas pernyataan-pernyataan ini. Tetapi maksud dari ayat itu "Dia bersama kamu..." ialah ilmuNya, pengawasanNya, penjagaanNya bersama kamu, sedang Dzat Allah di atas arsy di langit. (Lihat Tafsir Qur`anil Azhim: 4/317). Imam Sufyan ats Tsaury -wafat pada tahun 161 H- pernah ditanya tentang ayat ini "Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada." Beliau menjawab, "yakni ilmuNya." Hanbal bin Ishaq berkata: Abu Abdillah (Imam Ahmad, pent.) ditanya apa makna "Dan Dia bersama kamu"? Beliau menjawab, "Yakni ilmuNya, ilmuNya meliputi segala hal sedangkan Rabb kita di atas arsy..." Imam Nu'aim bin Hammad -wafat pada tahun 228 H- ditanya tentang firman Allah "Dan Dia bersama kamu" beliau berkata, "Maknanya tidak ada sesuatupun yang luput darinya, dengan ilmunya." (lihat Al 'Uluw, Imam adz Dzahabi). Ketika Imam Abu Hanifah mengatakan, "Allah subhanahu wa ta'ala di langit tidak di bumi", ada yang bertanya, "Tahukah Anda bahwa Allah berfirman, 'Dia (Allah) bersama kamu'?" Beliau menjawab, "Ungkapan itu seperti kamu menulis surat kepada seseorang "saya akan selalu bersama kamu" padahal kamu jauh darinya. (I'tiqodul a`immah al arba'ah).

Para pembaca -semoga dirahmati Allah- sudah saatnya kita tanamkan kembali aqidah yang murni warisan Nabi dan para salafus sholih ini di dalam jiwa-jiwa generasi Islam kini dan mendatang. Sungguh keindahan, ketentraman mewarnai anak-anak kita dan para orang tua saat kita tanyai "Di mana Allah?" lalu mereka mengarahkan jari telunjuknya ke atas dan berucap, "Allah di langit." Wallahul haadi ila sabilir rosyaad. Wal ilmu indallah.

Ditulis oleh al Ustadz Abu Hamzah al Atsari.

Sumber: Buletin Al-Wala` Wal-Bara` Edisi ke-42 Tahun ke-1 / 03 Oktober 2003 M / 06 Sya'ban 1424 H.

Al-Ishabah - 911. Tsabit bin Waqsy

٩١١ – ثَابِتُ بۡنُ وَقۡشِ بۡنِ زُغۡبَةَ بۡنِ زَعُورَاءَ بۡنِ عَبۡدِ الۡأَشۡهَلِ الۡأَنۡصَارِيُّ الۡأَشۡهَلِيُّ

911. Tsabit bin Waqsy bin Zughbah bin Za’ura` bin ‘Abdul Asyhal Al-Anshari Al-Asyhali

ذَكَرَ ابۡنُ إِسۡحَاقَ فِي الۡمَغَازِي قَالَ: حَدَّثَنِي عَاصِمُ بۡنُ عُمَرَ عَنۡ مَحۡمُودِ بۡنِ لَبِيدٍ قَالَ: لَمَّا خَرَجَ رَسُولُ اللهِ ﷺ إِلَى أُحُدٍ رَفَعَ ثَابِتَ بۡنَ وَقۡشٍ وَحِسۡلَ بۡنَ جَابِرٍ، وَهُوَ وَالِدُ حُذَيۡفَةَ بۡنِ الۡيَمَانِ فِي الۡآطَامِ مَعَ النِّسَاءِ وَالصِّبۡيَانِ وَكَانَا شَيۡخَيۡنِ كَبِيرَيۡنِ، فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِلۡآخَرِ: لَا أَبَا لَكَ، مَا نَنۡتَظِرُ؟ إِنَّمَا نَحۡنُ هَامَةٌ الۡيَوۡمَ أَوۡ غَدًا، فَلَحِقَا بِالۡمُسۡلِمِينَ لِيُرۡزَقَا الشَّهَادَةَ، فَلَمَّا دَخَلَا فِي النَّاسِ قَتَلَ الۡمُشۡرِكُونَ ثَابِتَ بۡنَ وَقۡشٍ، وَالۡتَفَّتۡ أَسۡيَافُ الۡمُسۡلِمِينَ عَلَى وَالِدِ حُذَيۡفَةَ فَقَالَ حُذَيۡفَةُ: أَبِي أَبِي فَقَتَلُوهُ، وَهُمۡ لَا يَعۡرِفُونَهُ، فَقَالَ حُذَيۡفَةُ: يَغۡفِرُ اللهُ لَكُمۡ، وَتَصَدَّقَ بِدِيَتِهِ عَلَى الۡمُسۡلِمِينَ، وَقِصَّةُ وَالِدِ حُذَيۡفَةَ فِي ذٰلِكَ فِي الصَّحِيحِ مِنۡ حَدِيثِ عَائِشَةَ لَكِنۡ لَيۡسَ فِيهِ ذِكۡرُ ثَابِتٍ.
Ibnu Ishaq menyebutkan di dalam Al-Maghazi, beliau berkata: ‘Ashim bin ‘Umar dari Mahmud bin Labid, beliau berkata: Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju Uhud, beliau mengirim Tsabit bin Waqsy dan Hisl bin Jabir –beliau ayah Hudzaifah ibnul Yaman- ke benteng bersama para wanita dan anak-anak. Keduanya adalah dua orang yang sudah lanjut usia. Salah satu dari mereka berkata kepada yang lain: Tidak ada ayah bagimu! Apa yang kita tunggu? Kita ini sudah dekat dengan kematian. Lalu keduanya menyusul kaum muslimin agar bisa meraih syahid. Ketika keduanya masuk ke kancah peperangan, pasukan musyrikin berhasil membunuh Tsabit bin Waqsy. Sedangkan pedang-pedang pasukan muslimin berbalik mengurung ayahnya Hudzaifah. Hudzaifah menyeru: Ayahku, ayahku. Namun mereka telah membunuhnya dalam keadaan mereka tidak mengetahuinya. Hudzaifah berkata: Semoga Allah mengampuni kalian. Lalu ia mensedekahkan diatnya kepada kaum muslimin. Dan kisah Hudzaifah tersebut ada di kitab Shahih dari hadits ‘Aisyah, namun Tsabit tidak disebutkan padanya.

Al-Ishabah - 1712. Hisl bin Jabir

١٧١٢ – حِسۡلُ – بِكَسۡرِ أَوَّلِهِ وَسُكُونِ ثَانِيهِ – بۡنُ جَابِرِ الۡعَبۡسِيُّ وَالِدُ حُذَيۡفَةَ

1712. Hisl –dengan mengkasrah huruf pertama dan menyukun huruf kedua- bin Jabir Al-‘Absi, ayah dari Hudzaifah

يَأۡتِي فِي حُسَيۡلٍ بِالتَّصۡغِيرِ.. (ز).
Akan datang pada Husail dengan bentuk tashghir.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 6316

١٠ – بَابُ الدُّعَاءِ إِذَا انۡتَبَهَ بِاللَّيۡلِ

10. Bab doa ketika terbangun di waktu malam

٦٣١٦ – حَدَّثَنَا عَلِيُّ بۡنُ عَبۡدِ اللهِ: حَدَّثَنَا ابۡنُ مَهۡدِيٍّ، عَنۡ سُفۡيَانَ، عَنۡ سَلَمَةَ، عَنۡ كُرَيۡبٍ، عَنِ ابۡنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا قَالَ: بِتُّ عِنۡدَ مَيۡمُونَةَ، فَقَامَ النَّبِيُّ ﷺ فَأَتَى حَاجَتَهُ، غَسَلَ وَجۡهَهُ وَيَدَيۡهِ، ثُمَّ نَامَ، ثُمَّ قَامَ، فَأَتَى الۡقِرۡبَةَ فَأَطۡلَقَ شِنَاقَهَا، ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءًا بَيۡنَ وُضُوءَيۡنِ لَمۡ يُكۡثِرۡ، وَقَدۡ أَبۡلَغَ، فَصَلَّى، فَقُمۡتُ فَتَمَطَّيۡتُ، كَرَاهِيَةَ أَنۡ يَرَى أَنِّي كُنۡتُ أَتَّقِيهِ، فَتَوَضَّاۡتُ، فَقَامَ يُصَلِّي، فَقُمۡتُ عَنۡ يَسَارِهِ، فَأَخَذَ بِأُذُنِي عَنۡ يَمِينِهِ، فَتَتَامَّتۡ صَلَاتُهُ ثَلَاثَ عَشۡرَةَ رَكۡعَةً، ثُمَّ اضۡطَجَعَ فَنَامَ حَتَّى نَفَخَ، وَكَانَ إِذَا نَامَ نَفَخَ، فَآذَنَهُ بِلَالٌ بِالصَّلَاةِ، فَصَلَّى وَلَمۡ يَتَوَضَّأۡ، وَكَانَ يَقُولُ فِي دُعَائِهِ: (اللّٰهُمَّ اجۡعَلۡ فِي قَلۡبِي نُورًا، وَفِي بَصَرِي نُورًا، وَفِي سَمۡعِي نُورًا، وَعَنۡ يَمِينِي نُورًا، وَعَنۡ يَسَارِي نُورًا، وَفَوۡقِي نُورًا، وَتَحۡتِي نُورًا، وَأَمَامِي نُورًا، وَخَلۡفِي نُورًا، وَاجۡعَلۡ لِي نُورًا). قَالَ كُرَيۡبٌ: وَسَبۡعٌ فِي التَّابُوتِ، فَلَقِيتُ رَجُلًا مِنۡ وَلَدِ الۡعَبَّاسِ، فَحَدَّثَنِي بِهِنَّ، فَذَكَرَ عَصَبِي وَلَحۡمِي وَدَمِي وَشَعَرِي وَبَشَرِي، وَذَكَرَ خَصۡلَتَيۡنِ. [طرفه في: ١١٧].
6316. 'Ali bin 'Abdullah telah menceritakan kepada kami: Ibnu Mahdi menceritakan kepada kami, dari Sufyan, dari Salamah, dari Kuraib, dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata: Aku pernah bermalam di rumah Maimunah. Malam itu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bangkit berdiri lalu menunaikan hajat. Lalu mencuci wajah dan kedua tangannya, kemudian tidur. Kemudian beliau bangun menuju wadah air dan membuka ikatannya. Lalu beliau berwudhu` dengan wudhu` yang pertengahan, tidak berlebihan air namun sudah mencukupi. Beliau lalu shalat. Aku bangun dan meregangkan badan karena tidak suka kalau beliau mengetahui bahwa aku sudah memperhatikan beliau dari tadi. Lalu aku wudhu` kemudian shalat. Aku berdiri di sebelah kiri beliau. Ternyata beliau menarik telingaku ke sebelah kanan beliau. Beliau menyelesaikan sebanyak tiga belas raka'at. Setelah itu beliau berbaring dan tidur sampai mendengkur. Dan beliau memang terbiasa mendengkur apabila tidur. Setelah itu, Bilal mengumumkan shalat kepada beliau. Lalu beliau pun shalat tanpa berwudhu` lagi. Beliau berkata di dalam doa beliau, “Ya Allah, jadikanlah cahaya di dalam hatiku, cahaya di penglihatanku, cahaya di telingaku, cahaya di sebelah kananku, cahaya di sebelah kiriku, cahaya di atasku, cahaya di bawahku, cahaya di depanku, cahaya di belakangku, dan jadikanlah cahaya untukku.” Kuraib berkata: Dan ada tujuh tempat cahaya yang dahulu kuhafal di dadaku, lalu aku bertemu seseorang anaknya Al-'Abbas yang menceritakanku ketujuh tempat itu. Dia menyebutkan urat sarafku, dagingku, darahku, rambutku, kulitku. Dan dia menyebutkan dua tempat lagi.

At-Tuhfatul Wushabiyyah - Bab Fa'il

بَابُ الۡفَاعِلِ

قَالَ: (بَابُ الۡفَاعِلِ) الۡفَاعِلُ هُوَ: الۡاسۡمُ، الۡمَرۡفُوعُ، الۡمَذۡكُورُ قَبۡلَهُ فِعۡلُهُ.
Bab Fa'il. Fa'il adalah isim yang dirafa' yang fi'ilnya disebutkan sebelumnya.
أَقُولُ: الۡفَاعِلُ لُغَةً، مَنۡ أَوۡجَدَ الۡفِعۡلَ. وَاصۡطِلَاحًا: مَا ذَكَرَهُ الۡمُصَنِّفُ بِقَوۡلِهِ: (هُوَ الۡاسۡمُ) إلخ.
فَقَوۡلُهُ: (الۡاسۡمُ) خَرَجَ بِهِ الۡفِعۡلُ وَالۡحَرۡفُ؛ فَلَا يَكُونُ وَاحِدٌ مِنۡهُمَا فَاعِلًا.
وَقَوۡلُهُ: (الۡمَرۡفُوعُ) خَرَجَ بِهِ الۡمَنۡصُوبُ وَالۡمَجۡرُورُ؛ فَلَا يَكُونُ وَاحِدٌ مِنۡهُمَا فَاعِلًا.
وَقَوۡلُهُ: (الۡمَذۡكُورُ قَبۡلَهُ فِعۡلُهُ) خَرَجَ بِهِ الۡمُبۡتَدَأُ وَالۡخَبَرُ وَبَقِيَّةُ الۡمَرۡفُوعَاتِ؛ فَإِنَّ الۡمُبۡتَدَأَ -مَثَلًا- اسۡمٌ مَرۡفُوعٌ، لَمۡ يُذۡكَرۡ قَبۡلَهُ فِعۡلٌ أَصۡلًا.
Fa'il secara bahasa adalah siapa saja yang mewujudkan suatu perbuatan. Adapun secara istilah adalah yang disebutkan penyusun dengan ucapannya: “Isim...” sampai selesai.
Ucapan beliau “isim” berarti fi'il dan huruf tidak termasuk, sehingga salah satu dari keduanya tidak bisa menjadi fa'il.
Ucapan beliau “yang dirafa'” berarti yang dinashab dan dijar tidak termasuk. Sehingga salah satu dari kedua jenis isim itu tidak bisa menjadi fa'il.
Ucapan beliau “yang fi'ilnya disebutkan sebelumnya” berarti mubtada`, khabar, dan isim marfu' lainnya tidak termasuk. Karena mubtada` -misalnya- adalah isim yang dirafa' namun fi'ilnya tidak disebutkan sebelumnya secara asal.
مِثَالُ الۡفَاعِلِ قَوۡلُكَ: (قَامَ بَكۡرٌ) وَ(ضَرَبَ مُحَمَّدٌ زَيۡدًا) وَقَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿وَجَآءَ رَبُّكَ﴾ [الفجر: ٢٢] فَكُلٌّ مِنۡ (بَكۡرٌ وَمُحَمَّدٌ وَرَبُّكَ) فَاعِلٌ؛ لِأَنَّهُ اسۡمٌ مَرۡفُوعٌ تَقَدَّمَهُ فِعۡلُهُ الۡوَاقِعُ مِنۡهُ وَهُوَ (قَامَ وَضَرَبَ وَجَاءَ).
فَعُلِمَ مِمَّا تَقَدَّمَ أَنَّ الۡفَاعِلَ لَا يَكُونُ إِلَّا اسۡمًا، وَلَا يَكُونُ إِلَّا مَرۡفُوعًا، وَلَا يَكُونُ إِلَّا مُؤَخَّرًا عَنِ الۡفِعۡلِ.
Contoh fa'il adalah ucapanmu: قَامَ بَكۡرٌ dan ضَرَبَ مُحَمَّدٌ زَيۡدًا, serta firman Allah ta'ala: وَجَآءَ رَبُّكَ (QS. Al-Fajr: 22). Jadi setiap dari بَكۡرٌ, مُحَمَّدٌ, dan رَبُّكَ adalah fa'il karena ia adalah isim yang dirafa' yang didahului oleh fi'il (perbuatan) yang dilakukannya yaitu قَامَ, ضَرَبَ, dan جَاءَ.
Jadi, telah diketahui dari pembahasan di atas, bahwa fa'il tidak bisa kecuali berupa isim, tidak bisa kecuali dirafa', dan tidak bisa kecuali terletak setelah fi'il.

Lihat pula:
  • Pembahasan Bab Fa'il pada kitab At-Tuhfatus Saniyyah