Cari Blog Ini

Taisirul 'Allam - Hadits ke-76

الۡحَدِيثُ السَّادِسُ وَالسَّبۡعُونَ

٧٦ – عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: (إِذَا أَمَّنَ الۡإِمَامُ فَأَمِّنُوا، فَإِنَّهُ مَنۡ وَافَقَ تَأۡمِينُهُ تَأۡمِينَ الۡمَلَائِكَةِ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنۡ ذَنۡبِهِ)[1].
76. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila imam membaca amin, ikutlah kalian membaca amin. Karena siapa saja yang bacaan aminnya bertepatan dengan bacaan amin malaikat, dosanya yang lalu akan diampuni.”

الۡمَعۡنَى الۡإِجۡمَالِي:

دُعَاءُ فَاتِحَةِ الۡكِتَابِ هُوَ أَحۡسَنُ الدُّعَاءِ وَأَنۡفَعُهُ، لِذَا شُرِعَ لِلۡمُصَلِّي –إِمَامًا كَانَ أَوۡ مَأۡمُومًا أَوۡ مُنۡفَرِدًا- أَنۡ يُؤَمِّنَ بَعۡدَهُ، لِأَنَّ التَّأۡمِينَ طَابِعُ الدُّعَاءِ.
فَأَمَرَنَا النَّبِيُّ ﷺ أَنۡ نُؤَمِّنَ إِذَا أَمَّنَ الۡإِمَامُ، لِأَنَّ ذٰلِكَ هُوَ وَقۡتُ تَأۡمِينِ الۡمَلَائِكَةِ، وَمَنۡ وَافَقَ تَأۡمِينُهُ تَأۡمِينَ الۡمَلَائِكَةِ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنۡ ذَنۡبِهِ.
وَهَٰذِهِ غَنِيمَةٌ جَلِيلَةٌ وَفُرۡصَةٌ ثَمِينَةٌ، أَلَا وَهِيَ غُفۡرَانُ الذُّنُوبِ بِأَيۡسَرِ الۡأَسۡبَابِ فَلَا يَفُوتُهَا إِلَّا مَحۡرُومٌ.

Makna secara umum:

Doa surah Al-Fatihah adalah doa yang paling baik dan paling bermanfaat. Untuk itulah disyariatkan bagi orang yang shalat, baik dia itu imam, makmum, atau shalat sendiri, untuk mengucapkan amin setelahnya. Karena bacaan amin adalah penutup doa. Sehingga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk mengucapkan amin ketika imam membaca amin, karena saat itu adalah waktu malaikat membaca amin. Dan siapa saja yang bacaan aminnya bertepatan dengan bacaan amin malaikat, dosanya yang lalu akan diampuni. Ini merupakan keuntungan yang mulia dan kesempatan yang berharga, yaitu pengampunan dosa dengan sebab-sebab yang sangat mudah. Maka, tidak ada yang luput mendapatkannya kecuali orang-orang yang terhalang dari kebaikan.

اخۡتِلَافُ الۡعُلَمَاءِ:

ذَهَبَ مَالِكٌ فِي إِحۡدَى الرِّوَايَتَيۡنِ عَنۡهُ إِلَى أَنَّ التَّأۡمِينَ لَا يُشۡرَعُ فِي حَقِّ الۡإِمَامِ وَتَأَوَّلَ الۡحَدِيثَ عَلَى مَعۡنَى: إِذَا بَلَغَ الۡإِمَامُ مَوۡضِعَ التَّأۡمِينِ، وَلَمۡ يَقۡصُدِ التَّأۡمِينَ نَفۡسَهُ.
وَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وَأَحۡمَدُ، إِلَى اسۡتِحۡبَابِ التَّأۡمِينِ لِكُلٍّ مِنَ الۡإِمَامِ وَالۡمَأۡمُومِ وَالۡمُنۡفَرِدِ، لِظَاهِرِ الۡحَدِيثِ الَّذِي مَعَنَا، وَغَيۡرِهِ.
وَذَهَبَتۡ الظَّاهِرِيَّةُ إِلَى الۡوُجُوبِ عَلَى كُلِّ مُصَلٍّ.
وَهُوَ ظَاهِرُ الۡحَدِيثِ فِي حَقِّ الۡمَأۡمُومِينَ، لِأَنَّ الۡأَمۡرَ يَقۡتَضِي الۡوُجُوبَ.

Perselisihan ulama:

Malik dalam salah satu dua riwayat dari beliau berpendapat bahwa bacaan amin tidak disyariatkan pada diri imam. Beliau menafsirkan hadits ini dengan makna: Apabila imam telah sampai tempat bacaan amin. Beliau tidak memaksudkan imam membaca amin. Asy-Syafi’i dan Ahmad berpendapat disukainya bacaan amin bagi imam, makmum, dan yang shalat sendirian berdasarkan lahiriah hadits yang sedang bersama kita ini dan hadits lainnya. Adapun Azh-Zhahiriyyah berpendapat wajibnya membaca amin bagi setiap orang yang shalat. Dan hal itu merupakan lahiriah hadits ini pada sisi para makmum karena perintah untuk melakukan suatu ibadah menuntut wajibnya ibadah itu.

مَا يُؤۡخَذُ مِنَ الۡحَدِيثِ مِنَ الۡأَحۡكَامِ:

١ – مَشۡرُوعِيَّةُ التَّأۡمِينِ لِلۡإِمَامِ، وَالۡمَأۡمُومِ، وَالۡمُنۡفَرِدِ.
٢ – أَنَّ الۡمَلَائِكَةَ تُؤَمِّنُ عَلَى دُعَاءِ الۡمُصَلِّينَ، وَالۡأَظۡهَرُ أَنَّ الۡمُرَادَ مِنۡهُمۡ الَّذِينَ يَشۡهَدُونَ تِلۡكَ الصَّلَاةَ مِنَ الۡمَلَائِكَةِ فِي الۡأَرۡضِ وَالسَّمَاءِ، وَاسۡتُدِلَّ لِذٰلِكَ بِمَا أَخۡرَجَهُ الۡبُخَارِيُّ مِنۡ أَنَّهُ ﷺ قَالَ: إِذَا قَالَ أَحَدُكُمۡ آمِينَ، وَقَالَتِ الۡمَلَائِكَةُ فِي السَّمَاءِ: آمِينَ، فَوَافَقَ أَحَدُهُمَا الۡآخَرَ، غَفَّرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنۡ ذَنۡبِهِ.
٣ – فَضِيلَةُ التَّأۡمِينِ، وَأَنَّهُ سَبَبٌ فِي غُفۡرَانِ الذُّنُوبِ.
لَكِنۡ عِنۡدَ مُحَقِّقِي الۡعُلَمَاءِ أَنَّ التَّكۡفِيرَ فِي هَٰذَا الۡحَدِيثِ وَأَمۡثَالِهِ، خَاصٌّ بِصَغَائِرِ الذُّنُوبِ، أَمَّا الۡكَبَائِرُ، فَلَا بُدَّ لَهَ مِنَ التَّوۡبَةِ.
٤ – أَنَّهُ يَنۡبَغِي لِلدَّاعِي وَالۡمُؤَمِّنِ عَلَى الدُّعَاءِ أَنۡ يَكُونَ حَاضِرَ الۡقَلۡبِ.
٥ – اسۡتَدَلَّ الۡبُخَارِيُّ بِهَٰذَا الۡحَدِيثِ عَلَى مَشۡرُوعِيَّةِ جَهۡرِ الۡإِمَامِ بِالتَّأۡمِينِ، لِأَنَّهُ عَلَّقَ تَأۡمِينَ الۡمُؤۡتَمِّينَ بِتَأۡمِينِهِ وَلَا يَعۡلَمُونَهُ إِلَّا بِسِمَاعِهِ. وَهَٰذَا قَوۡلُ الۡجُمۡهُورِ.
٦ – مِنَ الۡأَفۡضَلِ لِلدَّاعِي أَنۡ يُشَابِهَ الۡمَلَائِكَةَ فِي كُلِّ الصِّفَاتِ الَّتِي تَكُونُ سَبَبًا فِي الۡإِجَابَةِ، كَالتَّضَرُّعِ وَالۡخُشُوعِ وَالطَّهَارَةِ، وَحِلِّ الۡمَلۡبَسِ وَالۡمَشۡرَبِ وَالۡمَأۡكَلِ، وَحُضُورِ الۡقَلۡبِ، وَالۡإِقۡبَالُ عَلَى اللهِ فِي كُلِّ حَالٍ.

Hukum-hukum yang bisa dipetik dari hadits ini:

  1. Disyariatkan membaca amin bagi imam, makmum, dan yang shalat sendirian.
  2. Bahwa malaikat juga mengaminkan doa orang-orang yang shalat. Dan yang tampak, bahwa yang dimaksud adalah kalangan malaikat yang menghadiri shalat itu baik yang ada di bumi maupun di langit. Yang dijadikan dalil atas hal tersebut adalah riwayat yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang kalian membaca amin dan malaikat di langit membaca amin, lalu salah satu bacaan amin itu bertepatan dengan bacaan amin lainnya, niscaya Allah ampuni dosanya yang telah lalu.”
  3. Keutamaan bacaan amin, yang merupakan sebab diampuninya dosa-dosa. Namun, menurut ulama muhaqqiq (peneliti), bahwa penghapusan dosa di hadits ini dan semisalnya adalah khusus untuk dosa-dosa kecil. Adapun dosa besar dihapus harus dengan cara taubat.
  4. Bahwa orang yang berdoa dan yang mengaminkan doa seharusnya menghadirkan hatinya.
  5. Al-Bukhari menjadikan hadits ini dalil disyariatkannya imam mengeraskan bacaan amin karena Nabi mengaitkan bacaan amin makmum dengan bacaan amin imam. Dan makmum tidak mengetahui bacaan amin imam kecuali apabila mendengarnya. Dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
  6. Termasuk keutamaan untuk orang yang berdoa adalah agar menyerupai malaikat pada setiap sifat yang menjadi sebab dijawabnya doa. Seperti merendahkan diri, khusyu’, suci, halalnya pakaian, minuman, dan pakaiannya, hadirnya hati, dan menghadapkan dirinya kepada Allah pada setiap keadaan. 

[1] رَوَاهُ الۡبُخَارِيُّ (٧٨٠) فِي الۡأَذَانِ، (٦٤٠٢) فِي الدَّعَوَاتِ، وَمُسۡلِمٌ (٤٠٩) و(٤١٠) فِي الصَّلَاةِ، وَمَلِكٌ فِي (الۡمُوَطَّأ) (١/٨٧) فِي الصَّلَاةِ، وَأَبُو دَاوُدَ (٩٣٦) فِي الصَّلَاةِ، وَالتِّرۡمِذِيُّ (٢٥٠) فِي الصَّلَاةِ، وَالنَّسَائِيُّ (٢/١٤٣، ١٤٤) فِي الۡافۡتِتَاحِ، وَابۡنُ مَاجَهۡ (٨٥١) فِي إِقَامَةِ الصَّلَاةِ.