Cari Blog Ini

Wanita yang Mengalahkan Dunia untuk Akhirat

Kehidupan akhirat adalah satu di antara banyak perkara ghaib yang harus diimani oleh seorang muslim. Kabar-kabar tentangnya terpaparkan di banyak tempat, baik dalam Al kitab Al Qur’an maupun sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berbagai peristiwa di dalamnya, dan apa saja yang Allah subhanahu wa ta’ala sediakan bagi manusia sebagai balasan akan perbuatan dan amalan mereka selama di dunia, keindahan surga yang Allah subhanahu wa ta’ala peruntukkan bagi orang-orang yang bertakwa, ataupun neraka yang Allah subhanahu wa ta’ala sediakan bagi orang-orang yang durhaka kepada Rabbnya. Semua itu adalah perkara ghaib yang tidak nampak dalam pandangan manusia dan tidak terbayang dalam pikiran mereka.

Akan tetapi bagi seorang muslim yang mempunyai keimanan yang baik, sesuatu yang tidak nampak dalam pandangan ataupun tidak terbayang dalam pikiran bukanlah suatu alasan untuk tidak mengimani dan meyakini kabar yang datang dari sisi Rabbnya. Ketika hal tersebut benar terpaparkan di dalam kitabullah Al Qur’an dan juga sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada satu keraguan pun yang terbesit dalam pikiran mereka tentang perkara tersebut. Bahkan sebaliknya, mereka memosisikan perkara-perkara ghaib itu seperti halnya bisa mereka lihat dan mereka saksikan dengan mata kepala mereka sendiri. Sehingga dengan kekuatan iman yang demikian dapat membawa mereka untuk menukar keindahan dan kesenangan kehidupan dunia dengan keindahan dan kemuliaan kehidupan di akhirat yang Allah janjikan bagi orang-orang yang bertakwa.

Itulah kisah yang akan kita simak dalam rubrik niswah kali ini. Yaitu tentang kisah seorang wanita yang rela melepaskan sebagian hak dan kesenangannya di dunia untuk ditukar dengan kesenangan dan kemuliaan yang abadi di kehidupan akhirat. Dialah Ummul Mukminin Saudah Binti Zam’ah radhiyallahu ‘anha.

Nama beliau adalah Saudah binti Zam’ah bin Qais, dari Bani Amir bin Luaiy Al Quraisyah. Ibunya bernama Asy Syumus binti Qais bin Zaid bin Amr, dari Bani Najaar. Beliau termasuk orang-orang yang terdahulu masuk Islam. Sebelum menikah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Saudah binti Zam’ah menikah dengan Sakran bin Amr yang juga masuk Islam bersamanya. Ketika tekanan orang-orang Quraisy semakin keras, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan beberapa orang muslim untuk hijrah (pindah) ke negeri Habasyah yang berada di bawah kekuasaan Raja Najasyi yang terkenal keadilannya. Maka sekelompok sahabat terdiri dari dua belas orang laki-laki dan empat orang wanita berhijrah pertama kali ke Habasyah. Kelompok tersebut dipimpin oleh sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Turut bersamanya istrinya yaitu putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ruqayyah binti Muhammad radhiyallahu ‘anha. Ketika Allah Ta’ala menurunkan Al Qur’an surat An Najm hingga penutup surat, para pembesar Quraisy terkesima dengan lantunan kalam ilahi yang keindahannya sulit terlukiskan. Hingga ketika ayat terakhir surat An Najm dibacakan:
فَاسۡجُدُوا لِلهِ وَاعۡبُدُوا ۝٦٢
“Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah Dia.” [Q.S. An Najm:62].

Maka seketika sebagian dari mereka yang mendengar ayat tersebut tergerak tanpa sadar untuk bersujud karena tidak mampu menguasai dirinya. Sebenarnya cahaya keimanan tidak dapat terhindari untuk masuk ke dalam jiwa-jiwa mereka. Akan tetapi kesombongan yang menghalangi mereka untuk mengakui kebenaran yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga setelah peristiwa itu merekapun membuat cerita-cerita dusta yang menyudutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menyangkal sujudnya mereka ketika mendengar ayat Al Qur’an dibacakan. Berita tentang sujudnya orang-orang Quraisy terdengar oleh kaum muslimin di Habasyah. Mereka mengira bahwa kaum Quraisy telah masuk Islam. Mereka bersyukur kepada Allah dan memutuskan untuk kembali ke Makkah. Ketika hampir mendekati Makkah, barulah mereka menyadari prasangka mereka tidak benar. Sebagian dari mereka kembali ke Habasyah, sedangkan yang lainnya ada yang memutuskan meneruskan perjalanan ke Makkah.

Setelah kejadian tersebut, siksaan dan tekanan kaum Quraisy kepada kaum muslimin semakin keras. Melihat hal tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya memutuskan untuk kembali memerintahkan kaum muslimin melakukan hijrah kedua ke negeri Habasyah. Pada kali yang kedua inilah Saudah binti Zam’ah ikut berhijrah bersama suaminya, Sakran bin Amr. Mereka berhijrah bersama delapan puluh dua orang laki-laki dan tujuh belas orang wanita. Semua dilakukan dengan mengharap keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala dan dalam rangka menyelamatkan agama mereka dari tekanan kezaliman. Suka dan duka berada di negeri asing dilalui Saudah binti Zam’ah bersama suaminya. Banyaknya ujian seakan tak terasa sulit ketika dilalui bersama pendamping hidup yang seiman dan sepemahaman. Akan tetapi takdir Allah berkehendak lain. Karena suatu hal, Sakran bin Amr kembali ke Makkah bersamanya. Dan Sakran bin Amr meninggal dunia sepulang dari Habsyah, sebelum perintah hijrah ke Madinah. Jadilah Saudah binti Zam’ah seorang janda di usianya yang sudah tidak muda lagi.

Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kala itu baru saja mengalami duka yang bertumpuk-tumpuk. Dimulai dengan wafatnya paman beliau Abu Thalib pada bulan Rajab tahun ke sepuluh nubuwah. Seorang paman yang sekalipun wafat dalam keadaan kafir, akan tetapi semasa hidupnya selalu berusaha membela dan memberikan perlindungan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ditambah lagi wafatnya istri pertama beliau Ummul Mukminin Khadijah radhiyallahu ‘anha pada bulan Ramadhan di tahun yang sama. Dua peristiwa tersebut dalam waktu yang berdekatan menorehkan luka yang cukup dalam di hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terlebih setelah peristiwa tersebut kaum Quraisy semakin memberikan tekanan dan semakin berani menyakiti beliau.

Setelah wafatnya Ummul Mukminin Khadijah radhiyallahu ‘anha, tidak ada seorang pun sahabat yang berani membicarakan masalah pernikahan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seakan sulit mencari pendamping bagi Rasulullah yang setara dengan Khadijah radhiyallahu ‘anha. Akan tetapi salah seorang sahabiyah yaitu Khaulah binti Hakim melihat pentingnya mencarikan pendamping hidup bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau memberanikan diri menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkehendak untuk menikah lagi?, janda ataukah gadis pilihannya? Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar penawaran Khaulah binti Hakim, maka beliau bertanya siapa calon yang hendak ditawarkan. Dijawab oleh Khaulah binti Hakim radhiyallahu ‘anha bahwa dari kalangan gadis calonnya adalah Aisyah binti Abu Bakar Ash Shiddiq, putri sahabat terdekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan dari kalangan janda adalah Saudah binti Zam’ah, seorang janda muhajirah yang telah beriman dan mengikuti apa-apa yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Akhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meyetujui penawaran tersebut. Beliau mengikat Aisyah dan menikahi Saudah pada bulan Syawal tahun ke sepuluh nubuwwah. Keadaan Saudah yang menjanda dalam usia tua membutuhkan seseorang untuk memberikan kebaikan serta penjagaan terhadap diri dan agamanya. Hal tersebut membawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tergerak menikahinya. Terlebih wafatnya istri pertama beliau meninggalkan empat orang putri yang baru beranjak remaja. Alhamdulillah, Saudah binti Zam’ah mampu menegakkan kewajiban di dalam rumahtangga kenabian. Dia mengurusi anak-anak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, menyenangkan dan meringankan beban rumahtangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah tiga tahun berumah tangga dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, datanglah istri-istri nabi yang lainnya, dimulai dari Aisyah binti Abu Bakar, kemudian menikahi Hafshah binti Umar, Ummu Salamah, dan yang lainnya.

Saudah binti Zam’ah sadar benar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi dirinya yang janda dan telah lanjut usia tidak lain karena kasih sayang beliau yang mengkhawatirkan keadaannya jika bersendirian tanpa pendamping hidup. Apalagi setelah datangnya istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya, tak mungkin rasanya bersaing dengan mereka. Akan tetapi kehidupan dalam naungan rumahtangga nabawi serta berada dalam bimbingan seorang suami yang merupakan suri tauladan terbesar bagi kaum muslimin adalah suatu nikmat terbesar di dunia yang Allah berikan kepadanya. Tak ingin rasanya kehilangan nikmat tersebut. Bahkan jika perlu untuk mempertahankannya, rela berkorban merelakan kenikmatan dunia yang lainnya.

Maka ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkehendak menceraikannya dengan cara yang baik karena tidak ingin menyakiti hati Saudah jika melihat kencondongan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada istri yang lainnya, keinginan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut justru membuat sedih dan berat hati Saudah. Akhirnya Saudah membisikkan permohonan yang sangat dengan merendahkan diri, dia berkata, “Tahanlah aku wahai Rasulullah, Demi Allah aku tidak memiliki keinginan untuk menikah lagi, kecuali aku berharap Allah membangkitkanku di hari kiamat sebagai istrimu”.

Perkataannya tersebut dibuktikan. Dia merelakan hari gilirannya untuk dihadiahkan kepada Aisyah binti Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anha dalam rangka mencari keridhaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suaminya. Baginya kenikmatan berada dalam naungan rumahtangga nabi lebih besar dibandingkan sedikit kesenangan dunia yang sebenarnya merupakan haknya sebagai seorang istri. Apalagi jika kemudian dapat menikmati kenikmatan tersebut hingga di akhirat kelak, maka Saudah rela untuk mengabaikan dirinya sendiri untuk perkara tersebut. Akhirnya Allah subhanahu wa ta’ala turunkan Al Qur’an Surat An Nisa’:128,
وَإِنِ امۡرَأَةٌ خَافَتۡ مِن بَعۡلِهَا نُشُوزًا أَوۡ إِعۡرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يُصۡلِحَا بَيۡنَهُمَا صُلۡحًا وَالصُّلۡحُ خَيۡرٌ
“Dan jika seorang wanita merasa khawatir akan sikap acuh suaminya, maka tidak mengapa bagi mereka (suami dan istri) mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka…”.

Kebaikan Saudah tersebut selalu diingat oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha. Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha mengenangnya, “Tidak ada wanita yang paling aku sukai untuk aku berada dalam petunjuk dan jalannya daripada Saudah binti Zam’ah. Dimana tatkala dia sudah mencapai usia tua, maka dia berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah, aku telah menghadiahkan hariku untuk Aisyah karena engkau’.”

Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima penawaran Saudah. Tetaplah Saudah binti Zam’ah tinggal di rumah kenabian dengan penuh ketenangan dan keridhaan. Disertai rasa syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang telah mengilhamkan jalan keluar terbaik bagi rumahtangganya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saudah menjadi teladan bagi setiap wanita muslimah dalam menghadapi permasalahan rumah tangga. Allahu Akbar…, satu jalan keluar Allah subhanahu wa ta’ala takdirkan muncul dengan sebab peristiwa ini. Jalan keluar bagi setiap pasangan rumah tangga yang mempunyai permasalahan serupa dengan Saudah binti Zam’ah radhiyallahu ‘anha. Kerelaan untuk melepaskan sebagian hak yang dimiliki untuk mendapatkan keridhaan suami dan kemaslahatan dunia akhirat. Sungguh bukan perkara yang mudah dijalani. Akan tetapi, ketika keimanan dan ketakwaan telah tertanam di dalam dada, maka amalan tersebut bukan suatu hal yang mustahil untuk dilakukan. Kemudahan menjalani kehidupan ini akan Allah subhanahu wa ta’ala berikan bagi siapa pun yang bertakwa kepada-Nya. Bukankah Allah Ta’ala berfirman:
وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجۡعَل لَّهُ مَخۡرَجًا ۝٢ وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُ
“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka Allah jadikan baginya (ada) jalan keluar (dari setiap permasalahannya). Dan Allah beri dia rezeki dari jalan yang tidak dia sangka-sangka”. [Q.S. Ath Thalaq: 2-3].

Juga dalam ayat yang ke empatnya Allah Ta’ala berfirman:
وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجۡعَل لَّهُ مِنۡ أَمۡرِهِ يُسۡرًا
“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka Allah jadikan ada baginya kemudahan di dalam urusannya”.

Saudah binti Zam’ah wafat di akhir masa pemerintahan Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menempatkannya di tempat sebagaimana yang dia harapkan, yaitu di jannah-Nya yang penuh kenikmatan, sebagai istri nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Amin.

Referensi:
  • Nisa` Haular Rasul. Musthafa Asy Sya’labi Mahmud Mahdi Al Istambuli
  • Al Isti’aab. Yusuf bin Muhammad bin Abdullah bin Abdil Bar
  • Rahiqul Makhtum. Syaikh Safiyurrahman Al Mubarakfury.

Sumber: Majalah Qudwah edisi 26 vol. 03 1436 H/ 2015 M, rubrik Niswah. Pemateri: Ustadzah Ummu Abdillah Shafa’.