Cari Blog Ini

Ad-Dararil Mudhiyyah - Perihal Lamaran dan Sekufu

وَأَمَّا كَوۡنُهَا تُخۡطَبُ الۡكَبِيرَةُ إِلَى نَفۡسِهَا، فَلِمَا فِي صَحِيحِ مُسۡلِمٍ رَحِمَهُ اللهُ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ أَرۡسَلَ إِلَى أُمِّ سَلَمَةَ يَخۡطُبُهَا.

Adapun perihal wanita dewasa dilamar kepada dirinya sendiri, maka berdasar hadis di dalam Shahih Muslim rahimahullah[1] bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepada Ummu Salamah untuk melamarnya.

وَأَمَّا كَوۡنُ الۡمُعۡتَبَرِ حُصُولَ الرِّضَا مِنۡهَا، فَلِحَدِيثِ ابۡنِ عَبَّاسٍ عِنۡدَ مُسۡلِمٍ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالىَ وَغَيۡرِهِ: (الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفۡسِهَا مِنۡ وَلِيِّهَا، وَالۡبِكۡرُ تُسۡتَأۡذَنُ فِي نَفۡسِهَا، وَإِذۡنُهَا صِمَاتُهَا). وَفِي الصَّحِيحَيۡنِ وَغَيۡرِهِمَا مِنۡ حَدِيثِ أَبِي هُرَيۡرَةَ وَعَائِشَةَ نَحۡوَهُ. وَأَخۡرَجَ أَحۡمَدُ، وَأَبُو دَاوُدَ، وَابۡنُ مَاجَهۡ، وَالدَّارُقُطۡنِيُّ مِنۡ حَدِيثِ ابۡنِ عَبَّاسٍ: (أَنَّ جَارِيَةً بِكۡرًا أَتَتۡ رَسُولَ اللهِ ﷺ فَذَكَرَتۡ أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ، فَخَيَّرَهَا النَّبِيُّ ﷺ). قَالَ الۡحَافِظُ: وَرِجَالُ إِسۡنَادِهِ ثِقَاتٌ. وَرُوِيَ نَحۡوَهُ مِنۡ حَدِيثِ جَابِرٍ. أَخۡرَجَهُ النَّسَائِيُّ، وَمِنۡ حَدِيثِ عَائِشَةَ أَخۡرَجَهُ أَيۡضًا النَّسَائِيُّ، وَأَخۡرَجَ ابۡنُ مَاجَهۡ عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ بُرَيۡدَةَ عَنۡ أَبِيهِ قَالَ: (جَاءَتۡ فَتَاةٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ فَقَالَتۡ: إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِى ابۡنَ أَخِيهِ لِيَرۡفَعَ بِي خَسِيسَتَهُ، قَالَ: فَجَعَلَ الۡأَمۡرَ إِلَيۡهَا، فَقَالَتۡ: قَدۡ أَجَزۡتُ مَا صَنَعَ أَبِي، وَلٰكِنۡ أَرَدۡتُ أَنۡ أُعَلِّمَ النِّسَاءَ أَنۡ لَيۡسَ إِلَى الۡآبَاءِ مِنَ الۡأَمۡرِ شَيۡءٌ)، وَرِجَالُهُ رِجَالُ الصَّحِيحِ. وَأَخۡرَجَهُ أَحۡمَدُ وَالنَّسَائِيُّ مِنۡ حَدِيثِ ابۡنِ بُرَيۡدَةَ عَنۡ عَائِشَةَ.

Adapun yang dijadikan patokan adalah adanya keridaan dari si wanita, maka berdasar hadis Ibnu ‘Abbas riwayat Muslim rahimahullahu ta’ala[2] dan selain beliau, “Janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya dan perawan dimintai izin pada dirinya. Izinnya adalah diamnya.” Dan di dalam dua kitab Shahih[3] dan selain keduanya dari hadis Abu Hurairah dan ‘Aisyah[4] semisal hadis tersebut.

Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ad-Daruquthni[5] mengeluarkan hadis Ibnu ‘Abbas: Bahwa seorang wanita gadis datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dia menyebutkan bahwa ayahnya menikahkannya dalam keadaan ia tidak suka. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pilihan kepadanya. Al-Hafizh berkata: Periwayat-periwayat sanadnya adalah orang-orang tepercaya. Diriwayatkan semisal hadis tersebut dari hadis Jabir. Dikeluarkan oleh An-Nasa`i. Juga dari hadis ‘Aisyah yang juga dikeluarkan oleh An-Nasa`i.

Ibnu Majah[6] mengeluarkan riwayat dari ‘Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, beliau berkata: Seorang pemudi datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata: Sesungguhnya ayahku menikahkanku dengan putra saudaranya untuk dapat menghilangkan kerendahannya dengan sebab diriku. Beliau berkata: Lalu Nabi menyerahkan keputusan kepada wanita tersebut. Wanita itu berkata: Aku telah menyetujui perbuatan ayahku, akan tetapi aku hanya ingin untuk mengajari para wanita bahwa para ayah tidak memiliki kewenangan dalam hal ini sedikit pun. Para rawinya adalah perawi kitab Shahih. Ahmad dan An-Nasa`i[7] juga mengeluarkan riwayat dari hadis Ibnu Buraidah dari ‘Aisyah.

وَأَمَّا اعۡتِبَارُ الۡكَفَاءَةِ، فَلِحَدِيثِ عَلِيٍّ عِنۡدَ التِّرۡمِذِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: (ثَلَاثٌ لَا تُؤَخَّرُ: الصَّلَاةُ إِذَا أَتَتۡ، وَالۡجَنَازَةُ إِذَا حَضَرَتۡ، وَالۡأَيِمُ إِذَا وجدت لَهَا كُفۡؤًا)، وَأَخۡرَجَ الۡحَاكِمُ مِنۡ حَدِيثِ ابۡنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: (الۡعَرَبُ أَكۡفَاءٌ بَعۡضُهُمۡ لِبَعۡضٍ، قَبِيلَةٌ لِقَبِيلَةٍ، حَيٌّ لِحَيٍّ، وَرَجُلٌ لِرَجُلٍ، إِلَّا حَائِكٌ أَوۡ حَجَّامٌ). وَفِي إِسۡنَادِهِ رَجُلٌ مَجۡهُولٌ، وَقَالَ: أَبُو حَاتِمٍ: إِنَّهُ كَذِبٌ لَا أَصۡلَ لَهُ، وَذَكَرَ الۡحَافِظُ أَنَّهُ مَوۡضُوعٌ، وَلٰكِنۡ رَوَاهُ الۡبَزَّارُ فِي مُسۡنَدِهِ مِنۡ طَرِيقٍ أُخۡرَى عَنۡ مُعَاذِ بۡنِ جَبَلٍ رَفَعَهُ: (الۡعَرَبُ بَعۡضُهَا أَكۡفَاءٌ لِبَعۡضٍ)، وَفِيهِ سُلَيۡمَانُ بۡنُ أَبِي الۡجَوۡنِ. وَيُغۡنِي عَنۡ ذٰلِكَ مَا فِي الصَّحِيحَيۡنِ وَغَيۡرِهِمَا مِنۡ حَدِيثِ أَبِي هُرَيۡرَةَ: (خِيَارُهُمۡ فِي الۡجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمۡ فِي الۡإِسۡلَامِ إِذَا فَقِهُوا). وَقَدۡ أَخۡرَجَ التِّرۡمِذِيُّ مِنۡ حَدِيثِ أَبِي حَاتِمٍ الۡمُزَنِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (إِذَا أَتَاكُمۡ مَنۡ تَرۡضَوۡنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنۡكِحُوهُ، إِنۡ لَا تَفۡعَلُوهُ تَكُنۡ فِتۡنَةٌ فِي الۡأَرۡضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ. قَالُوا: أَوۡ إِنۡ كَانَ فِيهِ؟ قَالَ: إِذَا جَاءَكُمۡ مَنۡ تَرۡضَوۡنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنۡكِحُوهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ). وَقَدۡ حَسَّنَهُ التِّرۡمِذِيُّ. وَأَخۡرَجَ الدَّارُقُطۡنِيُّ عَنۡ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ: (لَأَمۡنَعَنَّ تَزَوُّجَ ذَوَاتِ الۡأَحۡسَابِ إِلَّا مِنَ الۡأَكۡفَاءِ).

Adapun perihal sekufu, berdasarkan hadis ‘Ali riwayat At-Tirmidzi[8], bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiga hal yang tidak boleh ditunda: Salat ketika telah datang waktunya, pengurusan jenazah apabila jenazah sudah ada, dan nikah seorang gadis apabila didapatkan pasangan yang sekufu.” Al-Hakim mengeluarkan riwayat dari hadis Ibnu ‘Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang Arab sebagian mereka sekufu dengan yang lain. Kabilah satu dengan kabilah lain, desa satu dengan desa lain, pria satu dengan pria lain, kecuali tukang tenun atau tukang bekam.” Di dalam sanadnya ada seorang yang majhul. Abu Hatim berkata: Riwayat ini dusta, tidak ada sumbernya. Al-Hafizh menyebutkan bahwa hadis ini palsu. Akan tetapi Al-Bazzar meriwayatkannya di dalam Musnadnya dari jalan lain dari Mu’adz bin Jabal dan beliau mengangkat ucapannya kepada Nabi, “Orang Arab sebagiannya sekufu dengan yang lain.” Di dalam sanadnya ada Sulaiman bin Abu Al-Jaun.

Hadis di dalam dua kitab Shahih[9] dan selainnya telah menucukupi dari hadis di atas, yaitu dari hadis Abu Hurairah, “Sebaik-baik mereka di masa jahiliah adalah sebaik-baik mereka di masa Islam, apabila mereka memahami (ajaran Islam).” At-Tirmidzi[10] mengeluarkan riwayat dari hadis Abu Hatim Al-Muzani, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika ada seorang yang kalian ridai agama dan akhlaknya datang kepada kalian (untuk melamar), maka nikahkanlah ia. Jika kalian tidak melakukannya, akan ada ujian di muka bumi dan kerusakan yang besar.” Para sahabat bertanya: Walaupun ia belum mampu? Beliau bersabda, “Jika ada seorang yang kalian ridai agama dan akhlaknya datang kepada kalian, maka nikahkanlah ia” sebanyak tiga kali. At-Tirmidzi menilai hadis tersebut hasan. Ad-Daruquthni mengeluarkan riwayat dari ‘Umar bahwa beliau mengatakan, “Aku benar-benar melarang pernikahan wanita-wanita yang memiliki nasab yang mulia kecuali dengan yang sekufu.”

وَأَمَّا كَوۡنُ الصَّغِيرَةِ تُخۡطَبُ إِلَى وَلِيِّهَا، فَلِمَا فِي صَحِيحِ الۡبُخَارِيِّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى وَغَيۡرِهِ عَنۡ عُرۡوَةَ (أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ خَطَبَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا إِلَى أَبِي بَكۡرٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ).

Adapun wanita yang masih kecil dilamar kepada walinya adalah berdasarkan hadis di dalam Shahih Al-Bukhari rahimahullahu ta’ala[11] dan selainnya dari ‘Urwah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melamar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha kepada Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu

وَأَمَّا كَوۡنُ رِّضَا الۡبِكۡرِ صِمَاتَهَا، فَلِمَا تَقَدَّمَ مِنَ الۡأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ.

Adapun perihal rida seorang gadis adalah diamnya, maka berdasarkan hadis-hadis sahih yang telah lewat.

وَأَمَّا كَوۡنُهَا تُحۡرَمُ الۡخُطۡبَةُ فِي الۡعِدَّةِ، فَلِحَدِيثِ فَاطِمَةَ بِنۡتِ قَيۡسٍ: (أَنَّ زَوۡجَهَا طَلَّقَهَا ثَلَاثًا، فَلَمۡ يَجۡعَلۡ لَهَا رَسُولُ اللهِ ﷺ سُكۡنَى وَلَا نَفَقَةً، وَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ ﷺ: إِذَا حَلَلۡتِ فَآذِنِينِي فَآذَنۡتُهُ) الۡحَدِيث. وَهُوَ فِي صَحِيحِ مُسۡلِمٍ رَحِمَهُ اللهُ وَغَيۡرِهِ. وَأَخۡرَجَ الۡبُخَارِيُّ عَنِ ابۡنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا فِي تَفۡسِيرِ قَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿فِيمَا عَرَّضۡتُمۡ بِهِ مِنۡ خِطۡبَةِ النِّسَاءِ﴾ [البقرة: ٢٣٥] قَالَ: (يَقُولُ إِنِّي أُرِيدُ التَّزۡوِيجَ وَلَوَدِدۡتُ أَنَّهُ يُسِرَ لِي امۡرَأَةٌ صَالِحَةٌ)، وَأَخۡرَجَ الدَّارُقُطۡنِيُّ عَنۡ مُحَمَّدِ بۡنِ عَلِيٍّ الۡبَاقِرِ؛ أَنَّهُ دَخَلَ رَسُولُ اللهِ ﷺ عَلَى أُمِّ سَلَمَةَ وَهِيَ أَيِّمَةٌ مِنۡ أَبِي سَلَمَةَ، فَقَالَ: (لَقَدۡ عَلِمۡتِ أَنِّي رَسُولُ اللهِ وَخيرتُهُ مِنۡ خَلۡقِهِ وَمَوۡضِعِي مِنۡ قَوۡمِي وَكَانَتۡ تِلۡكَ خُطۡبَتَهُ). وَالۡحَدِيثُ مُنۡقَطِعٌ. قَالَ فِي الۡفَتۡحِ: وَاتَّفَقَ الۡعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الۡمُرَادَ بِهٰذَا الۡحُكۡمِ مَنۡ مَاتَ عَنۡهَا زَوۡجُهَا. وَاخۡتَلَفُوا فِي الۡمُعۡتَدَّةِ مِنَ الطَّلَاقِ الۡبَائِنِ، وَكَذَا مِنۡ وَقۡفِ نِكَاحِهَا. وَأَمَّا الرَّجۡعِيَّةُ؛ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ: لَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنۡ يُعَرِّضَ لَهَا بِالۡخُطۡبَةِ فِيهَا، وَالۡحَاصِلُ أَنَّ التَّصۡرِيحَ بِالۡخُطۡبَةِ حَرَامٌ لِجَمِيعِ الۡمُعۡتَدَّاتِ، وَالتَّعۡرِيضُ مُبَاحٌ فِي الۡأُولَى؛ وَحَرَامٌ فِي الۡأَخِيرَةِ، مُخۡتَلَفٌ فِيهِ فِي الۡبَائِنِ.

Adapun perihal haramnya lamaran ketika masa idah adalah berdasar hadis Fathimah bintu Qais, bahwa suaminya menalak tiga dirinya, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan bahwa ia tidak mendapatkan hak tempat tinggal dan nafkah lagi dari suaminya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Jika masa idahmu telah selesai, maka beritahu aku.” Lalu Fathimah pun memberitahu beliau. Hadis ini ada di dalam Shahih Muslim rahimahullah[12] dan selainnya. Al-Bukhari[13] mengeluarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma di dalam tafsir firman Allah taala, “meminang wanita-wanita itu dengan sindiran” (QS. Al-Baqarah: 235). Ibnu ‘Abbas mengatakan: Yaitu dia mengatakan: Sesungguhnya aku ingin untuk menikah dan aku sangat ingin dimudahkan mendapatkan seorang wanita salehah. Ad-Daruquthni[14] mengeluarkan riwayat dari Muhammad bin ‘Ali Al-Baqir; Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui Ummu Salamah. Ummu Salamah sudah ditinggal mati Abu Salamah. Nabi bersabda, “Sungguh engkau telah tahu bahwa aku adalah utusan Allah dan pilihan Allah dari para makhluk-Nya, serta kedudukanku di kaumku.” Dan itu adalah lamaran beliau. Namun hadis ini munqathi’. Beliau berkata di dalam Al-Fath: Para ulama bersapakat bahwa yang diinginkan dengan hukum (lamaran dengan sindiran) ini adalah wanita yang (sedang menjalani idah) ditinggal mati suaminya. Dan mereka berselisih tentang wanita yang sedang melalui masa idah karena talak bain... Adapun wanita yang sedang menjalani idah karena ditalak raj’i (masih bisa dirujuk suaminya), maka Asy-Syafi’i berkata: Tidak boleh bagi seorang pun untuk menyampaikan lamaran secara sindiran kepada wanita tersebut. Kesimpulannya bahwa lamaran secara tegas / tandas adalah haram ditujukan kepada seluruh wanita yang sedang melalui masa idah. Adapun lamaran yang berupa sindiran adalah mubah untuk wanita yang sedang menjalani idah karena ditinggal mati suaminya, haram untuk wanita yang sedang menjalani idah karena ditalak raj’i, dan diperselisihkan untuk wanita yang sedang menjalani idah talak bain.

وَأَمَّا الۡمَنۡعُ مِنۡ خُطۡبَةِ عَلَى الۡخُطۡبَةِ، فَلِحَدِيثِ عُقۡبَةَ بۡنِ عَامِرٍ أَنَّ رَسُولَ الله ﷺ قَالَ: (الۡمُؤۡمِنُ أَخُو الۡمُؤۡمِنِ، فَلَا يَحِلُّ لِلۡمُؤۡمِنِ أَنۡ يَبۡتَاعَ عَلَى بَيۡعِ أَخِيهِ وَلَا يَخۡطُبَ عَلَى خُطۡبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَذَرَ)، وَهُوَ فِي صَحِيحِ مُسۡلِمٍ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى وَغَيۡرِهِ. وَأَخۡرَجَ الۡبُخَارِيُّ وَغَيۡرُهُ مِنۡ حَدِيثِ أَبِي هُرَيۡرَةَ: (لَا يَخۡطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خُطۡبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَنۡكِحَ أَوۡ يَتۡرُكَ). وَأَخۡرَجَ أَيۡضًا مِنۡ حَدِيثِ ابۡنِ عُمَرَ: (لَا يَخۡطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خُطۡبَةِ الرَّجُلِ، حَتَّى يَتۡرُكَ الۡخَاطِبُ قَبۡلَهُ أَوۡ يَأۡذَنَ لَهُ). وَقَدۡ ذَهَبَ إِلَى تَحۡرِيمِ ذٰلِكَ الۡجُمۡهُورُ.

Adapun larangan lamaran di atas lamaran, maka berdasarkan hadis ‘Uqbah bin ‘Amir, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang mukmin adalah saudara orang mukmin. Sehingga, tidak halal bagi seorang mukmin untuk menjual di atas penjualan saudaranya dan tidak halal melamar di atas lamaran saudaranya, hingga saudaranya itu meninggalkan. Hadis ini ada di dalam Shahih Muslim[15] rahimahullah ta’ala dan selainnya. Al-Bukhari[16] dan selain beliau mengeluarkan riwayat dari hadis Abu Hurairah, “Seorang pria tidak boleh melamar di atas lamaran saudaranya sampai saudaranya itu menikah atau meninggalkan wanita yang dilamarnya.” Al-Bukhari[17] juga mengeluarkan riwayat dari hadis Ibnu ‘Umar, “Seorang pria tidak boleh melamar di atas lamaran orang lain hingga si pelamar sebelumnya itu meninggalkan wanita yang dilamarnya atau mengizinkannya.” Mayoritas ulama berpendapat haramnya hal itu.


[5] HR. Ahmad (1/273), Abu Dawud nomor 2096, Ibnu Majah nomor 1875, dan Ad-Daruquthni (3/234). 
[7] HR. Ahmad (6/136) dan An-Nasa`i (6/86). 
[14] (3/224).