Cari Blog Ini

Asma’ binti Abdillah, Dzatu Nithaqaini

Beberapa tahun sebelum diutusnya Muhammad bin Abdillah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang Nabi, lahirlah di bumi Makkah bayi perempuan yang elok. Kelak, bayi perempuan ini akan menjadi salah seorang tokoh wanita yang begitu mulia. Ialah Ummu Abdillah Asma’ bintu ‘Abdillah bin ‘Utsman bin Amir bin Amru bin Ka’ab bin Sa’ad bin Tayyim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Quraisy. Kita lebih mengenalnya dengan Asma’ binti Abu Bakar, putri dari Amirul Mukminin yang pertama. Ibunya bernama Qutailah bintu Abdil Uzza bin Abdi As’ad bin Nashr bin Malik bin Hasl bin Amir Al Luay. Asma’ lahir 27 tahun sebelum hijrah, lebih tua sepuluh tahun dari Aisyah Ummul Mukminin, yang merupakan saudara perempuan beliau sebapak (beda ibu). Beliau juga merupakan saudara kandung Abdullah bin Abu Bakar. Beliau termasuk As Saabiqunal Awwalun, yang masuk Islam setelah tujuh belas orang lainnya. Seorang wanita yang mulia, cerdas dan pantang menyerah.

Asma’, Sang Dzatu Nithaqaini


Gelar ini beliau dapatkan langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kisah beliau masyhur tertulis oleh tinta-tinta para ulama. Diriwayatkan oleh Al Bukhari bahwa Asma’ bintu Abi Bakar bertutur, “Aku membuat makanan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ayahku ketika mereka hendak bertolak ke Madinah untuk berhijrah. Aku berkata kepada ayah, ‘Aku tidak membawa sesuatu untuk mengikat makanan kecuali selendang pinggangku ini.’ Ayahku berkata, ‘Belahlah selendangmu menjadi dua,’ Aku mengikuti perkataannya, maka aku dijuluki Dzatun Nithaqain (Pemilik Dua Selendang).” [H.R. Al Bukhari].

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendoakan kebaikan bagi Asma’ karena perbuatan beliau, diriwayatkan dari Zubair bin Bakkar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَبۡدَلَكِ اللهُ بِنِطَاقِكِ هَٰذَا نِطَاقَيۡنِ فِي الۡجَنَّةِ
“Semoga Allah mengganti selendangmu itu dengan dua selendang di Jannah”

Asma’ pula yang menenangkan kakek beliau yang buta saat Abu Bakar membawa seluruh harta benda untuk bekal hijrah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa meninggalkan sedikit pun harta bagi keluarga yang ditinggal. Kakek beliau sempat khawatir dengan keputusan Abu Bakar meninggalkan keluarganya tanpa harta. Beliau mengatakan kepada kakeknya, “Sekali-kali tidak, wahai, kakek! Beliau telah meninggalkan kebaikan yang banyak bagi kita.” Kata Asma’ sambil menyodorkan batu-batu yang dibungkus dengan kain sehingga disangka sebagai harta benda oleh kakek beliau. Ini dilakukan hanya agar kakek baliau tenang hatinya.

Demikianlah upaya dan kesungguhan Asma’ bintu Abi Bakar dalam membantu hijrah kedua pribadi yang utama tersebut.

Kehidupan Rumah Tangga


Saat masih berada di Makkah, sebelum disyariatkannya hijrah, Asma’ bintu Abi Bakar menikah dengan Az Zubair bin Awwam, salah seorang dari laki-laki yang dijamin surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari pernikahan ini lahir beberapa anak: Abdullah, Urwah, Al Mundzir, Ashim, Al Muhajir, Khadijah Al Kubra, Ummul Hasan, dan Aisyah. Abdullah, salah seorang putra beliau lahir di daerah Quba’ saat beliau melakukan hijrah ke Madinah. Dengan peristiwa ini, Abdullah bin Zubair adalah bayi pertama yang dilahirkan setelah adanya perintah hijrah. Saat menikah, Az Zubair tidak memiliki harta benda selain kuda tunggangan. Asma’lah yang mengurus kuda itu, menyediakan makanan dan memberinya minumannya. Hal ini seperti yang Asma’ utarakan sendiri, “Ketika aku menikah dengan Zubair radhiyallahu ‘anhu, ia tidak memiliki harta sedikit pun, tidak memiliki tanah, tidak memiliki pembantu untuk membantu pekerjaan, dan juga tidak memiliki sesuatu apa pun. Hanya ada satu unta milikku yang biasa digunakan untuk membawa air, juga seekor kuda. Dengan unta tersebut, kami dapat membawa rumput dan lain-lainnya. Akulah yang menumbuk kurma untuk makanan hewan-hewan tersebut. Aku sendirilah yang mengisi tempat air sampai penuh. Apabila embernya pecah, aku sendirilah yang memperbaikinya. Pekerjaan merawat kuda, seperti mencarikan rumput dan memberinya makan, juga aku yang melakukannya. Pekerjaan yang paling sulit bagiku adalah memberi makan kuda. Aku juga kurang pandai membuat roti. Untuk membuat roti, biasanya aku hanya mencampurkan gandum dengan air, kemudian kubawa kepada wanita tetangga, yaitu seorang wanita Anshar, agar ia memasakkannya. Ia adalah seorang wanita yang ikhlas. Dialah yang memasakkan roti untukku.”

Setelah itu, ayah beliau memberikan seorang hamba sahaya kepadanya. Dengan adanya pembantu di rumahnya, maka pekerjaan rumah tangga dapat diselesaikan dengan ringan. Asma’ mendampingi Az Zubair selama 28 tahun, setelah itu beliau tidak pernah lagi menikah.

Keutamaan-Keutamaan Asma’ bintu Abi Bakar


Berbagai sifat-sifat yang mulia telah tertanam pada diri Asma’ bintu Abu Bakar. Tentu kita telah tahu keutamaan beliau sebagai wanita yang memeluk Islam saat pemeluknya baru berjumlah 17 orang. Beliau juga sebagai seorang yang berperan penting dalam membantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat berhijrah. Beliau juga termasuk wanita muhajirin.

Selain dari berbagai keutamaan tersebut, Asma’ bintu Abi Bakar juga terkenal sebagai wanita yang dermawan. Asma’ mempunyai jiwa yang dermawan lagi mulia. Beliau tidak pernah menunda infak dan sedekah hingga esok hari. Pernah suatu ketika beliau jatuh sakit, maka beliau segera membebaskan seluruh harta yang dipunyainya. Beliau pun pernah memberi wejangan kepada anak-anak dan keluarga beliau, “Berinfaklah kalian, dan bersedekahlah. Jangan kalian menunda keutamaan. Jika kalian menunda keutamaan, kalian tidak akan pernah mendapatkan keutamaan. Dan jika kalian memberi sedekah, kalian tidak akan kehilangan.”

Abdullah bin Zubair pernah memuji kedermawanan ibunya ini, “Tidaklah kulihat dua orang wanita yang lebih dermawan daripada Aisyah dan Asma’.” Namun begitu, kedermawanan mereka berbeda. Adapun Aisyah, sesungguhnya dia suka mengumpulkan sesuatu, hingga setelah terkumpul padanya, dia pun membagikannya. Sedangkan Asma’, maka dia tidak menyimpan sesuatu untuk besoknya.

Selain itu, beliau adalah wanita pemberani nan tegas. Beliau turut serta dalam Perang Yarmuk bersama suaminya, Zubair bin Awwam dan menunjukkan keberaniannya. Beliau membawa sebilah belati dalam pasukan Said bin Ash, lalu meletakkannya di balik lengan bajunya. Tentang ketegasannya, tercermin saat Qutailah binti Abdul Uzza (ibu beliau yang masih musyrik) mengunjunginya dan mengirimkan beberapa hadiah, kismis (anggur kering), mentega, dan anting-anting. Namun beliau menolak menerima hadiah yang diberikan dan tidak mengizinkan ibunya masuk ke dalam rumah. Beliau baru mengizinkan ibu beliau masuk rumah setelah beliau bertanya hukumnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat saudari beliau, Aisyah.

Asma’ bintu Abi Bakar banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jumlahnya sekitar 58 hadis. Kaum muslimin dapat melihat hadis-hadis dari riwayat beliau dalam Shahih Al Bukhari maupun Shahih Muslim.

Wafatnya Asma’ binti Abu Bakar


Di masa senjanya, beliau masih memiliki ketajaman pikiran yang kuat dan prima, dan tidak tertimpa kepikunan. Diriwayatkan pula bahwa gigi beliau belum pernah tanggal sama sekali. Hanya saja Allah uji beliau dengan kebutaan. Asma’ binti Abu Bakar meninggal dunia di Makkah pada bulan Jumadil Ula tahun ke-73 Hijriyah, beberapa saat setelah putranya, Abdullah bin Az Zubair, meninggal terbunuh di tangan Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi. Saat meninggalnya, Asma’ berusia 100 tahun. Adz Dzahabi rahimahullah berkata, “Asma adalah orang terakhir yang meningal di antara golongan kaum Muhajirin.” Di akhir hayat inilah beliau menyebutkan tentang hadis yang beliau dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengabarkan tentang Al Hajjaj Al Mubiir (yang banyak menumpahkan darah) dari kabilah Tsaqif, sang pembunuh Abdullah bin Zubair. Wallahu a’lam. [Ustadz Hammam]

Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 50 vol.04 1436H-2015M rubrik Figur.

Lihat pula: