Cari Blog Ini

Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu

Sang Syahid Yang Hidup


Tersebutlah seorang sahabat Nabi yang memiliki berbagai keutamaan. Ia adalah sahabat yang memiliki segudang julukan mulia yang memang pantas disandangnya. Al-Qarinain, Asy Syahidul Hayy, Al-Juud wal Fayyadh, Al Khair, demikian julukan-julukan yang disandangnya.

Beliaulah seorang sahabat yang agung bernama Thalhah bin Ubaidillah bin Utsman bin Amru bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib Al Qurasy At Taimy. Berkuniah Abu Muhammad dan merupakan orang kedelapan pertama yang beriman. Beliau berkulit putih kemerahan, berwajah rupawan, rambut kepala beliau lebat dan ikal, berdada lebar. Telapak kakinya besar dan bila beliau berjalan, beliau berjalan dengan cepat. Ketika menengok, beliau menengok beserta badannya.

Selain keindahan jasmani, beliau juga seorang yang terkenal mulia akhlak dan adabnya. Beliau adalah seorang yang lapang dada dan tidak pernah mengingkari janji. Janjinya selalu tepat. Juga dikenal sebagai orang jujur, tidak pernah menipu apalagi berkhianat. Seorang yang kaya raya, tapi pemurah dan dermawan.

Ibunya bernama Ash-Sha’bah bintu Abdillah bin Ammad Al Khazraji Al Hadrami, seorang wanita keturunan Yaman dan merupakan saudara permpuan Al Ala’ bin Al Hadrami. Thalhah memiliki beberapa istri yang masih bersaudara dengan sebagian istri-istri Nabi. Ummu Kultsum saudari Aisyah bintu Abi Bakar, Hamnah saudari Zainab bintu Jahsy, Al Fari’ah saudari Ummu Habibah binti Abi Sufyan, dan Ruqayyah saudari Ummu Salamah bintu Abi Umayyah. Ini menunjukkan bahwa hubungan kekerabatan antara keluarga beliau dengan keluarga Nabi tergolong dekat. Dari pernikahan ini, beliau dikaruniai beberapa orang anak di antaranya Yahya, Isa, dan Musa.

Awal Mula Hidayah


Thalhah adalah seorang pemuda Quraisy yang memilih profesi sebagai saudagar. Meski masih muda, Thalhah punya kelebihan dalam strategi berdagang. Ia cerdik dan pintar, hingga dapat mengalahkan pedagang-pedagang lain yang lebih tua. Kisah keislaman beliau cukup menarik. Saat beliau berdagang ke Syam, tepatnya di daerah Bushra, tiba-tiba seorang pendeta Yahudi menyeru dari dalam tempat ibadahnya, “Wahai para pedagang, adakah di antara tuan-tuan yang berasal dari Al Haram (Makkah)?” “Ya, aku penduduk Makkah,” sahut Thalhah. “Sudah munculkah orang bernama Ahmad?” tanyanya. “Ahmad siapa?”

“Anak Abdullah bin Abdul Muthalib. Ini adalah bulan kemunculannya. Ia sebagai Nabi penutup para Nabi. Kelak ia akan hijrah dari negerimu ke negeri berbatu-batu hitam yang banyak pohon kurmanya.” Kata pendeta itu.

Ucapan pendeta itu begitu membekas di hati Thalhah bin Ubaidillah, akhirnya beliau pulang dan membuktikan khabar sang pendeta. Ternyata apa yang diucapkan oleh si pendeta tersebut benar adanya. Beliau pun bersegera untuk menyambut hidayah dan dengan perantaraan Abu Bakarlah, beliau mengikrarkan keislamannya di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Keutamaan


Berbicara seputar keutamaan beliau, dapat kita lihat dengan julukan yang diberikan kepada beliau. Al Qarinain, -sepasang sahabat- demikian beliau disandingkan dengan Abu Bakar dalam persahabatan. Di awal munculnya Islam, muslimin bagaikan kelompok yang sangat lemah dan asing yang dianggap mencela agama mayoritas penduduk Makkah. Hal ini mengakibatkan mereka menjadi sasaran kemarahan dan kebencian masyarakat Arab kala itu, tak terkecuali kepada Thalhah dan Abu Bakar. Suatu ketika seorang lelaki Quraisy, Naufal bin Khuwailid yang berjuluk singa Quraisy menyeret Abu Bakar Ash Shiddiq dan Thalhah bin Ubaidillah lalu mengikat keduanya menjadi satu dan mendorong ke algojo untk disiksa. Darah pun mengalir dari kedua tubuh sahabat yang mulia ini. Peristiwa ini mengakibatkan Abu Bakar Ash Shiddiq dan Thalhah bin Ubaidillah digelari Al-Qarinain atau sepasang sahabat.

Adapun gelar beliau Asy Syahidul Hayyi – seorang syahid yang hidup -. Julukan ini diperolehnya dalam perang Uhud. Saat itu barisan kaum muslimin terpecah belah dan kocar-kacir karena pasukan musyrikin berhasil melakukan manuver serangan dari arah atas bukit Uhud yang ditinggal oleh mayoritas pasukan pemanah muslimin. Pasukan yang tersisa di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya sebelas orang Anshar dan Thalhah bin Ubaidillah dari Muhajirin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang melindungi beliau naik ke bukit tapi dihadang oleh kaum musyrikin. Satu per satu dari kaum Anshar gugur membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hanya menyisakan Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu yang masih hidup dan terus melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sabetan dan tusukan senjata musyrikin. Saat ditemukan, beliau dalam kondisi pingsan berlumuran darah. Terhitung ada sekitar 79 luka bekas tebasan pedang, tusukan tombak dan lemparan panah memenuhi tubuhnya. Jemari tangan beliau pun putus. Saat melihat pembelaan dan kesabaran Thalhah dalam melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya, “Aujaba Thalhah” keharusan bagi Thalhah (untuk masuk surga, red). Karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menggelarinya syahid yang hidup “Siapa yang ingin melihat syahid yang masih berjalan di muka bumi, maka lihatlah Thalhah,” Abu Bakar Ash Shiddiq juga mengatakan tentang keutamaan beliau saat perang Uhud, “Perang hari itu adalah peperangan Thalhah seluruhnya sampai akhir hayatnya.”

Adapun julukan beliau Al-Juud wal Fayyadh- yang dermawan-, As-Said bin Zaid berkata tentang Thalhah bin Ubaidillah, katanya, “Aku berkawan dengan Thalhah baik dalam perjalanan maupun sewaktu bermukim. Aku melihat tidak ada seorang pun yang lebih dermawan dari dia terhadap kaum muslimin. Ia mendermakan uang, sandang, dan pangannya.”

Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berbicara, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih dermawan dari Thalhah walaupun tanpa diminta.” Oleh karena itu, patutlah jika dia dijuluki “Thalhah si dermawan,” “Thalhah yang baik” (Thalhah Al Khair).

Selain berbagai julukan yang mulia ini, Thalhah juga memiliki keutamaan lain. Beliau termasuk sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, termasuk As Sabiqunal Awwalun, termasuk golongan yang berhijrah di awal waktu, dan keutamaan lainnya. Di negeri Madinah beliau dipersaudarakan oleh Nabi dengan Kaab bin Malik Al Anshari radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana para muhajirin lainnya yang dipersaudarakan oleh Nabi dengan Al Anshar.

Saat terjadi perang Badar beliau tidak mengikutinya karena sedang diutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke negeri Syam untuk memata-matai dan mencari khabar musuh bersama dengan Said bin Zaid. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memberikan bagian rampasan perang untuknya. Adapun dalam kesempatan peperangan selanjutnya, beliau tidak pernah absen mengikuti seluruh perang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikianlah secuil perjuangan Thalhah.

Kehidupan Setelah Kematian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


Beliau adalah salah seorang dari enam orang sahabat yang ditunjuk oleh Umar bin Al Khattab untuk mencari pengganti beliau dalam menjabat kekhalifahan. Al Faruq telah ditikam oleh Abu Lu’lu’ah Al Majusi dengan sebilah pisau yang telah direndam racun.

Tidak seperti khalifah sebelumnya (Abu Bakar) yang langsung menunjuk pengganti, Umar lebih memilih untuk mengambil beberapa sahabat pilihan dalam menentukan pengganti beliau. Enam orang utama tersebut adalah Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Al Awwam dan Saad bin Abu Waqqash. Mereka adalah enam orang dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Merekalah enam orang sahabat terkemuka yang menjadi pilihan Umar dalam memutuskan pengganti kekhalifahan setelah beliau.

Perang Jamal dan Akhir Kehidupan “Asy Syahidul Hayy”


Sewaktu kaum muslimin diuji dengan terjadinya Perang Jamal, Thalhah berada dalam barisan Aisyah dan Az Zubair. Perang ini berawal dari keinginan Aisyah, Thalhah, dan Az Zubair untuk menuntut hukum qishash bagi para pembunuh Utsman. Sebenarnya Ali bin Abi Thalib pun menghendaki adanya hukum ini, namun beliau menundanya sampai keluarga Utsman sendirilah yang meminta hukum qishash. Tentu saja kedua belah pihak masing-masing berniat tulus dan baik dalam hal ini. Hampir terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak untuk meng-qishash para pembunuh Utsman. Namun, para pembunuh Utsman merasa takut dengan kesepakatan tersebut sehingga mereka mengobarkan api peperangan antara kedua kubu tersebut. Terjadilah peperangan besar tanpa bisa dicegah oleh para sahabat yang utama ini. Thalhah sendiri sebelumnya sempat bertemu dengan Ali bin Abu Thalib, dan Ali bin Abi Thalib telah mengingatkan beliau akan keutamaan-keutamaan beliau. Maka beliau pun memilih mundur ke barisan paling belakang dan menyesali terjadinya hal ini sebagaimana dilakukan oleh Az Zubair. Namun, sebuah panah mengenai lututnya, darah pun mengalir deras dari lukanya. Beliau segera dipindahkan ke Basrah dan tak berapa lama kemudian karena luka tersebut beliau wafat. Thalhah bin Ubaidillah wafat pada usia enam puluh atau 62 tahun, di hari kamis, bulan Jumadil Akhir tahun 36 H dan dimakamkan di suatu tempat dekat padang rumput di Basrah. Diriwayatkan bahwa Ali mengatakan, “Demi Allah sungguh aku berharap agar aku, Utsman, Thalhah, dan Zubair termasuk dalam firman Allah ta’ala (yang artinya), ‘Dan Kami hilangkan rasa dengki dari dada-dada mereka, di atas kasur-kasur mereka saling berhadapan.’ [QS. Al Hijr: 47].” [Ustadz Hammam]

Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 48, volume 04 1436 H / 2015 M, rubrik Figur.